30 Oktober 2008

Disneyland Hadir di Makassar

Tidak lama lagi Makassar akan memiliki landmark terbaik kedua setelah Dubai, mengalahkan beberapa negara besar Asia lainnya yang memiliki hal serupa. Untuk di Indonesia, Makassar adalah yang pertama. Kini, saatnya menyongsong pariwisata Makassar masuk dalam jajaran pariwisata dunia.


JIKA selama ini orang Indonesia yang ingin menikmati Disneyland Fantasy harus terbang ke Jepang, Hongkong atau Australia, maka mulai tahun 2009 mendatang cukup ke Makassar saja untuk menikmati sajian dunia fantasi yang belum pernah ada di Indonesia itu.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat, stabilitas keamanan yang kondusif dan iklim investasi yang sehat, membuat Para Group, salah satu kelompok usaha milik begawan Chairul Tanjung, pemilik Bank Mega, berani menggelontorkan dananya di Makassar.

Tidak tanggung-tanggung, mega proyek bernama Trans Studio Makassar (TSM) ini menghabiskan dana Rp 1,3 triliun. Perusahaan ini nantinya akan membangun sebuah kompleks bangunan yang sangat lengkap, mulai dari dunia fantasi, hotel, apartemen, perkantoran dan studio Trans TV.

TSM bakal menjadi kawasan wisata terpadu terbesar sesudah kawasan wisata di Dubai, Uni Emirat Arab. Studio ini tercatat sebagai kawasan wisata termegah dan terbesar di Asia Tenggara.

TSM menyediakan mono train yang pertama di Indonesia. Sementara lokasi Family Entertainment Center (FEC) akan menyerupai Disneyland yang akan menghadirkan 23 jenis permainan fantastik.

Mega proyek ini berlokasi di kawasan Tanjung Bunga, dan telah dimulai pembangunannya. Tahap awal dibangun Trans Studio dan Trans Walk di atas lahan seluas 110 ribu m2. Namun semua akan dibangun secara bersamaan.

Soft opening rencananya dilakukan April 2009, sedangkan grand opening dimulai 20 Mei 2009. Sekitar 50 persen lokasi Trans Studio dan Trans Walk sudah diminati pengusaha lokal dan nasional..

TSM dapat menampung lebih dari 2700 kendaraan. Dengan demikian, akan menjadi lokasi parkir termegah dan terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.

Kehadiran dan keberadaan Disneyland nantinya melengkapi obyek wisata yang telah ada di Makassar, seperti obyek wisata bahari Pulau Kayangan dan Pulau Kodingareng Keke yang kini dikelola pihak ketiga, serta pulau-pulau lainnya yang tak kalah indahnya, antara lain Lae-Lae, Samalona, Barrang Lompo, Bone Battang, dan Balang Caddi.

Obyek wisata lainnya yang bisa menjadi alternatif pilihan wisatawan yaitu Benteng Ujungpandang dan Musium Lagaligo, makam kuno raja-raja Tallo dan panorama sungai Tallo, monumen korban 40.000 jiwa, makam Syekh Yusuf, masjid tua Katangka, makam Sultan Hasanuddin, Tanjung Merdeka, Pantai Losari, serta Pantai Barombong.

‘’Tidak berlebihan jika kami merasa bangga dengan kemajuan pariwisata di daerah ini. Kebanggaan tersebut, kami anggap hal yang wajar,’’ ungkap Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar, Drs H Eddy Kosasih Parawansa MS.

Naga Bukan Iblis

SEJAK dulu kala, suku Tionghoa secara turun temurun mengenal istilah Naga, sejenis ular yang berkaki dan memiliki tanduk bercabang mirip rusa. Makhluk ini adalah sebuah legenda yang sering dibicarakan orang. Sebahagian menganggapnya mitos atau hanya sebuah simbol, tetapi sebagian orang mempercayai makhluk ini adalah makhluk suci yang jadi-jadian. Di sisi lain, ada yang memprediksi makhluk ini pernah hidup di zaman purbakala, bahkan ada yang mengatakan sejenis ikan panjang yang hidup di laut atau sungai.

Dari kesimpang-siuran ini pula banyak yang tidak dapat membedakan antara istilah Liong dan Dragon. Dragon adalah istilah yang muncul di barat, sementara Liong adalah istilah suku Tionghoa. Dragon sendiri diidentikkan dengan iblis, karena di barat ada simbol yang menyerupai seekor Naga namun tidak sama dengan simbol Naga kepercayaan suku Tionghoa.

Bagi suku Tionghoa, Naga atau yang biasa disebut Liong adalah sebuah simbol keperkasaan, kejayaan, kekuatan, rejeki dan keberuntungan. Naga versi suku Tionghoa selalu memiliki kaki dan tangan sebanyak jari kaki dan jari tangan manusia. Sementara, Dragon oleh kalangan barat diidentikkan sebagai simbol iblis dan gambarnya menyerupai kelompok Dinosaurus.

Di samping itu, Liong versi suku Tionghoa selalu memainkan bola api atau sejenis mustikanya. Bahkan ada juga yang membuatnya berpasangan burung Phoenix (merak), seperti tampak di gambar-gambar latar belakang saat pesta perkawinan suku Tionghoa berlangsung.

‘’Sebagai salah satu suku Tionghoa yang prihatin tentang sejarah, kita harus meluruskan masalah ini agar masyarakat dapat membedakan istilah Dragon dan Liong,’’ ujar Yongsi Lolo (60), yang di kalangan teman-temanya terbiasa disapa Luo Run Jii atau Yongchi.

Pria yang yang tinggal di Jl. Kumala Makassar ini pernah memperoleh pendidikan sekolah Tionghoa XIN HUA ZHONG Makassar, namun tidak sampai selesai karena seluruh sekolah Tionghoa di Indonesia keburu ditutup pada tanggal 8 April 1967.

Sebagai pengungkapan rasa keingin-tahuan tentang ada-tidaknya Liong atau Naga, berikut ini kami sajikan kisah atau cerita di majalah terbitan VIHARA GIRINAGA, yang dikutip salah satu buku terbitan Thailand yang tidak jelas identitas penulisnya :

Mungkin Anda sudah dapat menerka jenis makhluk yang satu ini. Sudah tak lazim lagi Naga di benak kita merupakan satu sosok makhluk yang melegenda, terutama di daratan Tiongkok. Ada atau tidak? Itu menjadi pertanyaan besar bagi para pembaca. Dan sudah jelas, kebanyakan orang menjawab bahwa binatang satu ini hanya dongeng belaka.

Di sini kami akan mengangkat sedikit kisah ini, percaya tidak percaya. Dalam suatu perjalanan di Negeri Gajah Putih, Thailand, pada satu toko buku di tengah-tengah kota Bangkok, terpampang suatu poster yang sangat menarik dan ajaib, sangat menakjubkan. Seekor Naga. Luar biasa, mereka yang melihat pertama kalinya tercengang.

Dari sinilah kisah itu berawal. Dari ketertarikan terhadap poster ini, dikumpulkan informasi dari berbagai pihak, yang oleh masyarakat Thailand sudah dianggap biasa tapi bagi mereka yang baru pertama kali melihat gambar ini, merupakan cerita seru.

Seekor Naga Betina (Queen of Nagas) dengan panjang 7,80 meter telah dijaring oleh sekelompok tentara Amerika dalam sutu perjalanan di Sugai Mekhong, daerah militer Laos pada tanggal 27 Juli 1973. Apakah ini trik kamera atau bukan, silahkan Anda yang menilai sendiri. Tapi cerita Naga yang hidup di sungai itu sudah sering disaksikan oleh penduduk di tepi sungai tersebut.

Cerita bemula dari salah satu perayaan hari suci agama Buddha, yaitu perayaan hari suci Kathina. Hari suci Kathina adalah hari besar umat Buddhis untuk berdana kepada Sangha (murid-murid Sang Buddha) berupa makanan, jubah, obat-obatan dan persembahan lain keperluan para Bhikkhu.

Setelah berakhir masa bervassa (mengembangkan diri dari sila, samadhi dan panna) di suatu tempat, penduduk di sekitar sungai tempat keberadaan makhluk tersebut, menunggu di tepi sungai untuk menantikan kemunculannya.

Naga akan muncul setahun sekali di permukaan sungai dengan menyemburkan api dari mulutnya sebanyak tiga kali sebagai tanda penghormatan kepada para Bhikkhu yang telah melaksanakan vassa. Apakah peristiwa ini masih dinantikan sampai sekarang, tidak ada informasi mengenai hal itu.

Dan, satu hal yang menjadi tanda tanya besar. Diceritakan bahwa seluruh orang yang berhasil menangkap makhluk ini dengan tawa kepuasan dan kegembiraan atas penderitaan makhluk tangkapannya, satu persatu meninggal dengan cara yang tidak wajar. Antara lain tertabrak, meninggal karena sakit yang tidak diketahui penyebabnya, korban tewas tanpa dikenali, dan lain-lain.

Semua menemui ajal, begitulah cerita yang berhasil dihimpun dari 3 nara sumber di Negeri Thailand., yaitu seorang Bhikkhu, ibu pemilik toko dan salah satu penduduk kota Bangkok.


Begitulah kisahnya. Ada-tidaknya makhluk yang disebut Naga ini, kami serahkan kepada pembaca. (moeh. david aritanto)


Ridwan BAE Siap Besarkan Golkar Sultra


Ridwan BAE (tengah)

MELALUI Musyawarah Daerah Luar Biasa (Musdalub) yang sempat diwarnai ketegangan, yang diadakan di sekretariat Golkar Kota Makassar pada 22 Juli lalu, Ridwan BAE akhirnya dikukuhkan sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Sulawesi Tenggara yang baru (Antar Waktu) Periode 2004-2009. Amanah yang dipercayakan kepada Ridwan terhitung tidak ringan, namun tokoh muda dari Muna ini yakin mampu membesarkan partai berlambang pohon beringin tersebut.

Ridwan menyadari, tantangan yang akan dihadapinya ke depan dalam upaya memajukan partai Golkar cukup besar. Selain menghadapi perpecahan di tubuh partai itu sendiri, persaingan untuk mendapatkan simpati dan kepercayaan dari rakyat juga semakin kompetitif mengingat partai peserta pemilu kini jumlahnya bertambah banyak.

Pekerjaan rumah yang paling mendesak untuk segera dituntaskan adalah melakukan konsolidasi, utamanya di tingkat elit Golkar. Ridwan sendiri mengakui, di forum Musdalub beberapa waktu lalu yang berlangsung panas pastilah ada perbedaan-perbedaan. Tapi itu hal biasa, bagian dari demokrasi.

‘’Saya yakin, hanya dengan konsolidasi etika bisa segera teratasi karena mereka memahami, sadar akan perbedaan ini,’’ ujar Ridwan.

‘’Basis kami mungkin belum mengetahui perbedaan ini. Karena itu, dalam waktu dekat kami akan keliling ke berbagai wilayah di Sultra, ingin menyampaikan bahwa kami tidak pernah bermusuhan, kita hanya berbeda pendapat dan perbedaan pendapat itu telah melahirkan sebuah pembenahan yang lebih baik,’’ sambungnya.

Demi kebesaran partai Golkar, Ridwan sebagai pengemban amanah akan menghilangkan kesan lama yakni pecat memecat dan musuh memusuhi yang selama ini terjadi di tubuh partainya. Ia pun akan merangkul kembali pihak-pihak yang berseberangan dengannya, dengan gaya-gaya dan kemampuan organisasi yang dimilikinya. Ia tak ingin ada kubu-kubuan lagi. Kader partai Golkar harus bersatu kembali.

Banyaknya partai peserta pemilu yang jumlahnya sampai puluhan, tak menyurutkan tekad Ridwan untuk membesarkan Golkar. Karena, pada dasarnya, Golkar adalah partai besar, yang memiliki kader berkualitas handal serta infrastruktur sampai tingkat bawah.

Tanpa bermaksud meremehkan, Ridwan menyebutkan mungkin 80-90 % politisi yang saat ini berkecimpung di partai lain adalah mantan kader Golkar. Menurut dia, itu adalah hak pribadi mereka. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang politik, itu biasanya virus. Kalau bukan virus, mereka akan tetap bertahan di Golkar karena mereka pernah hidup dengan partai, bahkan pernah merasakan dan menikmati fasilitas dari partai. Tapi begitu partai menganggap sudah cukup, maka dia berpindah ke partai lain.

‘’Mudah-mudahan sekarang yang ada di tengah-tengah partai Golkar adalah orang-orang yang murni berjuang hanya untuk kepentingan Golkar,’’ harapnya.

Ridwan merasa heran dengan fenomena yang kini berkembang di masyarakat, mungkin bukan hanya di Sultra, tetapi juga di seluruh Indonesia, di mana dalam satu keluarga terjun ke dunia politik dengan mengusung partai berbeda. Baik ayah, ibu maupun anak, masing-masing punya partai sendiri.

‘’Itu mengherankan saya. Apa sebenarnya tujuan mereka berpartai, mau membesarkan partai secara bersama-sama atau mencari jabatan? Mudah-mudahan orang-orang seperti itu, yang tidak memiliki visi yang sama, yang tidak mau menyatukan visi, cepat hilang dari Golkar karena itu adalah virus,’’ ucap Ridwan.

Belajar dari banyaknya politisi yang tersangkut kasus hukum, Ridwan menyatakan partainya kini lebih selektif dalam menyusun daftar caleg. Selain mengandalkan kadernya sendiri, pihaknya juga memberikan kesempatan kepada orang-orang di luar kader, misalnya PNS, untuk maju sebagai caleg mewakili Golkar.

Dengan catatan, mereka memiliki kemampuan intelektual, integritas dan moralitasnya bagus di masyarakat, serta memiliki basis massa yang cukup. Karena, pada dasarnya, kalau memiliki basis massa yang banyak, dia akan merasa malu untuk berbuat aib.

‘’Pada dasarnya seorang politisi yang memiliki massa banyak, dia selalu berhitung kalau mau melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan aib. Saya berharap politisi-politisi dari Golkar juga akan seperti itu, menjauhi hal-hal yang bersifat negatif,’’ tuturnya.

Dengan berbagai pembenahan yang telah dan akan dilakukannya, termasuk melakukan rekrutmen secara fair dan terbuka, Ridwan optimis jumlah dukungan masyarakat terhadap Golkar masih yang tertinggi dibandingkan partai lainnya. Karena itu, pada pemilu mendatang ia menargetkan perolehan suara Golkar di Sultra di atas target nasional.  

Sekaitan dengan itu, kader Golkar yang masih muda dan energik ini mengajak politisi-politisi di Sultra untuk berpolitik secara santun, dengan memupuk semangat kebersamaan, persatuan, dan mengutamakan kedamaian.

‘’Janganlah melakukan provokasi-provokasi yang bisa mengecilkan partai lain atau caleg-caleg lain. Marilah kita jual potensi diri kita masing-masing atau partai kita, mari kita jual program partai kepada masyarakat,’’ ajak Ridwan, yang sehari-hari dikenal sebagai Bupati Muna. (Nining)


Terbang ke Prancis Bersama Layang-Layang


LAYANG-LAYANG tradisional yang terbuat dari bahan-bahan alami, yang di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, dikenal dengan kaghati, ternyata memberikan pengalaman dan kesan mendalam bagi Suarnadi. Karena, layangan tersebut tidak hanya bisa menembus angkasa, bahkan membawa Suarnadi ‘terbang’ sampai ke Prancis.


Berkat kaghati, Suarnadi pada September 1996 berhasil menginjakkan kakinya di Prancis, dan untuk pertama kalinya menerbangkan layang-layang tradisional itu di sekitar Pantai Normandia, kurang lebih 250 km dari Paris.


Kaghati terbuat dari bahan-bahan alami yaitu dari daun kolope (ubi hutan), bambu rami dan benang dari serat daun nenas hutan. Untuk menghubungkan bahan satu dengan lainnya digunakan bahan penisik dari kulit bambu yang diruncingkan. Sebagai penyeimbang layangan, digunakan dua bandulan pada kiri-kanan sayap layangan menggunakan kayu berukuran kecil.


Layangan yang serba alami itu menarik perhatian masyarakat Prancis, utamanya para peneliti sejarah dunia yang ada di Paris. Para peneliti mengatakan bahwa statement China yang menyatakan merekalah penemu layang-layang sejak 250 tahun sebelum masehi, perlu diteliti kembali. Makanya, mereka kemudian melakukan penelitian. Ternyata yang diklaim China itu sebenarnya bukan layangan, melainkan sejenis gantole.


‘’Karena layang-layang kaghati menjadi perhatian yang luar biasa, tahun berikutnya kami diundang secara terhormat. Kami dijamu di salah satu resort wisata elit di pinggir laut. Di situlah kami menjadi undangan terhormat,’’ ungkap Suarnadi, sembari menambahkan sampai sekarang pihaknya tetap menjadi duta layang-layang setiap ada pengiriman ke luar negeri, baik ke Eropa maupun Asia.


Sebelum mengabdi di Kabupaten Muna, Suarnadi bertugas di Dinas Pariwisata Provinsi Sultra sejak 1982. Saat dipindah-tugaskan ke Muna, kabupaten tersebut belum memiliki Dinas Pariwisata, sehingga suami dari seorang diplomat yang kini bertugas di Shanghai, China, ini ditugaskan sebagai pembantu di bidang pariwisata, yang menangani bidang pariwisata di bagian perekonomian Pemkab Muna.


Dalam kapasitasnya sebagai juri festival layang-layang internasional dan seksi lomba layang-layang, Suarnadi dapat menjelaskan bahwa layang-layang tradisional yang diikutkan lomba harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain semua bahan-bahannya dari bahan alami, punya latar belakang sejarah, serta ada hubungannya dengan keyakinan.


Kriteria lainnya, misalnya mengenai frame-nya, cara penataannya harus punya nilai estetika yang bagus. Selain itu, pada saat terbang tidak goyang, dan setelah sampai di atas tidak jatuh.


‘’Kalau layang-layang tradisional ukurannya cuma satu dimensi, hanya berbentuk seperti jipang. Tapi yang menjadi masalah, bagaimana caranya mereka membuat, apakah dicampur dengan bahan-bahan dari industri atau semuanya bahan alami,’’ jelasnya.


Kalau dimensi dua, sambung Suarnadi, bahannya alami juga, terbuat dari bahan pelepah pisang, tapi lemnya mungkin sudah menggunakan produksi toko. Itu dikatakan dua dimensi karena tingkat kesulitan pembuatannya, misalnya membuat burung atau kapal-kapal, dan sebagainya.


Pada perlombaan tahun ini, panitia memberikan kebebasan kepada peserta untuk berkreasi dalam membuat layang-layang, apakah modelnya seperti ikan, seperti kupu-kupu atau seperti burung, dan sebagainya.


Panitia juga melibatkan anak-anak SD untuk melukisi layang-layang sebelum layang-layang tersebut dinaikkan ke udara. Kegiatan ini sebenarnya direncanakan sejak tahun lalu, namun karena satu dan lain hal sehingga tidak terlaksana dan baru terwujud tahun ini.


Kegiatan melibatkan anak-anak SD itu juga merupakan salah satu upaya untuk mencari bibit-bibit pelayang-layang, karena dikhawatirkan mereka nantinya tidak bisa membuat layang-layang sehingga tidak ada regenerasi. Kalau beruntung, mereka juga bisa ke luar negeri , menjadi duta layang-layang.


Festival Layang-Layang Internasional di Kabupaten Muna diadakan setiap bulan Juli. Tahun ini diselenggarakan pada 17-20 Juli lalu, yang diikuti 5 negara dan diharapkan akan terus meningkat setiap tahunnya.


‘’Festival layang-layang ini bisa menjadi semacam ajang promosi, bukan saja mempromosikan layangan, tetapi juga semua obyek wisata yang ada di Kabupaten Muna,’’ pungkas Suarnadi. (Nining)

29 Oktober 2008

Wisata Muna Bisa Seperti Bali


Danau Napabale


BALI merupakan salah satu daerah di Indonesia yang paling berhasil mengembangkan potensi wisata dan budayanya. Tak heran bila pejabat-pejabat dari daerah lain menjadikan Bali sebagai acuan dalam upaya memajukan sektor pariwisata di daerahnya masing-masing.


Di antara mereka itu, tak terkecuali H Hasanuddin Rabali SH, M.Si. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Muna, Sultra, ini, beberapa obyek wisata di Bali pada awalnya tidak terkelola dengan baik. Tapi karena adanya dukungan dari pemerintah dan seluruh masyarakat, Bali kini menjadi salah satu daerah yang pendapatannya tertinggi di Indonesia dan banyak menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya.


‘’Kami ingin seperti itu juga. Dengan berkembangnya sektor pariwisata, mungkin sektor-sektor ekonomi lainnya akan ikut dengan perkembangan pariwisata. Jadi, salah satu harapan saya ke depan, sektor pariwisata ini menjadi sektor unggulan dari semua dinas,’’ ujar Hasanuddin.


Pria berusia 47 tahun ini mengakui, pihaknya kini sedang mengadakan identifikasi dan klarifikasi tentang obyek wisata dan seni budaya yang ada di daerahnya. Dan setelah melihat kondisi yang ada, beberapa obyek wisata dan budaya yang perlu dikembangkan antara lain obyek wisata danau atau sejarah, obyek wisata buatan dan obyek wisata kuliner.


Ada beberapa obyek wisata sejarah atau danau yang sangat menarik di Kabupaten Muna. Dari 126 obyek, 78 obyek di antaranya mempunyai potensi dan nilai strategis mendukung pembangunan daerah.


‘’Dari 78 obyek tersebut, ada 8 yang menjadi skala prioritas kita di tahun 2009. Antara lain wisata belanja di Desa Masalili yang terkenal dengan tenunan khas Muna, obyek wisata sejarah atau situs di Gua Liang Kobori, obyek wisata Danau Napabale, serta festival layang-layang internasional yang sudah dikenal dunia sejak 1996,’’ beber Hasanuddin.


Saat ini obyek wisata yang paling banyak dikunjungi masyarakat adalah Danau Napabale. Hampir setiap hari masyarakat Kabupaten Muna dan masyarakat dari kabupaten-kabupaten lain di sekitarnya mengunjungi obyek wisata tersebut. Selain dekat dengan kota, danau yang sangat indah dan tenang itu juga mempunyai nilai historis, di mana pada zaman dulu merupakan tempat bertemunya pembeli dan penjual dari beberapa pulau.


Pihaknya juga sudah mencari dan menggali kembali potensi seni budaya yang selama ini tidak dikembangkan lagi atau cenderung tidak berkembang. Festival layang-layang yang diselenggarakan secara rutin setiap tahunnya, ia anggap sebagai momen yang sangat bagus untuk memperkenalkan dan mempromosikan potensi tersebut. Karena itu, ia mengharapkan pada sanggar-sanggar atau pemuka budaya, agar mengembangkan dan memunculkan lagi untuk memberikan hiburan pada tamu-tamu yang datang.


Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang dipimpin Hasanuddin baru beberapa bulan terbentuk, tepatnya pada 12 Desember 2007. Namun semua stoke holder, termasuk pemerintah dan legislatif, sangat mendukung pengembangan pariwisata Kabupaten Muna. Hal itu dapat dilihat dari anggaran yang dialokasikan untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dari Rp 300 juta meningkat menjadi Rp 1,6 miliar.


Kenyataan tersebut menumbuhkan optimisme pada diri Hasanuddin bahwa pariwisata Kabupaten Muna nantinya akan sama seperti Bali. Apalagi saat ini Pemkab Muna sedang giat-giatnya mempercepat penyelesaian pembangunan bandara Sugimanuru, yang direncanakan selesai akhir tahun ini. Jika pembangunan bandara tersebut sudah rampung, wisatawan bisa langsung ke Muna, tidak perlu lagi turun di Kendari dan bermalam di ibukota Provinsi Sultra itu.


Mengingat kondisi geografis Muna, sarana transportasi memang sangat dirasakan urgensinya dalam upaya mengembangkan sektor wisata, baik transportasi darat, laut maupun udara. Namun tak kalah pentingnya adalah kesiapan masyarakat menerima wisatawan, karena tanpa dukungan masyarakat dalam memberikan keamanan dan ketertiban, tidak akan berhasil.


‘’Sektor perhotelan dan restoran juga sudah mulai kita benahi, dan insya Allah satu persatu akan kita sesuaikan dengan standar hotel pada tingkat nasional atau daerah, paling tidak hotel itu masuk pada klasifikasi melati 1 atau melati 2,’’ terangnya.


Setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Unhas pada 1985, Hasanuddin merantau ke Sultra dan diterima bekerja di Kandep Transmigrasi pada 1986. Kurang lebih 22 tahun ia meniti karier di Kandep Transmigrasi. Usai mengikuti jenjang pendidikan tingkat spamen pada tahun 2001, putra Sulsel ini mendapat amanah menduduki jabatan Kepala Dinas Nakertrans selama kurang lebih 8 tahun.


Pada 1988, Hasanuddin pulang kampung, mencari gadis yang dipacarinya sejak semester II. Saat itu sang idaman hati kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin. Setelah ketemu dan masih ada kecocokan, ia kemudian menikahinya.


‘’Alhamdulillah, sampai hari ini mudah-mudahan hanya satu (istri, red),’’ kunci bapak tiga anak yang hobi tenis meja ini. (Nining)

Ridwan BAE, Bupati yang Tampil Beda


UNTUK ukuran seorang bupati, Ridwan BAE terhitung nyeleneh. Penampilannya tidak seperti bupati-bupati atau pejabat pada umumnya. Ia jarang terlihat mengenakan pakaian atau uniform yang menunjukkan dirinya seorang pejabat.


Soal pakaiannya yang tidak bergaya pejabat, ia berkilah bahwa seorang pejabat dulu perlu dikawal rakyat dalam perjalanan dinasnya sehingga uniform-nya harus beda, untuk membedakannya dengan yang lainnya.


‘’Tapi, itu dulu, karena belum ada informasi yang terbuka seperti sekarang ini. Sekarang, dengan maraknya media cetak dan elektronik, rakyat dengan mudah mengenali pemimpinnya,’’ tuturnya.


Dengan penampilannya yang tak jauh beda dengan rakyatnya itu, Ridwan merasa lebih dekat dengan rakyatnya, begitupun sebaliknya.


‘’Mereka tidak pernah ragu dengan kita. Meskipun bau ikan, bau lumpur, mereka begitu bebasnya memeluk kita, tak merasa canggung,’’ terang Ridwan.


Lelaki kelahiran Raha, Muna, 1 Desember 1957 yang memimpin daerahnya selama dua periode (2000-2005 dan 2005-2010) ini juga tidak suka mengenakan arloji dan cincin. Alasannya sederhana, terlalu ribet.


‘’Karena kalau mau mandi harus dilepas dulu, dan setelah mandi baru dipakai lagi. Terlalu ribet. Saya suka yang praktis-praktis saja,’’ kilahnya.


Terhadap sesuatu barang yang disukainya, Bupati Muna ini juga tidak berhitung soal harganya. Biar mahal, asal sesuai dengan seleranya, dan tidak banyak orang yang memilikinya, ia akan berusaha membelinya, karena ia ingin berbeda dari yang lain. Meskipun untuk itu ia harus rela diomeli istrinya.


‘’Saya tidak suka memiliki barang yang banyak dimiliki orang lain. Saya ingin berbeda dari yang lain,’’ ucapnya.


Soal mobil mewah merk Volvo, Ridwan menegaskan bahwa mobil tersebut dibelinya karena ia memang sangat menyukainya. Mobil itu bukan untuk pamer, melainkan untuk dinikmatinya.


‘’Sekali lagi, kalaupun saya memiliki mobil yang menurut orang mewah, bukannya saya sombong atau mau pamer, tapi karena saya suka aja dengan mobil itu,’’ tandasnya.


Saat kecil, bahkan sampai sekarang, Ridwan tidak punya cita-cita. Yang dilakukannya hanyalah menggembleng dirinya, melatih diri untuk mempersiapkan dirinya dalam kesiapan apapun. Ia menempa dirinya dengan aktif di berbagai organisasi.


Ia terpilih menjadi Bupati Muna, bahkan sampai dua periode, semata-mata hasil perjuangannya sendiri, buah kerja kerasnya selama ini, plus garis tangan. Bukan karena nama besar orang tua atau tokoh tertentu. Maklum, selain berasal dari kalangan masyarakat biasa, Ridwan pun sejak kecil ikut kakaknya karena orang tuanya sudah meninggal.


‘’Saya tidak punya cita-cita, apalagi cita-cita menjadi bupati. Tapi saya berbuat terus, melatih diri terus apa yang bisa saya lakukan. Dan, ketika ada kesempatan jadi bupati, ada peluang, saya ikut maju, karena saya punya potensi untuk itu,’’ tutur bapak yang dikaruniai lima putra dan satu putri dari perkawinannya dengan Wa Ode Sitti Nurlaila ini.


Motivasinya ikut bertarung menjadi orang nomor satu di Kabupaten Muna, tiada lain adalah mengabdi untuk kepentingan rakyat, untuk mengangkat harkat masyarakat Muna. Berasal dari latar belakang pengusaha, ia yakin banyak inovasinya yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi buat peningkatan kehidupan masyarakat luas.


‘’Jika saya berhasil membawa kepemimpinan yang baik di Kabupaten Muna dan dirasakan baik pula oleh masyarakat luas, maka itu akan menjadi modal awal bagi anak-anak saya ke depan. Itu motivasi saya untuk memimpin Muna pada waktu itu,’’ ungkapnya.


Ridwan yang pernah tercatat sebagai anggota resimen mahasiswa Unhas periode 1978, tidak pernah berpikir bagaimana menjadi sesuatu, misalnya menjadi gubernur. Karena untuk mendapatkan posisi itu, ia harus tega menghabisi semua lawan-lawan politiknya. Hal-hal seperti itulah yang tidak disukainya, karena tidak sesuai dengan sifat pribadinya.


Dalam memimpin, Ridwan lebih menghargai karyawan yang proaktif, berinisiatif dan kreatif, ketimbang yang hormat dan tunduk kepadanya namun tidak becus menyelesaikan pekerjaannya.


‘’Jangan tunduk kepada saya, tapi tunduklah kepada kemampuan kerjamu, kepada tugas. Bagi saya, kalau tugasmu sudah kelar, itulah saatnya kamu tunduk pada saya. Tapi kalau kamu datang dengan sikap menunduk-nunduk, tidak bermanfaat, tidak akan mempengaruhi kebijaksanaan saya mempertahankanmu sebagai kepala dinas,’’ tegasnya.


Memimpin di era reformasi yang dilanda euforia di berbagai aspek, termasuk politik, dirasakan Ridwan tantangannya sangat besar. Kesulitan yang dihadapinya, pertama, adalah perubahan-perubahan peraturan yang dirasakan begitu berat. Kedua, pemahaman masyarakat tentang demokrasi, dan yang ketiga adalah kesulitan masyarakat elit dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat.


Tapi dengan modal kesabaran serta memahami posisinya sebagai pemimpin dan pengayom rakyat, sekalipun dicacimaki ia harus sabar mengaluri perjalanan keinginan mereka. Dengan satu harapan, pada titik tertentu mereka akan sampai pada suatu kejenuhan. Kejenuhan dalam artian bahwa rupanya cara-cara yang mereka lakukan itu tidak seharusnya mereka lakukan.


Menurut Ridwan, kesulitannya hanya dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat saja, karena di era euforia yang meliputi berbagai aspek ini, termasuk euforia politik, sangat menyulitkan. Soalnya, kita berpendapat positif untuk kepentingan rakyat bisa menjadi negatif bagi policy-policy kita, di tengah-tengah masyarakat yang dengan gampangnya dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang berpikiran sempit.


‘’Itu kesulitan yang kita hadapi. Tapi dengan sebuah kesabaran kita jalani, dan alhamdulillah perubahan-perubahan itu sudah mulai nampak,’’ jelasnya.


Jika suatu program diyakininya akan bermanfaat bagi masyarakat, Ridwan tak merasa pusing terhadap mereka yang tidak setuju dengan program tersebut. Ia biarkan mereka yang bersikap berbeda, ia biarkan mereka berpikir.


Hasilnya, sejumlah program yang awalnya mendapat tantangan yang begitu besar, ternyata setelah terwujud justru mereka yang memanfaatkan dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan.


‘’Itulah yang membahagiakan kami. Makanya walaupun mereka tadinya berpendapat berbeda dengan kami, saya tidak pernah marah pada mereka. Waktu yang akan menentukan mana yang benar dan mana yang salah,’’ ucapnya bernada bijak. (Nining)

Potensi Pariwisata Kabupaten Muna



Gua Lia Ngkabori

DILIHAT dari kondisi topografinya, Kabupaten Muna pada umumnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Karena itu, tak mengherankan bila banyak warga – terutama tamu dan pendatang - yang mengaku kesulitan menemukan lokasi berhawa sejuk dan dingin di daerah ini. Namun demikian, bukan berarti tidak ada tempat indah dan berpanorama alam menarik yang mampu memberikan kenyamanan selama di Muna.


Keindahan panorama alam yang ada di beberapa wilayah dalam Kabupaten Muna itu menjadi salah satu andalan daerah tersebut untuk menarik pengunjung dan mendatangkan pemasukan dari sektor pariwisata dan budaya.


Sejumlah potensi pariwisata yang tengah mendapat perhatian besar pemerintah setempat antara laian :


Danau Napabale

Danau alam berair asin ini sangat indah dan tenang. Sebuah terowongan berpenampang 16 meter persegi menghubungkan danau yang berair jernih dan hijau kebiruan ini dengan laut lepas. Bongkahan-bongkahan batu karang berselimutkan pepohonan hijau mencuat di permukaan air, melingkari sekeliling danau tersebut.


Di air jernih dan sejuk ini, wisatawan dapat memuaskan hobi berenang. Jika wisatawan senang berperahu, tukang perahu yang ada di sekitar danau siap mengantar wisatawan berkeliling menikmati panorama danau, lalu ke pantai laut lepas melalui terowongan karang. Sebelum air pasang menutupi mulut terowongan, wisatawan sudah harus kembali berada di danau.


Gua Lia Ngkabori

Lia Ngkabori yang bermakna ‘Gua Bertulis’ merupakan sebuah gua dengan lebar 30 meter dan tinggi bervarisi antara 2 hingga 5 meter serta memiliki total kedalaman sekitar 50 meter.


Gua ini menyimpan berbagai misteri kehidupan masyarakat prasejarah suku Muna yang tergambar pada 130 situs aneka goresan berwarna merah pada dinding gua bagian dalam.


Goresan-goresan tersebut masih tetap terjaga keasliannya, terutama bentuk dan kecermelangan warnanya, yang hingga kini masih merupakan sebuah misteri tentang bahan tinta yang digunakan.


Misteri peninggalan sejarah ini menanti kedatangan wisatawan yang gemar terhadap penelitian kepurbakalaan serta penjelajahan keaslian alam.


Atraksi Adu Kuda

Mungkin Pulau Muna adalah satu-satunya tempat di dunia di mana Anda dapat menyaksikan adu kuda jantan yang memperebutkan kuda betina. Atraksi yang sangat seru dan memukau ini sering dilakukan pada setiap perayaan yang melibatkan masyarakat.


Pertarungan diawali dengan menukarkan betina dari masing-masing kuda jantan oleh seorang pawang guna membangkitkan emosi dari masing-masing kuda jantan. Seiring dengan bangkitnya emosi, kedua kuda jantan tersebut saling menerjang dengan kaki depan terangkat, leher tegak, geraham gemeretak dan moncong saling memagut mencari sasaran serangan. Suatu atraksi yang cukup mendebarkan, mencekam, menantang sekaligus menyenangkan.


Dalam filosofi suku Muna, atraksi kuda mengandung makna bahwa hak dan tanggung jawab adalah segala-galanya, walaupun nyawa jadi taruhannya. Filosofi inilah yang dianut dalam kehidupan masyarakat suku Muna, yang secara formal diabadikan pada lambang Daerah Kabupaten Muna.


Tenunan Tradisional

Desa Masalili terletak kurang lebih 8 km dari Raha, ibukota Kabupaten Muna. Sebagian besar penduduknya hidup dari usaha menenun kain secara tradisional. Cara menenun ini telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu secara turun temurun.


Kain tenunan ini terdiri atas berbagai macam corak dan warna yang memiliki seni dan budaya Muna. Sehelai kain dapat digunakan sebagai sarung adat atau dimodifikasi menjadi stelan busana dan berbagai macan souvenir.


Layangan ‘Kaghati’

Kabupaten Muna terkenal dengan layangan tradisionalnya, yang di daerah setempat dikenal dengan nama kaghati. Layangan ini terbuat dari bahan-bahan alami, antara lain daun kolope (ubi hutan), bambu rami dan benang dari serat daun nenas hutan.


Untuk menghubungkan bahan satu dengan lainnya digunakan bahan penisik dari kulit bambu yang diruncingkan. Sebagai penyeimbang layangan, digunakan dua bandulan pada kiri-kanan sayap layanan menggunakan kayu berukuran kecil.


Layangan tradisional Muna ini telah mendapat peringkat sebagai layangan paling alami. Pada tahun 1996 dan 1997, layangan tradisional Muna menjadi salah satu peserta di sebuah kompetisi layangan bertaraf internasional.


Tradisi Karia

Dalam adat suku Wuna (Muna), setiap anak perempuan yang akan memasuki usia remaja diwajibkan menjalani tradisi pingitan (Karia) selama empat hari empat malam atau dua hari dua malam, tergantung kesepakatan antara penyelenggara Karia dengan pomantoto.


Tradisi ini bertujuan untuk membekali anak-anak perempuan dengan nilai-nilai etika, moral dan spiritual, baik statusnya sebagai seorang anak, ibu, istri maupun sebagai anggota masyarakat.


Sesuai proses pingitan, diadakanlah selamatan dengan mengundang sanak keluarga, kerabat dan handai taulan. Dalam prosesi selamatan ini digelar Tari Linda, yang menggambarkan tahap-tahap kehidupan seorang perempuan mulai dari melepaskan masa kanak-kanak lalu memasuki masa remaja, kemudian masa dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga. (Nining)

Kabupaten Muna Memacu Pembangunan


MEMBANGUN, dan terus membangun. Itulah komitmen Ridwan BAE terhadap kampung halamannya. Posisinya sebagai orang No.1 di Kabupaten Muna, memberinya kemudahan untuk mewujudkan ide, gagasan, maupun obsesinya memajukan daerah yang terletak di jazirah Sulawesi bagian tenggara itu.


Di bawah kepemimpinan Ridwan, sejumlah potensi daerah berhasil diidentifikasi, antara lain bersumber dari sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, perikanan, kelautan serta kehutanan.


Sektor pertanian dan perkebunan mengandalkan komoditas jambu mete, kakao dan kelapa. Komoditas jambu mete adalah usaha perkebunan yang dimiliki 50 % masyarakat Muna. Tidak mengherankan jika hampir semua lahan yang ada dipenuhi tanaman ini. Setiap tahunnya Muna mampu memproduksi sekitar 7 ribu ton dari total lahan seluas 38 ribu hektar lebih.


Potensi lain yang memberikan kontribusi tidak sedikit bagi Muna adalah hasil usaha di bidang perikanan dan kelautan. Beberapa komoditas yang dihasilkan dari sektor ini antara lain ikan, mutiara, rumput laut, teripang, lobster, dan kepiting. Dari sekitar 5.625 km2 luas wilayah lautan yang dimilikinya, Muna baru dapat memproduksi sekitar 40 ribu ton per tahun.


Khusus dari hasil budidaya ikan jenis kerapu tikus, Muna yakin dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD). Ridwan optimistis PAD Kab. Muna akan terus bertambah, antara Rp 50 miliar hingga Rp 60 miliar per tahun. Rasanya tak berlebihan. Betapa tidak. Harga komoditas tersebut di pasaran bisa mencapai Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu per kilogram.


Sumber pendapatan daerah Muna yang lain berasal dari sektor kehutanan. Tidak dipungkiri, Muna adalah penghasil kayu jati terbesar di Indonesia, di samping kayu rimba dan rotan.


Sayangnya, hasil dari kayu jati selama ini lebih banyak ‘menguapnya’ ketimbang yang masuk ke kas daerah. Kontribusinya tidak lebih dari 18 %. Di sisi lain, luas lahan potensi kayu jati yang dulunya mencapai 70 ribu hektar lebih, kini terus merosot hingga menyisakan seribuan hektar.


‘’Hasil dari kayu jati itu tidak ada sama sekali. Di sisi lain, kawasan hutan hancur, tidak seperti yang diharapkan. Hutannya hancur, kawasannya hancur, kayunya hancur, uangnya tidak ada. Namun saya bersyukur karena masih mampu mempertahankan dan menarik uang-uang yang selama ini tidak pernah bisa masuk. Soal itu, masyarakat, terutama elit politik, tidak pernah mempersoalkan pada waktu uangnya tidak ada. Tapi herannya, setelah uang masuk, justru hal itu dipersoalkan,’’ ujar Ridwan.


Selain mengoptimalkan potensi yang ada, Ridwan dan jajarannya juga terus berupaya menggali dan menemukan potensi lainnya yang diharapkan bisa mendongkrak pembangunan di daerah yang dipimpinnya.


Di sektor pertambangan, misalnya, berhasil diidentifikasi sejumlah hasil bahan galian tambang, antara lain aspal alam dan marmer di Kecamatan Kulisusu, batu gamping di Kabawo, serta pasir kwarsa, logam zulfida, dan minyak bumi.


Untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di Muna, pemkab setempat memberikan pemotongan pajak dan retribusi untuk investasi dengan jangka waktu tertentu, di samping kebijakan lainnya yang dikemas khusus untuk mempermudah investasi di daerah ini.


Ridwan tanpa malu-malu mengakui daerahnya masih terisolir. Keterbatasan sarana transportasi yang mampu membuka akses masyarakat dan perdagangan komoditas di daerahnya, disebutkan Ridwan merupakan kendala yang dihadapinya dalam upaya memajukan daerahnya.


Bayangkan saja, untuk mengangkut dan memasarkan komoditas utama dari daerahnya, jalur transportasi yang ada hanya mengandalkan jalur pelabuhan feri tampo yang memakan waktu lama untuk bisa menjangkau pusat kota Kendari dan beberapa daerah lainnya. Sementara, daerah pemasaran komoditas yang dihasilkan Muna berada di Sulsel dan sebagian di Pulau Jawa.


Selain jalur feri tampo, alternatif transportasi lain untuk keluar dan masuk ke Kab. Muna adalah pelabuhan kapal fiber dengan waktu tempuh sekitar 4 jam menuju kota Kendari dan 1 jam lebih menuju kota Baubau.


Setelah tiba di kota Kendari, selanjutnya akan ditentukan pilihan transportasi untuk meneruskan perjalanan komoditas tersebut ke tangan para pembeli di daerah lain. Di Kendari, perjalanan distribusi itu akan dilanjutkan dengan beberapa pilihan, yakni melalui pesawat udara, kapal laut atau melalui angkutan darat.


Bisa dibayangkan, berapa nilai kerugian yang akan dialami masyarakat dan para pengusaha jika kondisi transportasi ini terus menerus seperti itu, karena pembengkakan biaya transportasi akan terjadi, dan tidak kalah mengkhawatirkan adalah risiko rusaknya kualitas komoditas sebelum sampai di tujuan.


Untuk itu, Pemkab Muna terus berdaya upaya mengatasi keterisolirannya, di antaranya berusaha meningkatkan jumlah armada kapal di jalur pelayaran pelabuhan Tondasi. Jumlah pelayaran melalui pelabuhan ini direncanakan bertambah di tahun-tahun mendatang. Kualitas sarana jalan yang menghubungkan kota Raha, ibukota Kabupaten Muna, dengan pelabuhan Tondasi pun akan dibangun.


Pemkab Muna juga berkeinginan besar mengaktifkan kembali lapangan terbang Sugimanuru jadi bandara representatif untuk beberapa penerbangan berkelas nasional. Bupati Muna, Ridwan BAE, semakin bersemangat karena Menteri Perhubungan dan Dirjen Perhubungan Udara memberikan respon positif tentang rencana pembangunan lapangan udara Sugimanuru.


‘’Apa tujuannya semua ini, tiada lain saya ingin akses hubungan pasar yang ada di Kabupaten Muna ini secara langsung ada. Itu yang menjadi pemikiran saya,’’ terang Ridwan.


Tak dapat dipungkiri, Kabupaten Muna di bawah kepemimpinan Ridwan mengalami kemajuan dan perubahan di berbagai sektor, utamanya pembangunan fisik. Namun demikian, Ridwan mengakui dirinya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat.


‘’Karena saya bukan manusia super. Saya juga manusia bisa, yang memiliki kelemahan dan keterbatasan,’’ akunya.


Karena itu, jika ada hal-hal yang tidak berkenan dalam memimpin Muna, Ridwan meminta masyarakat untuk tidak segan-segan menegur dan mengingatkannya, secara kekeluargaan. Ia juga mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersatu, bersama-sama membangun dan memajukan Muna. (Nining)

Kabupaten Muna, Membuka Akses Pasar


Aktivitas di Pelabuhan Muna


KABUPATEN Muna adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan Ibu kota di Raha. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.887 km² dan berpenduduk sebanyak 300 ribu jiwa lebih.


Secara geografis, Kabupaten Muna sulit untuk berkembang. Tapi berkat kerja keras Pemkab Muna di bawah kepemimpinan Bupati Ridwan BAE, daerah yang dikenal dengan kayu jatinya itu kini mulai menggeliat, berusaha mensejajarkan diri dengan daerah lainnya yang telah maju.


Membuka akses pasar dan transportasi, baik darat, laut maupun udara, merupakan prioritas utama pembangunan Kabupaten Muna. Karena dalam persoalan infrastruktur perhubungan, seperti diakui bupati, daerahnya sangat terisolir. Sebab, tidak disinggahi kapal-kapal niaga, dan tidak disinggahi penerbangan-penerbangan yang sifatnya komersil.


‘’Upaya membuka akses tersebut untuk mendorong pertumbuhan, minimal sifat masyarakatnya dulu. Karena setelah melihat pasar terbuka, akses terbuka, rakyat akan termotivasi dengan sendirinya,’’ terang Ridwan saat ditemui ProFiles di ruang kerjanya.


Dengan terbukanya akses, sambung Ridwan, emosional masyarakat akan tumbuh dan pasar pun akan kompetitif, karena masyarakat dengan mudah dapat menjual hasil produksinya dengan harga yang cukup mahal. Demikian pula barang-barang yang diperlukan masyarakat, harganya akan jauh lebih murah karena transportasinya sudah mudah dan lancar. Dengan demikian, daya beli masyarakat akan lebih besar.


‘’Kami menggenjot pembangunan infrastruktur dasar prasarana perhubungan, dengan pertimbangan kepentingan membuka akses pasar atas hasil-hasil bumi, terutama bidang pertanian secara umum,’’ beber Ridwan.


Harus diakui, perkembangan pembangunan di Kabupaten Muna secara signifikan memang cukup menggembirakan. Selain menggenjot pembangunan infrastruktur dasar, dalam hal ini akses pasar dan pembukaan wilayah yang terisolir serta perhubungan, termasuk pelabuhan rakyat di wilayah kepulauan, Pemkab Muna juga melakukan penguatan modal bagi usaha kecil dan menengah. Upaya memberikan keringanan bunga dan keringanan syarat-syarat kredit dilakukan Pemkab Muna bekerja sama dengan BPD Sultra Cabang Raha.


Selain itu, juga dilakukan penataan kota Raha sebagai ikon Kabupaten Muna. Ini merupakan upaya meletakkan kerangka dasar dalam menyahuti aspirasi masyarakat untuk membentuk kota Raha sebagai daerah otonom.


Pada 2002 lalu, Ridwan menggagas kota Raha menjadi kawasan pengembangan sarana olahraga yang dapat dibanggakan, bukan saja rakyat dan Pemerintah Kabupaten Muna, tetapi juga Sulawesi Tenggara.


Pembangunan kawasan olahraga dengan penyediaan sarana dan fasilitas modern diharapkan menjadi daya tarik, sehingga makin banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke kota kecil di tepi Selat Buton itu.


Untuk mengabadikan Raja Muna yang terakhir, kawasan itu diberi nama Kawasan Olahraga La Ode Pandu. Di kawasan itu sekarang berdiri megah gedung olahraga serbaguna berkapasitas 3.000 orang, stadion kolam renang berdaya tampung 1.000 penonton dengan menara loncat indah standar nasional, dan sebuah kolam arena dayung.


Pada saat membuka Pekan Olahraga Daerah (Porda) Provinsi Sulawesi Tenggara, Juli 2007, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault bahkan mendeklarasikan Raha sebagai pusat pengembangan olahraga perairan di kawasan timur Indonesia.


Pertimbangannya, Raha telah memiliki sarana dan fasilitas olahraga perairan yang memadai seperti cabang dayung, renang, loncat indah, polo air, selam, dan ski air. Bukan cuma itu. Kabupaten Muna selama ini menjadi gudang atlet dayung berprestasi di tingkat nasional, Asia Tenggara, dan dunia.


Upaya Pemkab Muna di bawah kepemimpinan Bupati Ridwan BAE mendobrak kebekuan kota Raha dinilai banyak pihak cukup berhasil. Kawasan Olahraga La Ode Pandu kini telah berfungsi sebagai ruang publik, obyek rekreasi bagi warga kota yang kini sekitar 110.000 jiwa. Obyek paling ramai adalah stadion renang.


Ketika ditanyakan tentang pendidikan dan kesehatan gratis yang kini jadi jualan politik di berbagai daerah di Indonesia, Bupati menyatakan pihaknya belum memberlakukan pendidikan gratis di daerahnya.


‘’Yang kami genjot saat ini adalah perluasan akses pendidikan, dengan menyediakan atau membangun infrastruktur pendidikan, terutama gedung SMA, melalui dana APBD, dengan tujuan mendekatkan sekolah pada setiap wilayah pemukiman masyarakat,’’ paparnya.


Menurut Ridwan, hingga kini pihaknya telah membangun 14 gedung SMA dan 3 gedung SMP. Khusus SMK, pihaknya bersama pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas, telah membangun 3 unit sekolah.


‘’Alhamdulillah, upaya kami ini rupanya tidak luput dari perhatian pemerintah pusat, sehingga pada bulan Mei lalu kami ditetapkan sebagai salah satu daerah penerima pin emas,’’ tuturnya, seraya menambahkan, pihaknya pada tahun anggaran ini mengalokasikan dana dari APBD sebesar Rp 38 M atau sekitar 19 persen dari total APBD.


Untuk sektor kesehatan, lanjut Ridwan, Pemkab Muna telah memberlakukan pelayanan kesehatan gratis pada setiap Puskesmas sejak Januari 2005 lalu, mendahului program pemerintah pusat yang baru turun pada Agustus 2005.


Seperti daerah lainnya di Sulawesi Tenggara, potensi pertambangan di Kabupaten Muna juga cukup menjanjikan, seperti minyak, aspal, semen, marmer, batu gamping, dan pasir kuarsa. Namun, seperti diakui bupati, hingga kini belum ada investor yang berinvestasi di bidang pertambangan. Padahal, untuk menarik minat investor, pihaknya memberikan kemudahan pelayanan, termasuk pembebasan dari pajak selama 5-10 tahun, tergantung dari nilai investasi.


‘’Kendalanya adalah masalah akses transportasi,’’ aku Ridwan.


Demikian pula potensi wisatanya, tak kalah menariknya dengan daerah lainnya. Namun, sejauh ini belum bisa dibanggakan, antara lain karena belum diolah secara profesional sehingga kehadirannya belum memberi arti bagi kas PAD. Dengan demikian, potensi wisata Kabupaten Muna juga belum bisa menyulap tingkat kesejahtreraan warganya.


Ridwan menyebutkan, Pemkab Muna akan mengupayakan potensi wisata yang ada diolah secara profesional oleh kalangan investor. Karena itu, Pemkab Muna saat ini gencar melobi kalangan swasta untuk menanamkan investasinya di sektor kepariwisataan.


‘’Terus terang, Pemkab Muna memiliki keterbatasan dana untuk mengolah potensi wisata yang ada. Karena itu, kepada investor yang siap bekerja sama, Pemkab akan membantu kelancaran administrasinya, juga penyediaan tenaga kerja siap pakai,’’ ujar Ridwan.


Terlepas dari beberapa kekurangan yang masih nampak di sana sini, apa yang telah dilakukan Ridwan sudah cukup berarti bagi masyarakat Muna. Karena itu, Ridwan berharap penggantinya kelak menindaklanjuti program-program yang telah dirintisnya.


‘’Saya berharap pengganti saya nanti memiliki visi yang sama. Jika tidak, saya yakin Muna akan tinggal di tempat,’’ terang Ridwan.


‘’Saya belum bermanfaat apa-apa di mata masyarakat sekarang. Tapi dengan terbukanya akses, percayalah 5, 10 atau 20 tahun yang akan datang mereka akan ingat siapa yang buat ini,’’ pungkasnya. (Nining)

Julia Pupella, Mewarisi Darah Bisnis Sang Ayah


BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu ungkapan yang paling pas bagi Julia Pupella. Betapa tidak, kesuksesannya di bidang bisnis saat ini tidak lain karena diilhami keberhasilan ayahnya, A Leang, atau yang lebih dikenal Theo Pupella, yang berhasil merintis sedikitnya 17 perusahaan di tahun 1970-an hingga 1980-an, di antaranya Grand Hotel, Pasanggrahan Hotel, Wisma Amala, serta Pulau Kayangan.


Artinya, pewarisan nilai-nilai bisnis sang ayah telah terekam secara matang, sekaligus mulai terstruktur dengan baik. Karena itu, ibu dari anak semata wayang, Jumi Nishikawa, ini menilai ayahnya bukan saja seorang manajer yang berhasil, melainkan telah membangun komitmen membangun masa depan yang baik kepada dia dan lima saudaranya.


Julia mengagumi ayahnya, karena selain pekerja bisnis yang berhasil, juga sebagai orang tua yang sukses membina anak-anaknya menjadi manusia terampil di bidangnya masing-masing.


Prestasi, dedikasi, kenangan, serta pengalaman sang ayah, menjadi bekal serta motivasi bagi perempuan cantik berzodiak Aquarius yang lahir di Makassar pada 12 Februari ini untuk memacu diri, hingga mengantarnya menjadi presiden direktur dari berbagai perusahaan, di antaranya New Shogun Japanese Restaurant, ASKA Japanese Foodstuff, Kapoposang Island Resort, Julia Property, PT Tokyo Rice Burgers (TRB) Indonesia, PT Makassar Tirta Wisata (Makassar Diving Center), serta PT Cathay Express (Tour & Travel).


Ditemui di kantornya, Jalan Penghibur Makassar, alumni Fakultas Ekonomi Unhas yang suka musik ini membeberkan kisah dan pengalamannya membangun kerajaan bisnisnya, 15 tahun silam.


Perempuan berambut pirang yang tidak membeda-bedakan suku, agama, dan adat istiadat dalam bergaul ini mengaku, pengalaman adalah guru terbaik. Pepatah ini kemudian dipadukan dengan ketekunan untuk selalu berbuat yang terbaik. Berkat kerja kerasnya, ia akhirnya meraih kesuksesan lewat bisnis restoran makanan khas Jepang. Ia kemudian membeli Restoran Shogun milik kakaknya, di Jalan Penghibur, tahun 1991.


Kenapa dia begitu antusias mengelola restoran yang menyediakan makanan para turis negara Matahari Terbit itu? Jawabannya sederhana, ia tahu persis kebutuhan masyarakat di kota kelahirannya, Makassar. Hal yang pertama dan paling utama adalah, karena di Makassar ada Konsulat Jepang, sekaligus banyaknya tenaga ahli dari negara Sakura itu yang bekerja di berbagai kota/kabupaten di Sulsel.


‘’Jadi, inspirasi bisnis yang saya tekuni saat ini mulai tertanam ketika usai sekolah saya melihat ayah memanej berbagai perusahaan dengan baik dan berhasil. Saya kemudian membulatkan tekad, kelak menjalankan bisnis sendiri. Saya juga membangun kemitraan dan menyusun strategi bisnis dengan pebisnis lainnya,’’ tuturnya merendah.


Restoran yang sudah dibelinya itu kemudian diubah namanya menjadi ‘New Shogun Japanese Restoran’. Dengan tangan terampilnya, Julia memanej restoran tersebut secara profesional. Belakangan, di lantai dasar restoran berlantai empat itu juga dibangun supermarket, bukan saja menyediakan kebutuhan untuk orang Jepang, melainkan juga warga negara lain.


Pada waktu-waktu tertentu, restoran yang menyajikan menu khas itu dikunjungi bukan saja orang Jepang di Sulsel, tetapi juga orang Jepang yang berkiprah dan berdomisili di Sultra, Gorontalo, Sulut, dan Sulteng, yang mengisi waktu libur mereka di Makassar.


Atas permintaan konsumen pula, Julia meningkatkan pelayanan dan memperluas jaringan usahanya, dengan menyediakan bahan baku yang didatangkan langsung dari Jepang, Singapura, dan Jakarta, antara lain beras, daging, bumbu, ikan, asinan, hingga obat-obatan dan es krim.


‘’Saya mendapat informasi, bukan saja orang-orang Jepang yang sulit mendapat bahan baku makanan khas mereka, tetapi juga warga negara lain yang bekerja di Sulawesi. Karena itu, saya berinisiatif memasok bahan baku tersebut dari Makassar,’’ ujar Julia, yang mengaku belum mengetahui persis berapa jumlah orang Jepang di Sulsel. Ia hanya tahu orang Jepang di Makassar sekitar 100 orang.


Karena mewarisi darah bisnis dari sang ayah, tentunya, Julia tidak ingin berkiprah di satu unit usaha saja. Perempuan yang awalnya bercita-cita menjadi desainer ini kemudian membangun kemitraan dengan pengusaha sukses yang juga tokoh muda Sulsel, Andi Ilhamsyah Mattalatta, untuk mengelola Pulau Kapoposang.


Kenapa tertarik mengelola pulau wisata tersebut, padahal ia tidak memiliki hobi diving? Jawabannya sangat sederhana. Ia hanyalah menyediakan lokasi wisata yang indah, nyaman, dan bersih kepada turis asing dan pecinta diving lainnya di tanah air.


‘’Potensi wisata di Pulau Kapoposang masih asri dan sangat luar biasa. Pulau itu memiliki daya tarik tersendiri. Panorama bawah lautnya begitu indah. Pulau itu diibaratkan sebagai surga bagi penyelam. Ia bagai mutiara, dan menjadi kebanggaan Sulsel di masa datang. Obyek wisata Pulau Kapoposang ini dikelola oleh manajemen PT Makassar Tirta Wisata,’’ jelasnya.


Julia mengaku belum bisa berbuat banyak dalam kiprahnya di dunia bisnis. Namun, ia meyakini masih memiliki kesempatan untuk itu karena perjalanan masih panjang. Paling tidak, ia telah memiliki pondasi yang kuat di bidang bisnis. Saat ini saja, ia telah membangun komunikasi dengan berbagai pihak untuk merambah pariwisata Bali dan Jakarta.


Bali menjadi salah satu pilihannya karena pulau dewata itu merupakan daerah tujuan wisata ternama, dan lebih dikenal masyarakat internasional. Julia pun merasa tidak terlalu sulit untuk go internasional. Sebab, ia menguasai tiga bahasa asing, yakni Inggris, Jepang, dan Mandarin. (din pattisahusiwa)

Tradisi Mengawinkan Orang Meninggal

Versi Suku Tionghoa Kanton Khaiping


HAMPIR setiap sektor dan lini kehidupan warga Tionghoa tidak luput dari kebiasaan tradisi budaya leluhurnya. Di abad yang serba instan ini, sebagian besar warga suku Tionghoa yang telah berpikiran demokrat meninggalkan tradisi yang dianutnya secara turun-temurun, namun sebagian kecil yang masih berfikiran tradisional, masih setia mempertahankannya.


Mungkin langka terdengar, ternyata suku Tionghoa Kanton dapat mengawinkan sanak keluarganya yang telah meninggal atau gugur sebelum terlahir sebagai manusia. Hal ini diungkapkan Ji Khai Fu (50), yang akrab disapa Dion Jiefri Gafur.


Suami Forinda (50) atau Kwan Siu Fong itu menuturkan, tradisi mengawinkan orang yang telah tiada bermula dari analisa pada kehidupan nyata di dunia ini, bahwa mungkin kehidupan sesudah meninggal atau gugur sebelum terlahir sebagai wujud manusia, tidaklah ada bedanya. Seperti kejadian yang dialaminya dalam keluarga, ada kakaknya yang gugur sebelum Dion dilahirkan.


Suatu ketika, ibu Dion sering bermimpi didatangi dan diganggu seorang pemuda. Sang ibu lalu pergi ke orang yang pandai meramal. Orang tersebut, yang cukup terkenal pada era tahun 60-an, bergelar ‘nona paccini’ (bahasa Makassar), yang artinya gadis penglihat. Bagi warga keturunan Tionghoa, nama ‘nona paccini’ sudah tidak asing lagi.


‘’Mungkin ada anakmu yang pernah meninggal atau keguguran sebelum sempat lahir?! Inilah perwujudannya dalam mimpi, karena dia inginkan perhatian dan kasih sayangmu, dan untuk menghentikannya, carikanlah dia jodoh, gadis yang telah meninggal pula,’’ saran ‘nona paccini’ ketika ibu Dion datang menemuinya.


Maka, keluarga besar Dion pun berusaha mencarikannya. Ternyata berhasil. Kemudian, dilakukanlah negosiasi dengan keluarga gadis yang telah meninggal tersebut, seperti halnya merencanakan perjodohan bagi yang masih hidup. Ada maharnya pula, terdiri dari perlengkapan yang biasa dipakai orang yang masih hidup.


Ritual pesta pun berlangsung seperti benar-benar ada yang kawin. Yang membedakan, pengantinnya tidak nampak. Yang nampak cuma altar dan foto kedua mempelai yang dipestakan.


‘’Kalau yang meninggal tidak punya foto, cukup nama yang bersangkutan yang ditulis di altar. Altar dilengkapi sesajen. Tidak ketinggalan lilin, dupa dan Hio (tempat menancapkan dupa). Kedua keluarga pun membakar dupa, lalu mendoakan keduanya di hadapan altar sambil berkata kepada kedua mempelai, ’telah kami nikahkan kalian secara sah, itulah pasanganmu, tentramlah kalian di alam sana, tolong jangan ganggu keluarga lagi’,’’ jelas Dion.


Ritual ini berlangsung di rumah mempelai almarhum pria. Altar yang telah digunakan menikahkan kedua mempelai kemudian dipelihara atau dirawat. Adapun mahar-maharnya yang terdiri dari emas dan lain-lain diambil oleh adik lelaki mempelai pria. Jika sang adik mempunyai anak laki-laki, maka anak laki-lakinya itu akan dianggap sebagai anak kandung dari almarhum kedua mempelai.


Biasanya orang tua yang mengawinkan anaknya yang telah meninggal tersebut – umumnya yang mampu secara ekonomi - membelikan sepetak rumah buat pasangan pengantin almarhum, yang diwariskan kepada anak angkat almarhum sebagai wujud cinta kasih dan kasih sayang orang tua kepada kedua mempelai almarhum. (Moeh. David Aritanto)

Wirastawati Tangguh dari Sentani


Profil Yosephine Sokoy


Bermodalkan dana Rp 250 ribu dan 38 bungkus tepung sagu, usahanya kini sudah membentangkan sayap ke berbagai daerah di Papua. Di Timika pernah dirambahnya, meski karena urusan kepercayaan terhadap agennya terpaksa dia hentikan dengan sisa usaha jutaan rupiah. Yosephine Sokoy, mungkin satu-satunya wanita pengusaha tangguh di Tanah Sentani Papua.


DIA memulai usahanya tahun 1996. Orang tuanya di Belanda mengulurkan dana Rp 250 ribu. Usahanya tersebut diberi nama Sentani Meer, artinya Danau Sentani. Uang sebanyak itu digunakan untuk membeli sagu. Sebelumnya, dia sudah menjalankan sedikit-sedikit usahanya. Dengan dana tambahan itu, dia bisa menambah beberapa zak sagu lagi. Kerja sedikit-sedikit dan ditawarkan ke toko-toko. Mereka mau, kemudian tepung sagu pun dititip.


Dari tiga toko menjadi empat. Dari empat mulai naik terus. Waktu pertama, dikerja sendiri selama hampir enam bulan. Setelah itu, dibantu anak-anak dari pedalaman yang dipeliharanya sebanyak 4 orang. Mereka datang sekolah dari Wamena ke Sentani. Mereka diterima dan Yosephine mengajari mereka bagaimana proses pembersihan tepung sagu. Mereka mau kerja.


Produksi pertama waktu itu sekitar 200 kg dalam seminggu. Harganya per kg Rp 7.500. Total Rp 1,5 juta. Pemasukan sebanyak itu masih untung. Waktu itu, Yosephine juga membeli plastik yang biasa dipakai membungkus gula, lalu ditempel dengan lebel yang diketik sendiri. Mereka tulis ‘’Tepung Sagu’’.


‘’Saya tempel dengan lem, baru bawa ke toko,’’ kata Yosephine sembari tertawa mengenang kegiatannya.


Dia berusaha pelan-pelan. Usahanya mulai naik. Akhirnya, dia melihat ada peluang penjualan kue di toko. Mulailah ia menawarkan ke toko-toko.


‘’Banyak juga saingan, tetapi saya ingin coba. Coba empat toko di Mega Abepura dengan di Agro. Dalam satu minggu, saya punya kue habis. Saya senang sekali dapat uang, lalu saya kembali beli oven lagi,’’ terang Yosephine.


Dia terus mencoba meningkatkan usahanya. Saat itu sudah mendekati Natal. Pesanan pun mulai banjir. Yosephine kewalahan menangani sendiri bersama beberapa orang pekerjanya. Ia pun memanggil saudara-saudaranya, termasuk ibu guru yang datang. Dia minta tenaga. Yosephine mencampur adonan, pekerjanya yang cetak, bakar, dan mengemasnya. Itu terjadi tahun 1998.


Dia mencoba, ternyata betul. Usahanya laku keras. Laris manis. Yosephine mendapat uang Rp 10 juta dari hasil kue itu selama Natal. Start buat kue, bulan Oktober. Ratusan toples dibuat dan dimasukkan ke toko. Desember dia sudah panen Rp 10 juta. Dari dana ini, dia kemudian membeli sagu buat tepung, dan membuat kue. Tenaga adalah keluarga sendiri. Hanya saja semuanya sudah bekerja sebagai pegawai negeri, mereka pergi. Yosephine tidak punya tenaga. Dia mulai jalan dengan menggaet dua janda di Sentani. Yang satu, suaminya sudah pergi, jadi tiga orang. Yosephine menawarkan kepada mereka kalau mau bekerja mengolah sagu, nanti diajari. Akhirnya, mereka mau. Mereka bekerja selama empat tahun.


Setelah mereka belajar, Yosephine memberikan modal Rp 250 ribu per orang. Tepung sagu hasil olahan mereka dijual kepada Yosephine. Tapi kira-kira satu tahun, mereka menghentikan usahanya. Modalnya habis untuk belanja dan kebutuhan dapur mereka.


‘’Mereka merasa malu dan mengundurkan diri. Saya menawari para ibu itu agar mau bekerja untuk saya. Namun mereka kadang datang, kadang tidak. Orang Sentani susah. Kalau anak-anak dari pedalaman masih bertahan sampai sekarang sebanyak 4 orang,’’ tutur perempuan berusia 56 tahun ini.


Untuk satu bulan, anak ketiga dari delapan bersaudara ini bisa memperoleh 27 zak sagu basah dan dalam keadaan kotor. Satu zak beratnya 86 kg kotor. Jika diproses hingga bersih, hasilnya sekitar 28 kg atau 25 kg bersih. Sebanyak 7 kg berbentuk kotoran. Jumlah hasil yang diperoleh tergantung dari hasil remas. Kalau di air yang bersih, hasilnya bagus. Kalau air yang saringannya kurang bagus, hasilnya jelek.


Setelah tenaga tidak ada, Yosephine berhenti membuat kue. Sekarang lebih berkonsentrasi pada tepung saja. Sebenarnya toko masih minta, tetapi Yosephine tidak sanggup lantaran tidak ada tenaga.


Alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dok V 1975 ini punya prinsip ingin hidup jujur. Dia mau para pekerjanya disiplin. Kerja tepat waktu. Tidak boleh ‘panjang tangan’. Prinsip ini mungkin buah dari hidup dengan orang asing selama 38 tahun. Para pekerja tidak boleh melanggar peraturan yang ada. Orang di Sentani itu kalau kerja santai sekali. Kalau anak-anak pedalaman sudah maklum peraturan di perusahaan sagu itu. Mereka masuk kerja tepat waktu. Mereka kerja baik sekali.


Padahal, perempuan di Papua ini ada kemauan. Perempuan yang pernah menjabat Ketua Pokja Pendidikan dan Keterampilan PKK di Kabupaten Jayapura ini mengatakan, banyak idenya tidak bisa jalan.


Soal Mesin

Pada tahun 2000, Yosephine melihat tayangan di TV, di Riau ada mesin canggih untuk mengolah sagu. Benaknya berpikir, kapan bisa punya mesin secanggih itu. Dia kemudian membuat proposal. Setelah proposal masuk, tim dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jayapura datang mengunjungi lokasi usahanya. Keputusannya, bisa dibantu. Maka, dibantulah mesin yang sekarang belum pernah dioperasikan.


Pada tahun 2000 juga, ada pelatihan sagu. Pelatihnya dari Bogor. Namanya Prof.Indra. Dia memberikan pelajaran mengenai cara pembersihan sagu. Dia juga tertarik dengan usaha yang dikembangkan ‘’Sentani Meer’’.


Prof. Indra memberikan contoh letak fundasi, jika suatu saat ada mesin. Jadi, rumah tempat mesin sekarang, Yosephine sendiri yang bangun. Padahal, belum ada mesin. Hanya kemauan yang keras saja yang mendorong perempuan ini bekerja.


Fundasi itu nganggur selama tiga tahun. Perindag kemudian datang menengok dan menyampaikan bisa membantu mesin. Dibangun rumahnya dulu, baru mesin menyusul. Hanya saja, tidak sesuai dengan fundasi yang sudah ada. Bahkan empat tahun mesin parkir di pinggir pagar, masih dalam kontainer, menunggu pemasangan. Yosephine pun tidak tahu bagaimana memasangnya. Tujuh belas kali ditutup dengan tenda agar tidak berkarat.


Suaminya menganjurkan agar Yosephine datang ke bengkel Sinar Sakti. Nama pemilik bengkel itu Marthen, teman suaminya. Dia menyanggupi dan akan datang ke rumah Yosephine. Bahkan sanggup membawa alat dan tenaga dan memasukkan mesin ke rumah yang sudah dibangun. Hanya dua mesin yang masuk, satu mesin lain tidak kebagian tempat. Ya, nganggur di luar.


Mesin yang terpasang pun tidak sempat terpakai. Anak pasangan petani ini pernah menawarkan ke Perindag Rp 75 juta agar bisa menyediakan tenaga dan alat yang kurang supaya dapat mengoperasi mesin tersebut. Soalnya, Sinar Sakti sudah bisa menggerakkan mesin dan bisa jalan. Akhirnya, usaha sagu itu berjalan dengan pengolahan tradisional yang ada. Mesin masih tetap nganggur.


Kalau mesin ini jalan, produk sagu bisa menguasai Tanah Papua. Yosephine sudah terlanjur promosi tepung. Laku sekali. Sebab, tidak ada orang Papua yang bekerja tepung seperti dia. Sekarang memasarkan saja yang tidak mampu lagi dilayani produksi secara manual. Sebab, produksi sangat tergantung pada panas matahari.


‘’Kami kejar matahari. Satu hari bisa capai 100 kg sagu jadi kering. Kalau hujan, sagu terpaksa diangkat dan dimasukkan kembali ke air agar tidak berubah warna. Dia harus cepat kering,’’ katanya.


Dengan menggunakan tenaga manual, produksi tepung sagu sebulan bisa mencapai 400 kg. Kalau matahari bagus, dalam sebulan bisa mencapai 800 kg. Tetapi, Sentani khususnya, Papua umumnya, tidak kenal musim. Hujan bisa turun saban saat.


Soal pemasaran sebenarnya tidak terlalu sulit. Ada beberapa toko, dalam sebulan bisa tiga kali pesan. Tiga toko (Mega, Saga Mall, dan Agro) lancar. Yang lain, satu bulan ada dua kali atau satu kali.


Persoalan mesin senilai Rp 275 juta yang tidak jalan itu, mungkin perlu ada pembicaraan ulang dengan Disperindag. Maksudnya, status mesin tersebut. Apakah hibah atau dalam bentuk kredit bergulir. Kalau hibah, berarti disumbangkan. Jika dalam bentuk kredit bergulir, berarti perlu ada kesepakatan dalam sistem bagi hasil.


Menurut salah seorang pejabat Pemkab Jayapura, persoalan mandeknya mesin mungkin bermula dari tiadanya sistem pengoperasian. Artinya, dalam pengoperasian. Jika mesin berupa bentuk hasil kredit bergulir, jelas mesin tersebut menjadi milik Pemkab, dan pengoperasiannya dilakukan swasta.


Konsekuensinya, jadi dalam jangka waktu tertentu ada tenggang waktu pengembalian dananya. Jika sudah lunas, mesin tersebut akan menjadi milik pihak yang mengoperasikannya. Dana yang telah diserahkan (dalam bentuk pembayaran secara berkala, per bulan atau per triwulan) dapat digulirkan ke kelompok atau masyarakat yang lain lagi. Begitulah kira-kira aturan mainnya yang lazim untuk sebuah bentuk bantuan yang bersifat dana bergulir.


Sekolah Batik

Yosephine kemudian melebarkan usahanya dengan memproduksi batik khas Papua. Untuk menjalankan usaha itu, dia terlebih dahulu berguru di Balai Besar Batik di Yogyakarta selama sebulan. Dia kembali dan pergi membeli separuh alat membatik yang diperlukan. Baik itu cap, screen, dan printing-nya.


Dua kontainer perlengkapan membatik, seperti cetakan kuningan tergeletak di dekat rumah. Rex, suaminya sempat sewot melihat perlengkapan membatik itu terbaring di luar rumah dan khawatir akan berkarat serta jadi besi tua. Namun Yosephine tetap tegar. Dia bisa membuat cetakan kuningan itu mengkilap kembali, karena pernah mempelajari ilmunya di Jawa. Gara-gara itu, Yosephine seminggu ‘’gencatan senjata’’ (tidak baku bicara) dengan suaminya.


Setelah turun ke desa-desa, Yosephine menemukan empat anak yang pernah bekerja di usaha batik di kawasan Abepura. Mereka diajak bekerja membatik. Tidak lama pembeli datang. Mereka membeli hasil yang dikerjakan dengan tangan. Lama-lama Yosephine baru sadar, warna kurang cemerlang. Salah, tetapi pembeli tetap selera. Pesanan dari Sorong datang. Kabupaten Raja Ampat pesan pakaian seragam pegawai kabupaten untuk 600 karyawan.


Tidak puas dengan hasil cetakan sendiri, Yosephine terbang lagi ke Jawa. Dia bawa motif dan mendatangi Batik Keris di Solo. Dia ajak kerja sama. Yosephine minta Batik Keris menjaga motif yang dibawanya tidak jatuh ke tangan orang lain. Akhirnya, kerja sama terjalin. Jadi, batik motif Papua itu dicetak di Solo dan kini sudah siap 48 koli dengan lima warna satu motif.


Dari batik dia bisa dapat Rp 12 juta per bulan bersih. Kadang ada Rp 9 juta. Tergantung dari pembeli. Produksi yang dikirim dari Solo 7.800 m kain lima warna untuk satu motif.


Batik dan beberapa bentuk kerajinan Papua terpajang di bilik seluas 6 x 5 m, di sebelah kanan teras rumah pasangan Rex-Yosephine. Di situlah batik-batik Papua dengan sejumlah motif aneka dipajang. Usaha batiknya tetap lancar dan sering didatangi tamu. (M.Dahlan Abubakar)