LAYANG-LAYANG tradisional yang terbuat dari bahan-bahan alami, yang di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, dikenal dengan kaghati, ternyata memberikan pengalaman dan kesan mendalam bagi Suarnadi. Karena, layangan tersebut tidak hanya bisa menembus angkasa, bahkan membawa Suarnadi ‘terbang’ sampai ke Prancis.
Berkat kaghati, Suarnadi pada September 1996 berhasil menginjakkan kakinya di Prancis, dan untuk pertama kalinya menerbangkan layang-layang tradisional itu di sekitar Pantai Normandia, kurang lebih 250 km dari
Kaghati terbuat dari bahan-bahan alami yaitu dari daun kolope (ubi hutan), bambu rami dan benang dari serat daun nenas hutan. Untuk menghubungkan bahan satu dengan lainnya digunakan bahan penisik dari kulit bambu yang diruncingkan. Sebagai penyeimbang layangan, digunakan dua bandulan pada kiri-kanan sayap layangan menggunakan kayu berukuran kecil.
Layangan yang serba alami itu menarik perhatian masyarakat Prancis, utamanya para peneliti sejarah dunia yang ada di Paris. Para peneliti mengatakan bahwa statement
‘’Karena layang-layang kaghati menjadi perhatian yang luar biasa, tahun berikutnya kami diundang secara terhormat. Kami dijamu di salah satu resort wisata elit di pinggir laut. Di situlah kami menjadi undangan terhormat,’’ ungkap Suarnadi, sembari menambahkan sampai sekarang pihaknya tetap menjadi duta layang-layang setiap ada pengiriman ke luar negeri, baik ke Eropa maupun
Sebelum mengabdi di Kabupaten Muna, Suarnadi bertugas di Dinas Pariwisata Provinsi Sultra sejak 1982. Saat dipindah-tugaskan ke Muna, kabupaten tersebut belum memiliki Dinas Pariwisata, sehingga suami dari seorang diplomat yang kini bertugas di Shanghai, China, ini ditugaskan sebagai pembantu di bidang pariwisata, yang menangani bidang pariwisata di bagian perekonomian Pemkab Muna.
Dalam kapasitasnya sebagai juri festival layang-layang internasional dan seksi lomba layang-layang, Suarnadi dapat menjelaskan bahwa layang-layang tradisional yang diikutkan lomba harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain semua bahan-bahannya dari bahan alami, punya latar belakang sejarah, serta ada hubungannya dengan keyakinan.
Kriteria lainnya, misalnya mengenai frame-nya, cara penataannya harus punya nilai estetika yang bagus. Selain itu, pada saat terbang tidak goyang, dan setelah sampai di atas tidak jatuh.
‘’Kalau layang-layang tradisional ukurannya cuma satu dimensi, hanya berbentuk seperti jipang. Tapi yang menjadi masalah, bagaimana caranya mereka membuat, apakah dicampur dengan bahan-bahan dari industri atau semuanya bahan alami,’’ jelasnya.
Kalau dimensi dua, sambung Suarnadi, bahannya alami juga, terbuat dari bahan pelepah pisang, tapi lemnya mungkin sudah menggunakan produksi toko. Itu dikatakan dua dimensi karena tingkat kesulitan pembuatannya, misalnya membuat burung atau kapal-kapal, dan sebagainya.
Pada perlombaan tahun ini, panitia memberikan kebebasan kepada peserta untuk berkreasi dalam membuat layang-layang, apakah modelnya seperti ikan, seperti kupu-kupu atau seperti burung, dan sebagainya.
Panitia juga melibatkan anak-anak SD untuk melukisi layang-layang sebelum layang-layang tersebut dinaikkan ke udara. Kegiatan ini sebenarnya direncanakan sejak tahun lalu, namun karena satu dan lain hal sehingga tidak terlaksana dan baru terwujud tahun ini.
Kegiatan melibatkan anak-anak SD itu juga merupakan salah satu upaya untuk mencari bibit-bibit pelayang-layang, karena dikhawatirkan mereka nantinya tidak bisa membuat layang-layang sehingga tidak ada regenerasi. Kalau beruntung, mereka juga bisa ke luar negeri , menjadi duta layang-layang.
Festival Layang-Layang Internasional di Kabupaten Muna diadakan setiap bulan Juli. Tahun ini diselenggarakan pada 17-20 Juli lalu, yang diikuti 5 negara dan diharapkan akan terus meningkat setiap tahunnya.
‘’Festival layang-layang ini bisa menjadi semacam ajang promosi, bukan saja mempromosikan layangan, tetapi juga semua obyek wisata yang ada di Kabupaten Muna,’’ pungkas Suarnadi. (Nining)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar