29 Oktober 2008

Julia Pupella, Mewarisi Darah Bisnis Sang Ayah


BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu ungkapan yang paling pas bagi Julia Pupella. Betapa tidak, kesuksesannya di bidang bisnis saat ini tidak lain karena diilhami keberhasilan ayahnya, A Leang, atau yang lebih dikenal Theo Pupella, yang berhasil merintis sedikitnya 17 perusahaan di tahun 1970-an hingga 1980-an, di antaranya Grand Hotel, Pasanggrahan Hotel, Wisma Amala, serta Pulau Kayangan.


Artinya, pewarisan nilai-nilai bisnis sang ayah telah terekam secara matang, sekaligus mulai terstruktur dengan baik. Karena itu, ibu dari anak semata wayang, Jumi Nishikawa, ini menilai ayahnya bukan saja seorang manajer yang berhasil, melainkan telah membangun komitmen membangun masa depan yang baik kepada dia dan lima saudaranya.


Julia mengagumi ayahnya, karena selain pekerja bisnis yang berhasil, juga sebagai orang tua yang sukses membina anak-anaknya menjadi manusia terampil di bidangnya masing-masing.


Prestasi, dedikasi, kenangan, serta pengalaman sang ayah, menjadi bekal serta motivasi bagi perempuan cantik berzodiak Aquarius yang lahir di Makassar pada 12 Februari ini untuk memacu diri, hingga mengantarnya menjadi presiden direktur dari berbagai perusahaan, di antaranya New Shogun Japanese Restaurant, ASKA Japanese Foodstuff, Kapoposang Island Resort, Julia Property, PT Tokyo Rice Burgers (TRB) Indonesia, PT Makassar Tirta Wisata (Makassar Diving Center), serta PT Cathay Express (Tour & Travel).


Ditemui di kantornya, Jalan Penghibur Makassar, alumni Fakultas Ekonomi Unhas yang suka musik ini membeberkan kisah dan pengalamannya membangun kerajaan bisnisnya, 15 tahun silam.


Perempuan berambut pirang yang tidak membeda-bedakan suku, agama, dan adat istiadat dalam bergaul ini mengaku, pengalaman adalah guru terbaik. Pepatah ini kemudian dipadukan dengan ketekunan untuk selalu berbuat yang terbaik. Berkat kerja kerasnya, ia akhirnya meraih kesuksesan lewat bisnis restoran makanan khas Jepang. Ia kemudian membeli Restoran Shogun milik kakaknya, di Jalan Penghibur, tahun 1991.


Kenapa dia begitu antusias mengelola restoran yang menyediakan makanan para turis negara Matahari Terbit itu? Jawabannya sederhana, ia tahu persis kebutuhan masyarakat di kota kelahirannya, Makassar. Hal yang pertama dan paling utama adalah, karena di Makassar ada Konsulat Jepang, sekaligus banyaknya tenaga ahli dari negara Sakura itu yang bekerja di berbagai kota/kabupaten di Sulsel.


‘’Jadi, inspirasi bisnis yang saya tekuni saat ini mulai tertanam ketika usai sekolah saya melihat ayah memanej berbagai perusahaan dengan baik dan berhasil. Saya kemudian membulatkan tekad, kelak menjalankan bisnis sendiri. Saya juga membangun kemitraan dan menyusun strategi bisnis dengan pebisnis lainnya,’’ tuturnya merendah.


Restoran yang sudah dibelinya itu kemudian diubah namanya menjadi ‘New Shogun Japanese Restoran’. Dengan tangan terampilnya, Julia memanej restoran tersebut secara profesional. Belakangan, di lantai dasar restoran berlantai empat itu juga dibangun supermarket, bukan saja menyediakan kebutuhan untuk orang Jepang, melainkan juga warga negara lain.


Pada waktu-waktu tertentu, restoran yang menyajikan menu khas itu dikunjungi bukan saja orang Jepang di Sulsel, tetapi juga orang Jepang yang berkiprah dan berdomisili di Sultra, Gorontalo, Sulut, dan Sulteng, yang mengisi waktu libur mereka di Makassar.


Atas permintaan konsumen pula, Julia meningkatkan pelayanan dan memperluas jaringan usahanya, dengan menyediakan bahan baku yang didatangkan langsung dari Jepang, Singapura, dan Jakarta, antara lain beras, daging, bumbu, ikan, asinan, hingga obat-obatan dan es krim.


‘’Saya mendapat informasi, bukan saja orang-orang Jepang yang sulit mendapat bahan baku makanan khas mereka, tetapi juga warga negara lain yang bekerja di Sulawesi. Karena itu, saya berinisiatif memasok bahan baku tersebut dari Makassar,’’ ujar Julia, yang mengaku belum mengetahui persis berapa jumlah orang Jepang di Sulsel. Ia hanya tahu orang Jepang di Makassar sekitar 100 orang.


Karena mewarisi darah bisnis dari sang ayah, tentunya, Julia tidak ingin berkiprah di satu unit usaha saja. Perempuan yang awalnya bercita-cita menjadi desainer ini kemudian membangun kemitraan dengan pengusaha sukses yang juga tokoh muda Sulsel, Andi Ilhamsyah Mattalatta, untuk mengelola Pulau Kapoposang.


Kenapa tertarik mengelola pulau wisata tersebut, padahal ia tidak memiliki hobi diving? Jawabannya sangat sederhana. Ia hanyalah menyediakan lokasi wisata yang indah, nyaman, dan bersih kepada turis asing dan pecinta diving lainnya di tanah air.


‘’Potensi wisata di Pulau Kapoposang masih asri dan sangat luar biasa. Pulau itu memiliki daya tarik tersendiri. Panorama bawah lautnya begitu indah. Pulau itu diibaratkan sebagai surga bagi penyelam. Ia bagai mutiara, dan menjadi kebanggaan Sulsel di masa datang. Obyek wisata Pulau Kapoposang ini dikelola oleh manajemen PT Makassar Tirta Wisata,’’ jelasnya.


Julia mengaku belum bisa berbuat banyak dalam kiprahnya di dunia bisnis. Namun, ia meyakini masih memiliki kesempatan untuk itu karena perjalanan masih panjang. Paling tidak, ia telah memiliki pondasi yang kuat di bidang bisnis. Saat ini saja, ia telah membangun komunikasi dengan berbagai pihak untuk merambah pariwisata Bali dan Jakarta.


Bali menjadi salah satu pilihannya karena pulau dewata itu merupakan daerah tujuan wisata ternama, dan lebih dikenal masyarakat internasional. Julia pun merasa tidak terlalu sulit untuk go internasional. Sebab, ia menguasai tiga bahasa asing, yakni Inggris, Jepang, dan Mandarin. (din pattisahusiwa)

Tidak ada komentar: