29 Oktober 2008

Wirastawati Tangguh dari Sentani


Profil Yosephine Sokoy


Bermodalkan dana Rp 250 ribu dan 38 bungkus tepung sagu, usahanya kini sudah membentangkan sayap ke berbagai daerah di Papua. Di Timika pernah dirambahnya, meski karena urusan kepercayaan terhadap agennya terpaksa dia hentikan dengan sisa usaha jutaan rupiah. Yosephine Sokoy, mungkin satu-satunya wanita pengusaha tangguh di Tanah Sentani Papua.


DIA memulai usahanya tahun 1996. Orang tuanya di Belanda mengulurkan dana Rp 250 ribu. Usahanya tersebut diberi nama Sentani Meer, artinya Danau Sentani. Uang sebanyak itu digunakan untuk membeli sagu. Sebelumnya, dia sudah menjalankan sedikit-sedikit usahanya. Dengan dana tambahan itu, dia bisa menambah beberapa zak sagu lagi. Kerja sedikit-sedikit dan ditawarkan ke toko-toko. Mereka mau, kemudian tepung sagu pun dititip.


Dari tiga toko menjadi empat. Dari empat mulai naik terus. Waktu pertama, dikerja sendiri selama hampir enam bulan. Setelah itu, dibantu anak-anak dari pedalaman yang dipeliharanya sebanyak 4 orang. Mereka datang sekolah dari Wamena ke Sentani. Mereka diterima dan Yosephine mengajari mereka bagaimana proses pembersihan tepung sagu. Mereka mau kerja.


Produksi pertama waktu itu sekitar 200 kg dalam seminggu. Harganya per kg Rp 7.500. Total Rp 1,5 juta. Pemasukan sebanyak itu masih untung. Waktu itu, Yosephine juga membeli plastik yang biasa dipakai membungkus gula, lalu ditempel dengan lebel yang diketik sendiri. Mereka tulis ‘’Tepung Sagu’’.


‘’Saya tempel dengan lem, baru bawa ke toko,’’ kata Yosephine sembari tertawa mengenang kegiatannya.


Dia berusaha pelan-pelan. Usahanya mulai naik. Akhirnya, dia melihat ada peluang penjualan kue di toko. Mulailah ia menawarkan ke toko-toko.


‘’Banyak juga saingan, tetapi saya ingin coba. Coba empat toko di Mega Abepura dengan di Agro. Dalam satu minggu, saya punya kue habis. Saya senang sekali dapat uang, lalu saya kembali beli oven lagi,’’ terang Yosephine.


Dia terus mencoba meningkatkan usahanya. Saat itu sudah mendekati Natal. Pesanan pun mulai banjir. Yosephine kewalahan menangani sendiri bersama beberapa orang pekerjanya. Ia pun memanggil saudara-saudaranya, termasuk ibu guru yang datang. Dia minta tenaga. Yosephine mencampur adonan, pekerjanya yang cetak, bakar, dan mengemasnya. Itu terjadi tahun 1998.


Dia mencoba, ternyata betul. Usahanya laku keras. Laris manis. Yosephine mendapat uang Rp 10 juta dari hasil kue itu selama Natal. Start buat kue, bulan Oktober. Ratusan toples dibuat dan dimasukkan ke toko. Desember dia sudah panen Rp 10 juta. Dari dana ini, dia kemudian membeli sagu buat tepung, dan membuat kue. Tenaga adalah keluarga sendiri. Hanya saja semuanya sudah bekerja sebagai pegawai negeri, mereka pergi. Yosephine tidak punya tenaga. Dia mulai jalan dengan menggaet dua janda di Sentani. Yang satu, suaminya sudah pergi, jadi tiga orang. Yosephine menawarkan kepada mereka kalau mau bekerja mengolah sagu, nanti diajari. Akhirnya, mereka mau. Mereka bekerja selama empat tahun.


Setelah mereka belajar, Yosephine memberikan modal Rp 250 ribu per orang. Tepung sagu hasil olahan mereka dijual kepada Yosephine. Tapi kira-kira satu tahun, mereka menghentikan usahanya. Modalnya habis untuk belanja dan kebutuhan dapur mereka.


‘’Mereka merasa malu dan mengundurkan diri. Saya menawari para ibu itu agar mau bekerja untuk saya. Namun mereka kadang datang, kadang tidak. Orang Sentani susah. Kalau anak-anak dari pedalaman masih bertahan sampai sekarang sebanyak 4 orang,’’ tutur perempuan berusia 56 tahun ini.


Untuk satu bulan, anak ketiga dari delapan bersaudara ini bisa memperoleh 27 zak sagu basah dan dalam keadaan kotor. Satu zak beratnya 86 kg kotor. Jika diproses hingga bersih, hasilnya sekitar 28 kg atau 25 kg bersih. Sebanyak 7 kg berbentuk kotoran. Jumlah hasil yang diperoleh tergantung dari hasil remas. Kalau di air yang bersih, hasilnya bagus. Kalau air yang saringannya kurang bagus, hasilnya jelek.


Setelah tenaga tidak ada, Yosephine berhenti membuat kue. Sekarang lebih berkonsentrasi pada tepung saja. Sebenarnya toko masih minta, tetapi Yosephine tidak sanggup lantaran tidak ada tenaga.


Alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dok V 1975 ini punya prinsip ingin hidup jujur. Dia mau para pekerjanya disiplin. Kerja tepat waktu. Tidak boleh ‘panjang tangan’. Prinsip ini mungkin buah dari hidup dengan orang asing selama 38 tahun. Para pekerja tidak boleh melanggar peraturan yang ada. Orang di Sentani itu kalau kerja santai sekali. Kalau anak-anak pedalaman sudah maklum peraturan di perusahaan sagu itu. Mereka masuk kerja tepat waktu. Mereka kerja baik sekali.


Padahal, perempuan di Papua ini ada kemauan. Perempuan yang pernah menjabat Ketua Pokja Pendidikan dan Keterampilan PKK di Kabupaten Jayapura ini mengatakan, banyak idenya tidak bisa jalan.


Soal Mesin

Pada tahun 2000, Yosephine melihat tayangan di TV, di Riau ada mesin canggih untuk mengolah sagu. Benaknya berpikir, kapan bisa punya mesin secanggih itu. Dia kemudian membuat proposal. Setelah proposal masuk, tim dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jayapura datang mengunjungi lokasi usahanya. Keputusannya, bisa dibantu. Maka, dibantulah mesin yang sekarang belum pernah dioperasikan.


Pada tahun 2000 juga, ada pelatihan sagu. Pelatihnya dari Bogor. Namanya Prof.Indra. Dia memberikan pelajaran mengenai cara pembersihan sagu. Dia juga tertarik dengan usaha yang dikembangkan ‘’Sentani Meer’’.


Prof. Indra memberikan contoh letak fundasi, jika suatu saat ada mesin. Jadi, rumah tempat mesin sekarang, Yosephine sendiri yang bangun. Padahal, belum ada mesin. Hanya kemauan yang keras saja yang mendorong perempuan ini bekerja.


Fundasi itu nganggur selama tiga tahun. Perindag kemudian datang menengok dan menyampaikan bisa membantu mesin. Dibangun rumahnya dulu, baru mesin menyusul. Hanya saja, tidak sesuai dengan fundasi yang sudah ada. Bahkan empat tahun mesin parkir di pinggir pagar, masih dalam kontainer, menunggu pemasangan. Yosephine pun tidak tahu bagaimana memasangnya. Tujuh belas kali ditutup dengan tenda agar tidak berkarat.


Suaminya menganjurkan agar Yosephine datang ke bengkel Sinar Sakti. Nama pemilik bengkel itu Marthen, teman suaminya. Dia menyanggupi dan akan datang ke rumah Yosephine. Bahkan sanggup membawa alat dan tenaga dan memasukkan mesin ke rumah yang sudah dibangun. Hanya dua mesin yang masuk, satu mesin lain tidak kebagian tempat. Ya, nganggur di luar.


Mesin yang terpasang pun tidak sempat terpakai. Anak pasangan petani ini pernah menawarkan ke Perindag Rp 75 juta agar bisa menyediakan tenaga dan alat yang kurang supaya dapat mengoperasi mesin tersebut. Soalnya, Sinar Sakti sudah bisa menggerakkan mesin dan bisa jalan. Akhirnya, usaha sagu itu berjalan dengan pengolahan tradisional yang ada. Mesin masih tetap nganggur.


Kalau mesin ini jalan, produk sagu bisa menguasai Tanah Papua. Yosephine sudah terlanjur promosi tepung. Laku sekali. Sebab, tidak ada orang Papua yang bekerja tepung seperti dia. Sekarang memasarkan saja yang tidak mampu lagi dilayani produksi secara manual. Sebab, produksi sangat tergantung pada panas matahari.


‘’Kami kejar matahari. Satu hari bisa capai 100 kg sagu jadi kering. Kalau hujan, sagu terpaksa diangkat dan dimasukkan kembali ke air agar tidak berubah warna. Dia harus cepat kering,’’ katanya.


Dengan menggunakan tenaga manual, produksi tepung sagu sebulan bisa mencapai 400 kg. Kalau matahari bagus, dalam sebulan bisa mencapai 800 kg. Tetapi, Sentani khususnya, Papua umumnya, tidak kenal musim. Hujan bisa turun saban saat.


Soal pemasaran sebenarnya tidak terlalu sulit. Ada beberapa toko, dalam sebulan bisa tiga kali pesan. Tiga toko (Mega, Saga Mall, dan Agro) lancar. Yang lain, satu bulan ada dua kali atau satu kali.


Persoalan mesin senilai Rp 275 juta yang tidak jalan itu, mungkin perlu ada pembicaraan ulang dengan Disperindag. Maksudnya, status mesin tersebut. Apakah hibah atau dalam bentuk kredit bergulir. Kalau hibah, berarti disumbangkan. Jika dalam bentuk kredit bergulir, berarti perlu ada kesepakatan dalam sistem bagi hasil.


Menurut salah seorang pejabat Pemkab Jayapura, persoalan mandeknya mesin mungkin bermula dari tiadanya sistem pengoperasian. Artinya, dalam pengoperasian. Jika mesin berupa bentuk hasil kredit bergulir, jelas mesin tersebut menjadi milik Pemkab, dan pengoperasiannya dilakukan swasta.


Konsekuensinya, jadi dalam jangka waktu tertentu ada tenggang waktu pengembalian dananya. Jika sudah lunas, mesin tersebut akan menjadi milik pihak yang mengoperasikannya. Dana yang telah diserahkan (dalam bentuk pembayaran secara berkala, per bulan atau per triwulan) dapat digulirkan ke kelompok atau masyarakat yang lain lagi. Begitulah kira-kira aturan mainnya yang lazim untuk sebuah bentuk bantuan yang bersifat dana bergulir.


Sekolah Batik

Yosephine kemudian melebarkan usahanya dengan memproduksi batik khas Papua. Untuk menjalankan usaha itu, dia terlebih dahulu berguru di Balai Besar Batik di Yogyakarta selama sebulan. Dia kembali dan pergi membeli separuh alat membatik yang diperlukan. Baik itu cap, screen, dan printing-nya.


Dua kontainer perlengkapan membatik, seperti cetakan kuningan tergeletak di dekat rumah. Rex, suaminya sempat sewot melihat perlengkapan membatik itu terbaring di luar rumah dan khawatir akan berkarat serta jadi besi tua. Namun Yosephine tetap tegar. Dia bisa membuat cetakan kuningan itu mengkilap kembali, karena pernah mempelajari ilmunya di Jawa. Gara-gara itu, Yosephine seminggu ‘’gencatan senjata’’ (tidak baku bicara) dengan suaminya.


Setelah turun ke desa-desa, Yosephine menemukan empat anak yang pernah bekerja di usaha batik di kawasan Abepura. Mereka diajak bekerja membatik. Tidak lama pembeli datang. Mereka membeli hasil yang dikerjakan dengan tangan. Lama-lama Yosephine baru sadar, warna kurang cemerlang. Salah, tetapi pembeli tetap selera. Pesanan dari Sorong datang. Kabupaten Raja Ampat pesan pakaian seragam pegawai kabupaten untuk 600 karyawan.


Tidak puas dengan hasil cetakan sendiri, Yosephine terbang lagi ke Jawa. Dia bawa motif dan mendatangi Batik Keris di Solo. Dia ajak kerja sama. Yosephine minta Batik Keris menjaga motif yang dibawanya tidak jatuh ke tangan orang lain. Akhirnya, kerja sama terjalin. Jadi, batik motif Papua itu dicetak di Solo dan kini sudah siap 48 koli dengan lima warna satu motif.


Dari batik dia bisa dapat Rp 12 juta per bulan bersih. Kadang ada Rp 9 juta. Tergantung dari pembeli. Produksi yang dikirim dari Solo 7.800 m kain lima warna untuk satu motif.


Batik dan beberapa bentuk kerajinan Papua terpajang di bilik seluas 6 x 5 m, di sebelah kanan teras rumah pasangan Rex-Yosephine. Di situlah batik-batik Papua dengan sejumlah motif aneka dipajang. Usaha batiknya tetap lancar dan sering didatangi tamu. (M.Dahlan Abubakar)

Tidak ada komentar: