29 Oktober 2008

Tradisi Mengawinkan Orang Meninggal

Versi Suku Tionghoa Kanton Khaiping


HAMPIR setiap sektor dan lini kehidupan warga Tionghoa tidak luput dari kebiasaan tradisi budaya leluhurnya. Di abad yang serba instan ini, sebagian besar warga suku Tionghoa yang telah berpikiran demokrat meninggalkan tradisi yang dianutnya secara turun-temurun, namun sebagian kecil yang masih berfikiran tradisional, masih setia mempertahankannya.


Mungkin langka terdengar, ternyata suku Tionghoa Kanton dapat mengawinkan sanak keluarganya yang telah meninggal atau gugur sebelum terlahir sebagai manusia. Hal ini diungkapkan Ji Khai Fu (50), yang akrab disapa Dion Jiefri Gafur.


Suami Forinda (50) atau Kwan Siu Fong itu menuturkan, tradisi mengawinkan orang yang telah tiada bermula dari analisa pada kehidupan nyata di dunia ini, bahwa mungkin kehidupan sesudah meninggal atau gugur sebelum terlahir sebagai wujud manusia, tidaklah ada bedanya. Seperti kejadian yang dialaminya dalam keluarga, ada kakaknya yang gugur sebelum Dion dilahirkan.


Suatu ketika, ibu Dion sering bermimpi didatangi dan diganggu seorang pemuda. Sang ibu lalu pergi ke orang yang pandai meramal. Orang tersebut, yang cukup terkenal pada era tahun 60-an, bergelar ‘nona paccini’ (bahasa Makassar), yang artinya gadis penglihat. Bagi warga keturunan Tionghoa, nama ‘nona paccini’ sudah tidak asing lagi.


‘’Mungkin ada anakmu yang pernah meninggal atau keguguran sebelum sempat lahir?! Inilah perwujudannya dalam mimpi, karena dia inginkan perhatian dan kasih sayangmu, dan untuk menghentikannya, carikanlah dia jodoh, gadis yang telah meninggal pula,’’ saran ‘nona paccini’ ketika ibu Dion datang menemuinya.


Maka, keluarga besar Dion pun berusaha mencarikannya. Ternyata berhasil. Kemudian, dilakukanlah negosiasi dengan keluarga gadis yang telah meninggal tersebut, seperti halnya merencanakan perjodohan bagi yang masih hidup. Ada maharnya pula, terdiri dari perlengkapan yang biasa dipakai orang yang masih hidup.


Ritual pesta pun berlangsung seperti benar-benar ada yang kawin. Yang membedakan, pengantinnya tidak nampak. Yang nampak cuma altar dan foto kedua mempelai yang dipestakan.


‘’Kalau yang meninggal tidak punya foto, cukup nama yang bersangkutan yang ditulis di altar. Altar dilengkapi sesajen. Tidak ketinggalan lilin, dupa dan Hio (tempat menancapkan dupa). Kedua keluarga pun membakar dupa, lalu mendoakan keduanya di hadapan altar sambil berkata kepada kedua mempelai, ’telah kami nikahkan kalian secara sah, itulah pasanganmu, tentramlah kalian di alam sana, tolong jangan ganggu keluarga lagi’,’’ jelas Dion.


Ritual ini berlangsung di rumah mempelai almarhum pria. Altar yang telah digunakan menikahkan kedua mempelai kemudian dipelihara atau dirawat. Adapun mahar-maharnya yang terdiri dari emas dan lain-lain diambil oleh adik lelaki mempelai pria. Jika sang adik mempunyai anak laki-laki, maka anak laki-lakinya itu akan dianggap sebagai anak kandung dari almarhum kedua mempelai.


Biasanya orang tua yang mengawinkan anaknya yang telah meninggal tersebut – umumnya yang mampu secara ekonomi - membelikan sepetak rumah buat pasangan pengantin almarhum, yang diwariskan kepada anak angkat almarhum sebagai wujud cinta kasih dan kasih sayang orang tua kepada kedua mempelai almarhum. (Moeh. David Aritanto)

Tidak ada komentar: