Bermalam di Kampung Ular
SELAMA setengah bulan kami berada di Seko, berinteraksi dengan masyarakat setempat dan merekam aktivitas mereka। Kini, tiba saatnya melanjutkan perjalanan ke Rampi.
Karena tidak pernah dilewati lagi, maka jalanan ke Rampi – dulu juga bisa dengan ojek - kini sudah tidak ada lagi, karena sudah tertutup rumput yang tumbuh subur। Kembali jadi hutan. Jadi, perjalanan ke Rampi harus jalan kaki. Padahal, Seko-Rampi sama jauhnya dengan Sabbang-Seko.
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami berangkat ke Rampi। Tepatnya pada 9 Agustus 2006, sekitar pukul 10.00 Wita.Tidak ada lagi bekas-bekas jalan yang dulu sering dilalui orang, sehingga kami harus membuat jalan sendiri.
Sekitar pukul 5 sore, keadaan di dalam hutan sudah gelap। Kami memilih tempat yang agak lapang untuk mendirikan tenda dan beristirahat, tapi pemandu menyarankan agar jalan terus. Kedua rekan saya dari Telapak Bogor sudah kelelahan dan tidak mampu jalan lagi. Keduanya memaksa bermalam di situ. Akhirnya pemandu mengalah.
‘’Sepertinya banyak ular di sini,’’ cetus salah seorang di antara kami, tiba-tiba, setelah saling pandang karena bercampur aduk rasa takut dan penasaran।
‘’Terus, suara-suara apa itu yang terdengar,’’ tanya saya।
Tiba-tiba terdengar suara ranting yang agak besar patah dan jatuh di sekitar kami। Kami pun kaget dibuatnya dan saling berpandangan kembali. Sejurus kemudian, teman dari Telapak mengambil senter canggihnya dan mencoba mencari tahu apa gerangan yang jatuh tadi, namun tidak ada satu pun binatang yang kelihatan tersorot senter.
‘’Ah tidak apa-apa ji, tenang saja,’’ hibur pemandu।
Kedua teman dari Telapak kemudian mengeluarkan sleeping bag, perlengkapan standar untuk tidur di alam terbuka। Tak lama berselang, keduanya sudah terbungkus peralatan tersebut dan kelihatan seperti kepompong.
‘’Tidak punya,’’ jawab saya।
‘’Saya bukan Mapala।’’
‘’Betul, saya bukan orang Mapala।’’
‘’Kalau tidak percaya, nanti kamu tanya sendiri sama orang JURnaL kalau sudah sampai di Makassar।’’
‘’Tidak tahu, Pak Unsar yang suruh beli। Bikin berat-berat saja.’’
Setelah pembicaraan terhenti cukup lama, Pak Unsar kembali teringat masalah ular।
‘’Di sini sebenarnya memang daerah ular। Ini namanya kampung ular,’’ aku pemandu.
‘’Wah, bahaya kalau begitu,’’ kata Pak Unsar।
‘’Betul!’’
Saat menegaskan hal itu, raut muka sang pemandu tidak terlihat berbohong atau main-main। Itu berarti ia menyampaikan yang sebenarnya, apa adanya. Seketika saya berdiri dan langsung meloncat ke tengah-tengah dua teman dari Telapak. Saya pikir, saya dalam posisi relatif aman jika berada di tengah-tengah, diapit dua teman dari Telapak yang sekujur tubuhnya sudah terbungkus seperti kepompong.
‘’Ah, tidak apa-apa। Saya jamin, tidak ada yang mengganggu. Tidak ada ular atau apa pun yang berani masuk,’’ kata pemandu.
Singkat cerita, terjadi pertarungan dengan ular raksasa tersebut। Awalnya, tebasan parang sang pemandu tak mampu melukai ular. Tapi setelah dibacakan doa, parangnya berhasil melukai bahkan membunuh ular tersebut.
Karena ada jaminan keamanan dari pemandu, kami merasa agak tenang।
Saya kemudian beranjak mendekati Pak Unsar di depan perapian। Sementara, pemandu mengumpulkan bara arang dalam jumlah cukup banyak, lalu menaburkan bara tersebut mengelilingi tenda. Menurut pemandu, bara arang tersebut untuk melindungi kami. Katanya, ular tidak berani masuk karena sudah mencium bara arangnya.
‘’Makhluk halus juga tidak berani masuk ke sini, karena bara ini dari atas akan terlihat seperti lingkaran api yang besar,’’ terangnya।
Setelah merasa tenang karena kembali mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, Pak Unsar kemudian menyuruh saya mengambil karung। Saya masih belum tahu apa fungsinya karung tersebut. Saya hanya menduga-duga mungkin untuk alas tidur.
‘’Baru kau tahu tho, An। Inilah fungsinya karung,’’ kata Pak Unsar.
Saat dua teman dari Telapak bangun dan melihat saya masih tidur terbungkus karung, keduanya tak bisa menahan tawa dan keheranannya।
Gelak tawa semakin menggema setelah Pak Unsar melaporkan musibah yang dialaminya।
Setelah ngopi dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan। Selain menghadapi medan yang ganas, kami juga harus tahan menghadapi serbuan lintah. Sekitar pukul 5 sore, teman dari Telapak menyerah karena sudah tidak mampu lagi berjalan. Tapi pemandu minta agar jalan terus karena sudah dekat dengan rumah-rumahan tempat untuk istirahat. Akhirnya dipaksakan jalan lagi.
Kami berteriak-teriak di tengah hutan memanggil pemandu, namun tidak ada hasilnya। Akhirnya, kami saling menyalahkan kenapa menyerahkan tenda dan bekal makanan kepada pemandu. Seorang teman dari Telapak tampak stres. Ia terus-terusan mengomel.
Tiba-tiba terdengar teriakan pemandu memanggil-manggil nama kami। Mendengar itu, tanpa dikomando pun kami secara bersamaan membalas teriakan tersebut sehingga terdengar saling sahut menyahut, sampai akhirnya ditemukan posisi kami dan melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, teman dari Telapak tak habis-habisnya mengomel karena lokasi yang dimaksud pemandu ternyata masih jauh.
Kami sebenarnya takut mencuri karena ancaman dendanya cukup berat, yaitu seekor kerbau। Tapi pemandu menyatakan siap bertanggung jawab. Katanya, besuk pagi kalau sudah sampai di perkampungan, langsung melapor kepada kepala sukunya, apa-apa yang diambil dan siap memberikan ganti rugi, daripada mati kelaparan. Selain beras, kami juga menemukan ubi, lombok dan tomat.
Setelah mendengar cerita pemandu kami, kepala suku memanggil pemilik pondok। Ternyata pemilik pondok hanya minta ganti rugi sebesar Rp 20.000. Mereka memuji kami karena dinilai punya nyali dan bertanggung jawab.
Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Bangko’। Di sana terdapat situs budaya dan tanah Rampi. Yakni tempat paling tua di Rampi dan masyarakatnya asli Rampi.
Pada 15 Agustus, tugas kami di Rampi telah rampung, dan tiba saatnya untuk kembali ke Makassar। Kebetulan ada jadwal penerbangan dari Masamba ke Rampi PP. Kabar tersebut sangat menggembirakan kami, karena kami sudah tidak mampu lagi melakukan perjalanan pulang dengan berjalan kaki atau naik ojek.
Akhirnya, tokoh masyarakat setempat yang kami temui dan mintai bantuan, memberikan jalan keluarnya। Kami semua disuruh pura-pura sakit. Karena, katanya, orang sakit mendapat prioritas utama.
‘’Saya kapok, An। Biar diiming-imingi uang jutaan, saya tidak mau ke sini lagi,’’ ucapnya setelah mendarat di Masamba. (Aan Kaharuddin, Tamat)
Data Penulis
Nama : Aan Kaharuddin
TTL : Sidrap, 11 Mei 1982
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Banta-bantaeng No. 44 Makassar
Pekerjaan
1. Kameramen JURnaL Celebes (2002-2007)
2. Editing Film Sulawesi Channel (2007-sekarang)
Pengalaman
Investigasi ilegal logging di Luwu, Tator dan Mamuju.