Profil Nurdin KDI
KETIKA kecil dan beranjak remaja, Nurdin KDI tak pernah membayangkan sedikit pun bakal menjadi penyanyi atau idola baru di blantika musik dangdut nasional. Apalagi berkat sukses menjadi Juara Kontes Dangdut TPI (KDI-4), bujang ganteng kelahiran Majene, Sulawesi Barat, 8 Juni 1983 ini kini mulai bisa hidup mandiri di ibukota - walau masih tinggal di kos-kosan di kawasan Jl. Manunggal XVII, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur - lengkap dengan mobil sedan Suzuki Aerio warna hitam buatan tahun 2003. Padahal, dalam benaknya sebelumnya – pasca lulus SMK 2 Majene jurusan Manajemen Bisnis lima tahun silam -, dirinya hanya ingin cepat-cepat bekerja guna membantu ekonomi keluarganya.
‘’Alhamdulillah, setelah empat bulanan dinobatkan sebagai Juara KDI-4, saya kini sudah punya mobil sedan idaman dan mengendarainya sendiri karena sudah punya SIM-A. Sedangkan untuk membahagiakan keluarga di daerah, saya sudah membangun rumah tinggal baru di Pamboang, Majene, seharga Rp 150 juta,’’ papar Nurdin ketika ditemui di ruang Humas TPI di Pintu II TMII, Jakarta Timur, baru-baru ini.
Begitu dinobatkan sebagai juara KDI-4 pasca memenangkan persaingan dengan Frida Amartin - kontestan asal Yogyakarta - pada babak Grandfinal di Istora Senayan Jakarta, 18 Agustus 2007 silam, kehidupan sehari-hari Nurdin kontan berbalik 180 derajat.
Putra bungsu dari enam bersaudara pasangan petani dan nelayan Yaseng dan almarhumah Dahari ini berhak atas hadiah utama rumah mewah seharga Rp 250 juta persembahan PT Sido Muncul. Sementara jadwal manggung Nurdin yang diatur manajemen Media Nusantara Citra (MNC) begitu padat.
Dari honor tampil di televisi maupun berbagai pentas hiburan dangdut di berbagai penjuru nusantara, ia sanggup mengumpulkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai penyanyi.
Alhasil, bintang baru dangdut yang terpaksa meminjam uang kepada kakak iparnya di Majene untuk mengikuti audisi KDI-4 di Makassar, maupun kepada teman-temannya di Makassar untuk kembali ke kampung halaman setelah masuk lima besar dan meraih tiket ke Jakarta ini, kini bisa memulai hidup mandiri di ibukota.
‘’Begitu hadiah rumah bisa dicairkan dengan dana cash, saya langsung mencoba membahagiakan ayah dan keluarga di Majene dengan membangun rumah baru yang tak jauh dari rumah kelahiran saya. Nah, sisanya saya tabung dan beli sedan Aerio. Toh, dari penghasilan sebagai penyanyi dangdut, saya bisa membayar rumah kos setiap bulan sekaligus membiayai perawatan mobil,’’ terang Nurdin sambil menyunggingkan senyum bangga namun penuh haru bila mengenang masa lalunya.
Serba Minim
Nurdin memang pantas bangga dan haru bila mengenang masa perjuangan panjang dan berlikunya sebelum menjadi orang Makassar pertama menjadi kampiun KDI-4. Betapa tidak. Seniornya - Safaruddin - hanya juara ketiga.
Dibandingkan tiga juara ajang kontes penyanyi dangdut masa depan gelaran TPI itu – mulai dari Siti Rahmawati, Gita, hingga Lola -, hanya Nurdin lah yang paling minim. Ia praktis hanya memiliki pengalaman tampil di panggung 17 Agustusan di kampung Pamboang Majene.
‘’Tampil di pangggung 17-san kampung pun, saya hanya dua kali. Itu pun karena dorongan teman-teman yang sehari-hari melihat saya kerap bernyanyi sambil memainkan gitar,’’ ungkap Nurdin yang blak-blakan mengaku belum sekali pun ikut lomba nyanyi di tingkat kecamatan, kabupaten Majene, apalagi tingkat provinsi Sulawesi Selatan (saat ini Majene sudah masuk provinsi baru Sulbar).
‘’Sejak beranjak remaja, saya hanya belajar menyanyi dan bermusik secara otodidak,’’ tandasnya.
Sedangkan dalam hal dukungan dana mengikuti tahapan audisi KDI, Nurdin pun serba minim. Untuk ongkos perjalanan ke Makassar dan merealisasikan keinginan hati kecilnya mencoba turut memperbaiki ekonomi keluarga dengan menjadi penyanyi sungguhan lewat ajang KDI, ia pun rela menjadi pekerja kasar atau kuli pembuatan tanggul air proyek kecamatan.
‘’Walau harus bekerja di terik matahari dan menguras tenaga maupun keringat, saya hanya mendapat upah Rp 120 ribu. Untungnya, untuk biaya akomodasi dan transportasi ke Makassar, saya dipinjami kakak ipar saya sebanyak Rp 200 ribu. Nah, hanya dengan modal tiga ratus ribu lebih, saya nekad ikut audisi KDI-4 dan terpilih menjadi salah satu dari lima besar wakil kota Makassar ke gerbang KDI di Jakarta. Sementara untuk pulang ke Majene, saya pun dipinjami Vai dan Ica (duo Vaica) sebesar Rp 300 ribu,’’ kenang Nurdin, yang juga pernah menjadi sales promosi produk susu dan makanan terkenal di Makassar.
Meski berbekal pengalaman dan modal serba minim, ditopang rasa percaya diri niat mulia plus keinginan turut memperbaiki ekonomi keluarga, Nurdin kerap tampil memukau dalam setiap konser penjemputan di Teater Tanah Airku TMII..
Alhasil, banyak pemirsa TPI memberi dukungan SMS untuknya hingga sebelum masuk grandfinal dan menjadi kampiun KDI-4, Nurdin mampu menjadi Bintang Episode konser sebanyak enam kali serta sekali menjadi Bintang Kampus.
‘’Saya kira kunci sukses saya menjuarai KDI-4 adalah rasa percaya diri yang tinggi yang dipadukan dengan kerja keras, selain tentunya bakat dan talenta musikalitas alami dari Tuhan YME,’’ tuturnya.
Kemenangan di ajang pencarian bintang dan wajah baru gelaran TPI itu ternyata tiket bagi Nurdin masuk ke kancah blantika musik dangdut. Berkat jadwal manggungnya padat yang diatur manajeman artis MNC, Nurdin pun mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah dalam rekening tabungannya. Dan setelah memberikan rumah untuk keluarga di Majene, Nurdin pun menunjukkan bukti kesuksesan awal karirnya secara finansial dengan membeli mobil sedan Aerio seharga Rp 90 jutaan.
‘’Selama ini saya kerap menghadapi kendala transportasi bila pulang malam setelah tampil di panggung hiburan live maupun acara dangdut televisi di seputar Jabotabek. Karena itu, dengan mobil yang saya kemudikan sendiri, mobilitas saya dalam berjuang menjadi penyanyi profesional bisa lebih lincah. Apalagi di sela-sela kesibukan nyanyi, saya pun mencoba mengikuti casting untuk menjadi presenter beragam kuis di RCTI,’’ ujar Nurdin, pelantun tembang ‘Silpia’ karya Hamdan Anugerah - lagu andalan album Kompilasi Bintang KDI.
Agar diakui sebagai penyanyi dangdut profesional, Nurdin memang harus terus berjuang ekstra keras. Pasalnya, industri rekaman dangdut masih lesu darah. Hingga kalangan produser enggan memproduksi solo album dangdut.
‘’Agar geliat dan langkah menjadi penyanyi dangdut profesional lebih ringan, idealnya saya melansir solo album. Sayangnya situasi dan kondisi industri rekaman dangdut saat ini sangat tidak mendukung. Semoga lewat satu lagu ‘Silpia’ yang saya usung, album Kompilasi Bintang KDI bisa terima khalayak penggemar dangdut dan popularitas saya sebagai penyanyi di masa datang kian membumbung di segala penjuru tanah air,’’ harap Nurdin yang demi menggapai sukses masa depan berniat melanjutkan kuliah di Jakarta. (agust)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar