27 September 2008

Catatan Perjalanan Menembus Jantung Sulawesi


Bermalam di Kampung Ular

SELAMA setengah bulan kami berada di Seko, berinteraksi dengan masyarakat setempat dan merekam aktivitas mereka। Kini, tiba saatnya melanjutkan perjalanan ke Rampi.

Dulu, orang Rampi kalau hendak ke kota (Sabbang) harus ke Seko dulu. Demikian pula jika dari kota hendak ke Rampi, harus melalui Seko. Sekarang, setelah ada jalan pintas yang lebih dekat, lewat Masamba, tak perlu lagi ke Seko dulu.

Karena tidak pernah dilewati lagi, maka jalanan ke Rampi – dulu juga bisa dengan ojek - kini sudah tidak ada lagi, karena sudah tertutup rumput yang tumbuh subur। Kembali jadi hutan. Jadi, perjalanan ke Rampi harus jalan kaki. Padahal, Seko-Rampi sama jauhnya dengan Sabbang-Seko.

Sebenarnya, kami sudah tidak bergairah melanjutkan perjalanan ke Rampi. Soalnya, naik ojek saja dari Sabbang ke Seko, capeknya luar biasa. Apalagi harus jalan kaki ke Rampi. Tapi karena tugas, mau tak mau harus berangkat. Lagi pula, tiga orang warga setempat yang kami sewa sebagai pemandu jalan, membesarkan hati kami dengan menyebutkan jalanannya tidak terlalu susah dan bisa cepat sampai di sana.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami berangkat ke Rampi। Tepatnya pada 9 Agustus 2006, sekitar pukul 10.00 Wita.Tidak ada lagi bekas-bekas jalan yang dulu sering dilalui orang, sehingga kami harus membuat jalan sendiri.

Dari 3 orang pemandu yang kami sewa – masing-masing Rp 300 ribu -, seorang di antaranya masih anak-anak, tapi dia kuat. Masyarakat setempat yang memberi rekomendasi tentang ke tiga pemandu tersebut. Katanya, mereka sering ke Rampi karena punya keluarga di sana. Bagi mereka, hutan sudah seperti rumahnya sendiri.

Sekitar pukul 5 sore, keadaan di dalam hutan sudah gelap। Kami memilih tempat yang agak lapang untuk mendirikan tenda dan beristirahat, tapi pemandu menyarankan agar jalan terus. Kedua rekan saya dari Telapak Bogor sudah kelelahan dan tidak mampu jalan lagi. Keduanya memaksa bermalam di situ. Akhirnya pemandu mengalah.

Ketika kami sedang menikmati teh dan kopi, sekitar pukul 7 malam, terdengar suara mendesis dan ranting patah. Saya pikir itu hal biasa karena di hutan. Di situ memang banyak pohon bambu. Di semak-semak juga ada yang bergerak. Saya pikir tupai atau binatang lain.

‘’Sepertinya banyak ular di sini,’’ cetus salah seorang di antara kami, tiba-tiba, setelah saling pandang karena bercampur aduk rasa takut dan penasaran।

‘’Ah, tidak ada, siapa bilang …,’’ kata pemandu.

‘’Terus, suara-suara apa itu yang terdengar,’’ tanya saya।

‘’Namanya juga hutan, biasalah kalau ada ular atau binatang lainnya,’’ jawab pemandu, enteng.

Tiba-tiba terdengar suara ranting yang agak besar patah dan jatuh di sekitar kami। Kami pun kaget dibuatnya dan saling berpandangan kembali. Sejurus kemudian, teman dari Telapak mengambil senter canggihnya dan mencoba mencari tahu apa gerangan yang jatuh tadi, namun tidak ada satu pun binatang yang kelihatan tersorot senter.

‘’Ada ular di sekitar sini, jangan sampai nanti masuk ke dalam tenda,’’ kata teman dari Telapak, mulai gelisah.

‘’Ah tidak apa-apa ji, tenang saja,’’ hibur pemandu।

‘’Kalau begitu, saya mau tidur,’’ kata teman dari Telapak.

Kedua teman dari Telapak kemudian mengeluarkan sleeping bag, perlengkapan standar untuk tidur di alam terbuka। Tak lama berselang, keduanya sudah terbungkus peralatan tersebut dan kelihatan seperti kepompong.

‘’An, kamu punya yang beginian?’’ tanya salah seorang teman dari Telapak sambil menunjukkan perlengkapan tidurnya.

‘’Tidak punya,’’ jawab saya।

‘’Masa’ sih orang JURnaL tidak punya yang beginian. Kamu Mapala dari mana, An?’’

‘’Saya bukan Mapala।’’

‘’Ah, jangan bercanda, An.’’

‘’Betul, saya bukan orang Mapala।’’

‘’Ah, tidak mungkin diutus ke sini kalau bukan orang Mapala.’’

‘’Kalau tidak percaya, nanti kamu tanya sendiri sama orang JURnaL kalau sudah sampai di Makassar।’’

‘’Trus, untuk apa itu karung?’’

‘’Tidak tahu, Pak Unsar yang suruh beli। Bikin berat-berat saja.’’

‘’Eii … ada gunanya itu. Kau lihat sebentar,’’ kata Pak Unsar.

Setelah pembicaraan terhenti cukup lama, Pak Unsar kembali teringat masalah ular।

‘’Sepertinya banyak sekali ular di sini, Pak,’’ kata Pak Unsar pada pemandu sembari menghangatkan badan di depan perapian.

‘’Di sini sebenarnya memang daerah ular। Ini namanya kampung ular,’’ aku pemandu.

Mendengar jawaban tersebut, Pak Unsar kaget. Terlebih-lebih saya.

‘’Wah, bahaya kalau begitu,’’ kata Pak Unsar।

‘’Betul, Pak?!’’ tanyaku, meminta ketegasan.

‘’Betul!’’

Saat menegaskan hal itu, raut muka sang pemandu tidak terlihat berbohong atau main-main। Itu berarti ia menyampaikan yang sebenarnya, apa adanya. Seketika saya berdiri dan langsung meloncat ke tengah-tengah dua teman dari Telapak. Saya pikir, saya dalam posisi relatif aman jika berada di tengah-tengah, diapit dua teman dari Telapak yang sekujur tubuhnya sudah terbungkus seperti kepompong.

‘’Eii …. minggir, jangan di sini, An. Saya juga takut,’’ protes teman dari Telapak, yang ternyata belum tidur dan menguping pembicaraan kami.

‘’Ah, tidak apa-apa। Saya jamin, tidak ada yang mengganggu. Tidak ada ular atau apa pun yang berani masuk,’’ kata pemandu.

Sang pemandu kemudian menceritakan pengalamannya. Ternyata, dia dan seorang temannya dulu juga pernah bermalam di situ. Ketika sedang mengambil air di sebuah tempat seperti kolam, tiba-tiba muncul ular raksasa sebesar pohon kelapa dari kolam tersebut.

Singkat cerita, terjadi pertarungan dengan ular raksasa tersebut। Awalnya, tebasan parang sang pemandu tak mampu melukai ular. Tapi setelah dibacakan doa, parangnya berhasil melukai bahkan membunuh ular tersebut.

‘’Makanya tadi saya sarankan agar jalan terus, tapi kalian tetap ngotot bermalam di sini,’’ jelas sang pemandu.

Karena ada jaminan keamanan dari pemandu, kami merasa agak tenang।

‘’Sana … kembali ke tempatmu semula,’’ lagi-lagi teman dari Telapak protes saya.

Saya kemudian beranjak mendekati Pak Unsar di depan perapian। Sementara, pemandu mengumpulkan bara arang dalam jumlah cukup banyak, lalu menaburkan bara tersebut mengelilingi tenda. Menurut pemandu, bara arang tersebut untuk melindungi kami. Katanya, ular tidak berani masuk karena sudah mencium bara arangnya.

‘’Tapi di sini kan angker, Pak, karena banyak bambu. Jadi, bagaimana kalau ada roh halus yang lewat atas?’’ tanya saya.

‘’Makhluk halus juga tidak berani masuk ke sini, karena bara ini dari atas akan terlihat seperti lingkaran api yang besar,’’ terangnya।

‘’Makanya tidak usah khawatir, saya jamin malam ini,’’ tegas pemandu.

Setelah merasa tenang karena kembali mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, Pak Unsar kemudian menyuruh saya mengambil karung। Saya masih belum tahu apa fungsinya karung tersebut. Saya hanya menduga-duga mungkin untuk alas tidur.

Setelah menyerahkan karung ukuran besar yang biasanya digunakan sebagai tempat beras, seketika saya terperanjat kaget karena Pak Unsar langsung masuk ke dalam karung tersebut dan bersiap-siap tidur. Rupanya, karung difungsikan sebagai pembungkus badan dari hawa dingin.

‘’Baru kau tahu tho, An। Inilah fungsinya karung,’’ kata Pak Unsar.

Karena sudah mengantuk, saya juga menyiapkan diri untuk ke peraduan. Setelah memperbaiki api unggun, saya kemudian mengenakan jaket tebal dan kaos kaki rangkap dua. Masih terasa dingin. Saya pun ikut-ikutan memanfaatkan dua karung yang tersisa untuk membungkus badan. Ternyata manfaatnya memang besar sekali. Tapi karena masih kepikiran soal ular, meskipun sudah dijamin aman oleh pemandu, menjelang pagi saya baru bisa tertidur.

Saat dua teman dari Telapak bangun dan melihat saya masih tidur terbungkus karung, keduanya tak bisa menahan tawa dan keheranannya।

‘’Betul-betul kau nekat sekali, An. Saya kira kau anak Mapala, ternyata …,’’ komentarnya setelah saya terbangun.

Gelak tawa semakin menggema setelah Pak Unsar melaporkan musibah yang dialaminya।

‘’Kakiku terbakar api unggun, An,’’ ungkap Pak Unsar.

Setelah ngopi dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan। Selain menghadapi medan yang ganas, kami juga harus tahan menghadapi serbuan lintah. Sekitar pukul 5 sore, teman dari Telapak menyerah karena sudah tidak mampu lagi berjalan. Tapi pemandu minta agar jalan terus karena sudah dekat dengan rumah-rumahan tempat untuk istirahat. Akhirnya dipaksakan jalan lagi.

Harus diakui, fisik pemandu kami memang luar biasa. Dan, tanpa disadari, saya dan teman-teman tertinggal jauh. Semuanya terkapar kelelahan. Masalahnya, kami tidak bisa mendirikan tenda di situ karena perlengkapan tersebut dibawa pemandu.

Kami berteriak-teriak di tengah hutan memanggil pemandu, namun tidak ada hasilnya। Akhirnya, kami saling menyalahkan kenapa menyerahkan tenda dan bekal makanan kepada pemandu. Seorang teman dari Telapak tampak stres. Ia terus-terusan mengomel.

Mungkin setelah jalan cukup jauh, pemandu baru menyadari kami tidak bersama rombongannya. Makanya, pemandu kemudian kembali menyusuri jalan yang dilewatinya. Saat itu sudah gelap. Kami pun sudah pasrah jika memang harus tersesat di hutan.

Tiba-tiba terdengar teriakan pemandu memanggil-manggil nama kami। Mendengar itu, tanpa dikomando pun kami secara bersamaan membalas teriakan tersebut sehingga terdengar saling sahut menyahut, sampai akhirnya ditemukan posisi kami dan melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, teman dari Telapak tak habis-habisnya mengomel karena lokasi yang dimaksud pemandu ternyata masih jauh.

Sekitar pukul 9 malam, kami menemukan pondok (rumah-rumahan) yang dibangun penduduk yang membuka hutan untuk berkebun. Saat itu kami sudah kehabisan beras, tapi persediaan mie instan masih cukup banyak. Terpaksa kami membongkar gudang persediaan makanan pemilik kebun. Ternyata masih ada berasnya.

Kami sebenarnya takut mencuri karena ancaman dendanya cukup berat, yaitu seekor kerbau। Tapi pemandu menyatakan siap bertanggung jawab. Katanya, besuk pagi kalau sudah sampai di perkampungan, langsung melapor kepada kepala sukunya, apa-apa yang diambil dan siap memberikan ganti rugi, daripada mati kelaparan. Selain beras, kami juga menemukan ubi, lombok dan tomat.

Keesokan paginya, kami melanjutkan perjalanan. Begitu tiba di Kampung Teleboe, pemandu langsung mencari rumah kepala suku dan melaporkan aksi penjarahan yang kami lakukan semalam.

Setelah mendengar cerita pemandu kami, kepala suku memanggil pemilik pondok। Ternyata pemilik pondok hanya minta ganti rugi sebesar Rp 20.000. Mereka memuji kami karena dinilai punya nyali dan bertanggung jawab.

Perjalanan dari Seko sampai di Kampung Teleboe ini kami tempuh selama 2 hari 2 malam. Kami tiba di kampung tersebut pada 11 Agustus 2006, dan bermalam selama 1 hari.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Bangko’। Di sana terdapat situs budaya dan tanah Rampi. Yakni tempat paling tua di Rampi dan masyarakatnya asli Rampi.

Pada 13 Agustus, kami ke Kampung Dedolo. Di sana terdapat situs budaya berupa patung manusia yang terbuat dari batu. Setelah mengabadikan patung tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Onondoa. Selain mewawancarai masyarakat dan tokoh adat setempat, kami juga merekam tentang cara pengambilan kayu manis. Kami menginap di kampung ini selama 2 hari.

Pada 15 Agustus, tugas kami di Rampi telah rampung, dan tiba saatnya untuk kembali ke Makassar। Kebetulan ada jadwal penerbangan dari Masamba ke Rampi PP. Kabar tersebut sangat menggembirakan kami, karena kami sudah tidak mampu lagi melakukan perjalanan pulang dengan berjalan kaki atau naik ojek.

Masalahnya, masyarakat setempat sudah mem-booking pesawat kecil berpenumpang 8 orang tersebut jauh-jauh hari. Hal ini memaksa kami berpikir keras mencari jalan keluarnya, karena kami sudah trauma jika harus pulang dengan berjalan kaki atau naik ojek.

Akhirnya, tokoh masyarakat setempat yang kami temui dan mintai bantuan, memberikan jalan keluarnya। Kami semua disuruh pura-pura sakit. Karena, katanya, orang sakit mendapat prioritas utama.

Begitulah, kami semua berpura-pura sakit supaya bisa pulang naik pesawat. Dua orang rekan kami yang mewakili Telapak Bogor, tak bisa menutupi kegirangannya. Keduanya berteriak-teriak histeris seperti orang gila, seakan tak percaya bisa keluar dari hutan dalam keadaan hidup.

‘’Saya kapok, An। Biar diiming-imingi uang jutaan, saya tidak mau ke sini lagi,’’ ucapnya setelah mendarat di Masamba. (Aan Kaharuddin, Tamat)


Data Penulis
Nama : Aan Kaharuddin
TTL : Sidrap, 11 Mei 1982
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Banta-bantaeng No. 44 Makassar

Pekerjaan
1. Kameramen JURnaL Celebes (2002-2007)
2. Editing Film Sulawesi Channel (2007-sekarang)

Pengalaman
Investigasi ilegal logging di Luwu, Tator dan Mamuju.

Tidak ada komentar: