Diawali Pembunuhan Terhadap Said Idrus
HENRI Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sejarah dan Sastra (2004: 335) yang mengutip Bo Sangaji Kai yang ditulisnya bersama dengan Salahuddin (1999: 87) secara rinci mengisahkan muasal letusan Gunung Tambora tersebut. Mengutip naskah 87, Chambert Loir menulis:
Hijrat Nabi salla –alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadilawal (Selasa, 11 April 1815). Tatkala itulah di Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, Kemudian berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang. Kemudian turunlah kersik (pasir kasar, batu kerikil halus) batu dan abu seperti dituang. Lamanya tiga hari dua malam. Maka, heranlah sekalian Hamba-nya akan melihat karunia Rabbi al-alamin yang melakukan faccal li-ma yurid (maksudnya, Allah Taala berbuat sekehendak-Nya). Setelah itu, maka teranglah hari. Rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad.
Selain mengisahkan alamat letusan Gunung Tambora, Chambert-Loir (2004: 336) juga mengisahkan asal mulanya meletus Gunung Tambora. Malapetaka yang dialami Negeri Tambora merupakan bentuk kemurkaan Allah Subhanahu wa Taala. Dalam naskah yang dikutip sesuai naskah aslinya (dalam buku ini naskahnya diubah menjadi lebih populer, pen). Chambert-Loir menulis:
‘’Bermula ada seorang Said Idrus. Asalnya dari Bengkulu. Ia menumpang pada seorang Bugis. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus naik ke darat. Dia masuk dalam negeri besar. Berjalan-jalan pesiar hingga lohor. Ia kemudian masuk masjid untuk salat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun menyuruh usir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, disuruh pukul. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu pun berkata.
‘’Raja kami yang empunya anjing ini’’.
‘’Baik, siapa yang punya anjing, karena ini masjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ papar Said Idrus.
Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada sang Raja dia berkata:
‘’Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam masjid’’.
Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu disuruh panggil. Tuan Said Idrus pun datang ke rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said Idrus. Hidangan berisi daging kambing di hadapan orang baik (orang banyak) dengan Raja Tambora.
Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun bertanya kepada Tuan Said.
‘’Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan haram anjing?’’
‘’Ya, haram’’ sahut Tuan Said Idrus.
‘’Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?’’ kata Raja Tambora lagi.
‘’Bukannya anjing saya makan tadi. Saya makan daging kambing, ‘’ sahut Said Idrus.
Raja Tambora dan Tuan Said Idrus saling berbantah. Raja pun menyuruh orangnya.
‘’Bawa olehmu orang Arab ini, bunuh!’’ titah Sang Raja.
Orang banyak itu pun memegang tangan si Arab. Dia dibawa naik ke Gunung Tambora. Setibanya di Gunung Tambora, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan senjata tajam. Orang banyak itu pun menghela kayu. Ada pula yang mengambil batu. Ada yang melontar. Ada yang memukul Tuan Said. Tuan Said pun kelenger. Kepalanya pecah. Darahnya berhamburan. Orang banyak itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.
Di antara negeri dan gunung, tampak nyala api di gunung, di tempat Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar. Baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Api itu pun mengikut pada orang-orang yang membunuh Said. Mereka berlari semuanya. Hendak masuk ke negeri besar. Api malah lebih dahulu menyala di dalam negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah Subhanahu wa Taala, ke mana pun orang lari, api mengikut. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala.
Dalam beberapa hari, api menyala di gunung, di negeri, di lautan, dan di bumi. Hujan abu membuat kelam dan kabut. Tiada manusia Tambora yang bisa lepas. Beberapa ribu orang mati terbakar. Dalam beberapa hari, api terus menyala. Belum padam di gunung, negeri Tambora pun tenggelam menjadi lautan. Sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di bekas Negeri Tambora itu berada.
Syahdan, bekas negeri-negeri yang satu dengan Tanah Tambora itu pun semuanya kena bala. Yang sebelah barat Negeri Tambora adalah Negeri Sumbawa. Di sebelah timur, Negeri Sanggar, Negeri Pekat, dan Negeri Dompo (Dompu) dan Bima.
Semua negeri itu ada yang terbagi dua dan tiga. Ada yang kelaparan dan juga mati. Manusia yang selamat pergi ke mana-mana, mengikut orang dagang. Yang penting bisa dapat makan. Ada yang menjual dirinya, ditukar dengan padi.
Di Negeri Sumba hingga Pinggalang akibat hujan abu, binatang mati terbakar di abu. Tiga tahun penduduk tidak dapat mengolah sawah. Ada lebih selaksa orang Sumbawa mati. Yang lain meninggalkan negerinya.
Di Negeri Mengkasar (Makassar) dan di Negeri Bugis, saat Negeri Tambora terbakar, sehari semalam gelap oleh hujan abu di seantero negeri itu. Namun, tanah yang kurus di kedua negeri itu menjadi gemuk.
Tak lama setelah musibah melanda Tambora, datang air besar dari tiga ombak besar. Dari selatan datangnya ombak itu, tujuh negeri kecil tenggelam. Perahu dagang yang berlabuh semuanya dibawa ombak naik ke hutan.
Website Sumbawa News yang mengutip Kompas 13 April 2006 menyebutkan, pada malam tanggal 10 April 1815, rentetan bunyi itu kian kerap dan semakin dahsyat. Ledakan ini terdengar hingga ke Cirebon. Dan, terus berlangsung dan memuncak pada tengah hari tanggal 11 April 1815. Siang itu pun menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan itu bumi bergetar seperti mau oleng, angin berkesiuran, dan debu memenuhi angkasa.
Laporan saksi mata yang disampaikan Raja Sanggar, sebuah kerajaan kecil di Pulau Sumbawa yang tak terlalu jauh dari Tambora, berkisah, "Pukul tujuh malam tanggal 10 April, dari Sanggar terlihat jelas tiga kolam api yang keluar dari puncak Tambora. Dalam waktu seketika seluruh gunung tampak seperti sebuah benda api yang cair, yang menyebar ke semua penjuru."
Tak lama berselang, hujan debu bercampur batu yang lebat mulai turun di Sanggar, disusul angin berputar dahsyat dan merobohkan hampir semua rumah. Di wilayah Sanggar yang berdekatan dengan Tambora, imbuh Raja Sanggar, kerusakan lebih parah lagi. Pohon-pohon besar tercerabut bersama akar-akarnya dan terlempar ke udara. Tak ketinggalan, orang, rumah, ternak, dan semuanya terbang ke udara. Laut pun menyerang. Ombaknya yang tinggi, menyapu bersih rumah dan bangunan yang dilewatinya.
"Kira-kira sejam lamanya angin puyuh melanda negeri dan selama itu tidak terdengar ledakan. Baru sesudah angin berhenti, bunyi dentuman sangat riuh tanpa henti hingga malam tanggal 11 (April). Setelah itu ledakan berkurang, tetapi sampai tanggal 15 Juli 1815 masih saja terdengar letupan-letupan...".
Setiap orang berpikir Tambora telah punah. Kenyataannya tidaklah demikian. Pada tanggal 5 April 1815, Goliath setinggi 13.000 ribu kaki (3.960) telah bangun. Ia mengeluarkan serangkaian suara gemuruh yang mengumandangkan kehadirannya, terdengar dalam jarak ribuan kilometer.
Selama lima hari, gunung ini memuntahkan abu dalam jumlah yang mampu meruntuhkan rumah-rumah di Pulau Sumbawa karena bobotnya. Abu ini tebal. Tidak bisa ditembus oleh cahaya matahari. Penduduk di pulau ini bisa dikatakan tidak mampu melihat tangan di hadapan wajah mereka.
Pada tanggal 10 April, letusannya memuncak dengan gumpalan api yang sangat besar. Ia membelit satu sama lain dan terjalin di atas gunung yang berpijar. Kejadian tersebut diikuti oleh angin topan, yang mungkin serupa dengan fenomena meteorologis badai api -– topan api yang terbentuk dari kebakaran hutan yang sangat besar.
Bagaikan sebuah mesin penyedot, kekacauan ini telah menyapu manusia, hewan, dan rumah, terbang ke udara. Makhluk hidup terpotong-potong dan terbakar. Benda-benda mati hancur dan tercabik-cabik menjadi potongan-potongan yang tak terhitung banyaknya.
Kekuatan letusan Tambora melebihi kemampuan gunung dan pulau di mana gunung ini berdiri. Saat gunung tersebut melepaskan berton-ton batu karang, lava, dan abu, gunung itu mutlak menyusut. Tinggi yang semula 13.000 kaki (3.960 m) menyusut menjadi 9.000 kaki (2.740 m).
Ironisnya, permukaan pulau mulai naik, saat abu bertumpuk beberapa sentimeter. Abu yang memiliki kedalaman lebih dari tiga kaki (sekitar 90 cm), juga mengisap air di sekitar Sumbawa – dan menuntaskan karya pemusnahan Tambora terhadap manusia yang berada di dalam jangkauannya.
Abu telah membunuh semua sayuran dan wabah kelaparan yang segera menyusul, digabungkan dengan epidemi kolera, telah menambah jumlah 80.000 kematian. Sebanyak 12.000 orang di antaranya menemui ajalnya seketika selama letusan. (de@r, bersambung)