07 November 2008

Kisah Letusan Gunung Tambora (3)

Pemicu Pecahnya Epidemik Kolera


SEORANG pengamat letusan Tambora merenungkan, abu yang telah dikeluarkan gunung api ini, jika tersebar secara merata mungkin akan menutupi seluruh Jerman. Sebagian besar abu tidak jatuh ke tanah, tetapi tetap di atmosfer. Mulai berkelana ke seluruh dunia dibawa oleh angin.


Awan yang sangat besar telah menyebabkan turunnya temperatur bumi, menyebabkan kehancuran padi musim panas yang mulai menguning di Eropa dan Inggris. Temperatur pada bulan Juni jauh di bawah normal, turut menyumbang kerusakan yang telah disebabkan oleh kekeringan berkepanjangan.


Para petani mulai mengambil jalan dengan memberi makanan jagung yang bisa mereka panen pada ternak mereka agar tidak kehilangan ternak itu. Di Swiss , orang-orang yang kelaparan telah memakan anjing dan kucing yang sesat. Para petani New York terpaksa menggali tanaman kentang yang baru saja ditanam untuk memberi makan kepada keluarga mereka.


Embun beku musim panas yang aneh telah membunuh padi segera setelah tanaman itu ditanam. Orang-orang mulai berburu raccoon (mamalia semacam kucing) dan burung merpati untuk dimakan.


Kelaparan dan penyakit diperkirakan telah menambah jumlah korban meninggal nyaris sebanyak 50.000, pada jumlah kematian keseluruhan Gunung Tambora. Meski pada saat itu tak seorang pun yang memahami kaitan antara tanpa musim panas dan letusan gunung api yang jaraknya ribuan kilometer, dan meletus ratusan hari pada masa lalu ini. Meski mereka memahaminya, tampaknya para petani Inggris abad XIX yang pendiam dan tabah juga tidak percaya.


Kisah letusan gunung ini sepertinya tak habis-habis. Kesan terhadap kedahsyatan erupsi Gunung Tambora yang kini masih berstatus aktif normal tersebut tetap membekas di benak para ilmuwan.


Fenomena alam yang timbul tidak hanya menciptakan kengerian, tetapi juga memunculkan keindahan. Debu dan kerudung sulfur menciptakan efek optikal yang spektakuler.


Jika kita ’bertualang’ di dunia maya dan mencoba singgah di google, kita dapat menyaksikan keindahan bekas ledakan Tambora. Ketika sebagian Sumbawa bagian timur kita zoom, bekas letusan itu bagaikan sebuah bisul yang ’’menempel’’ di bumi. Namun, begitu men-zoom lagi, tampak Tambora berubah lagi menjadi sebiji permata berwarna biru nan indah. Betul-betul sebuah fenomena dan panorama yang memesona.


Dari atas angkasa – via satelit – di bagian agak ke timur, di kawah Tambora tampak sebuah kawasan yang diperkirakan sebuah danau. Airnya berwarna biru. Berbentuk segitiga agak memanjang ke arah utara timur laut. Ujung utara meruncing.


Yang tak bisa dilewatkan adalah keindahan yang bisa dinikmati di puncak Gunung Tambora, dengan pemandangan kawah, lautan, Pulau Satonda, padang pasir luas yang indah. Gunung Tambora termasuk salah satu gunung yang indah di Indonesia, tentunya dengan fenomena alam yang menakjubkan.


Dampak kedahsyatan letusan itu juga tampak ’meleleh’ ke arah timur gunung. Ini ditandai oleh lahan berwarna merah yang cukup luas di kawasan sebelah timur. Kemungkinan ini merupakan pengaruh angin yang bertiup dari arah barat saat gunung itu memuntahkan lava pijarnya. Sebab, di sebelah barat, selatan, dan utara kawah raksasa dari angka tampak hijau.


Setelah senja, matahari tetap menyinari kerudung sulfur di lapisan stratosfer sehingga langit terlihat memerah, bahkan setelah matahari terbenam. Di musim panas dan gugur tahun 1815, langit senja yang indah itu juga terlihat di England dan menginspirasi pelukis romantik asal Inggris, Joseph Wiliam Turner.


Namun, seperti dicatat oleh Bernice de Jong Boers dalam artikelnya, "Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermaths", letusan Tambora juga jadi pemicu pecahnya epidemik kolera pertama di dunia.


Sebelum erupsi besar tersebut kolera sudah jadi endemik di sekitar daerah ziarah umat Hindu seperti Sungai Gangga di India. Kemudian epidemik kolera pecah di Banglades dan menyebar lebih jauh bersama pasukan Inggris, lalu bergerak ke Afganistan dan Nepal.


Kompas, 13 April 2006 menulis, epidemik kedua pecah di India tahun 1826 dan menyebar ke Moskwa (1830) dan Eropa Barat (1831). Dari sana menyeberang ke Atlantik Ocean dan mencapai New York tahun 1832. Epidemik yang mendunia ini merengut nyawa ribuan jiwa dan mendorong migrasi penduduk secara besar-besaran.


Sebelum tahun 1817 terdapat strain spesifik kolera yang disebut cholera nostras dengan penyebab salmonella paratyphi. Sekalipun mematikan namun jarang menimbulkan epidemik. Jenis ini diduga menjadi endemik di Gangga dan tidak pernah menjadi epidemik dunia. Baru tahun 1817, muncul strain yang lebih ganas dan menyebar menjadi epidemik yang dikenal dengan asiatic cholera yang disebabkan vibrio cholerae.


Semmelink, peneliti yang pernah memublikasikan studi historis kolera di Indonesia dan India tahun 1885, beberapa kali menghubungkan tipe kolera baru itu dengan cuaca abnormal, yakni hujan dan dingin pada tahun 1815 serta kekeringan dahsyat tahun 1816. Kekeringan dahsyat itu mengakibatkan kelaparan. Cuaca yang tidak keruan menyebabkan gagal panen di banyak tempat.


Perubahan struktur tanah, musim yang tidak teratur, dan kelaparan di Banglades tahun 1816 diduga meningkatkan epidemik. Terlebih lagi dengan kondisi bangkai hewan dan jenazah manusia yang tidak terkubur baik. Kondisi alam yang tidak menguntungkan itu juga melemahkan daya tahan tubuh.


Dengan kombinasi beberapa faktor itu kolera jadi mudah menular dan ganas. Erupsi itu secara langsung dan tidak langsung memengaruhi pembentukan bentuk baru kolera yang lebih agresif.


Semua itu memang masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, kedahsyatan bencana akibat letusan Gunung Tambora adalah suatu keniscayaan. (de@r, bersambung)

Tidak ada komentar: