07 November 2008

Kisah Letusan Gunung Tambora (4)

Ditemukan Keramik dan Tulang Belulang


DIPANDU dengan radar darat, masih menurut Kompas yang dilansir Sumbawa News, para peneliti dari Indonesia dan AS menggali saluran air tempat penduduk lokal menemukan keramik dan tulang belulang sebelumnya.


Di sana, mereka menemukan puing-puing sebuah bangunan beratap, tembikar, perunggu, dan tulang belulang dari dua orang yang hangus terbakar. Seluruhnya ditemukan dalam satu lapis endapan yang seumur dengan terjadinya letusan.


Vulkanolog Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island yang memimpin ekspedisi tersebut memperkirakan sekitar 10 ribu orang yang tinggal di daearah tersebut ketika gunung meletus. Peristiwa ini mirip dengan letusan pada zaman Romawi Kuno yang mengubur penduduk Kota Pompeii.


Letusan Gunung Tambora menyemburkan 400 juta ton gas sulfur ke atmosfer dan menyelimuti hampir seluruh bagian atmosfer Bumi. Hal tersebut menyebabkan pendinginan secara global dan menghasilkan suatu kondisi yang dalam sejarah sering disebut ’tahun tanpa musim panas.’ Pertanian di Maine hancur pada Juni, Juli, dan Agustus karena membeku. Di Perancis dan Jerman, anggur dan jagung mati atau panennya tertunda.


Peradaban di Pulau Sumbawa menarik perhatian para peneliti sejak petualang Belanda dan Inggris menjejakkan kakinya di sana awal 1800-an. Menurut Sigurdsson, mereka semakin tertarik setelah mendengar bahasa yang digunakan penduduk di sana berbeda dengan bahasa pada umumnya di Indonesia.


Beberapa peneliti percaya bahwa bahasa yang digunakan penduduk Sumbawa mirip dengan bahasa yang digunakan di Indochina. Namun, tidak lama setelah bangsa barat menemukan Tambora, penduduknya musnah.


’’Betapa dahsyatnya sehingga letusan tersebut ikut memusnahkan sebuah bahasa,’’ kata Sigurdsson.


Namun, lanjutnya, kami berusaha mendorong orang-orang untuk mengatakannya kembali dengan cara menggalinya.


Beberapa bukti yang ditemukan para peneliti menunjukkan bahwa penduduk Tambora mungkin berasal dari Indochina atau memiliki hubungan dagang dengan daerah tersebut. Misalnya, pot-pot keramik yang ditemukan menyerupai dengan benda serupa yang ada di Vietnam.


Saat melihat rekaman video penggaliannya, John Miksic, seorang arkeolog di National University of Singapore, yakin bahwa Sirgudsson dan timnya memang menemukan pemukiman yang musnah karena letusan gunung.


Namun, ia meragukan bahwa orang-orang Tambora berasal dari Indochina atau menggunakan bahasa dari daerah tersebut. Kalaupun ditemukan keramik yang mirip dengan keramik di Vietnam, mungkin hal tersebut terjadi melalui perantaraan para pedagang.


Selama penggalian tersebut, tim yang dipimpin Sirgudsson menemukan tulang belulang seorang wanita yang hangus menjadi arang di suatu lokasi yang diperkirakan sebuah dapur. Sebuah botol gelas yang meleleh dan parang dari logam terletak di dekatnya. Jasad seorang lainnya ditemukan di luar bangunan yang diperkirakan berada di teras.


Penggalian yang juga melibatkan para peneliti dari Universitas North Carolina, Wilmington dan Direktorat Vulkanologi Indonesia masih terus dikembangkan untuk menguak misteri peradaban yang hilang di Tambora.

Tim Survey Koleksi Geologi : situs Letusan Tambora Tahun 1815 dipimpin oleh Indyo Pratomo dari Geological Research and Development Center (GRDC). GRDC ini, 21-22 September 2005 menyelenggarakan Seminar Internasional The Quarternary Geological Data As Life Supporting Information Form Mankind and Environtment di Hotel Horison Bandung.


Menurut salah seorang pemandu wisata pendakian gunung Tambora, Syaiful, seperti dikutip Sumbawa News, sewaktu menjelaskan kepada Heryadi Rachmat, ditemukannya situs ini, 1971, sewaktu pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan PT Veneer Product membuka jalan untuk angkutan kayu di dalam hutan belantara di dusun Tambora.


Katanya, ada ditemukan keris, tombak, guci keramik, tempat air minum, rangka manusia, beras, dan tulang manusia yang tersisa. Semuanya dalam keadaan gosong bagaikan arang.


“Karena tidak ada pengamanan dari pemerintah, masyarakat seterusnya melakukan pencarian sendiri,” ujarnya.


Di antara temuannya adalah gelang emas dan sebuah kalung emas yang gantungan kalungnya berbentuk semacam Borobudur dan di tengahnya ada model mutiara.


Temuan tersebut disampaikan kepada Prof Haraldur Sigurdsson dari University of Rhode Island yang melakukan pendakian Tambora, 1992. Lalu, Haraldur Sigursson - pada tahun 1980-an juga meneliti akibat letusan gunung Vesivius Italia Tahun 79 yang mengubur kota Pompei sedalam 23 meter - kembali bersama peneliti lainnya asal Inggris, Jerman dan Amerika, Agustus 2004.


Mereka menggunakan Ground Penetration Radar selama 10 hari pertama, untuk mendeteksi barang asing di dalam tanah, dan didapatlah lokasi rumah berukuran empat kali enam meter yang bagian atasnya masih utuh pada kedalaman dua meter. Temuannya baru satu rumah.


Perkiraannya luas wilayah dari kompleks Kerajaan Tambora sekitar 10 hektar. Masyarakatnya, oleh Heryadi Rachmat disebutnya berbeda dengan suku Mbojo yang kini dikenal sebagai penduduk Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima.


Dikutip dari catatan yang dibacanya, dikatakan bahwa bahasanya berbeda, namun diakuinya dirinya tidak dapat menyebutnya secara tepat.


“Saya tidak tahu persis,” ucapnya.


Sayangnya, seperti disesalkan oleh Heryadi Rachmat, kedua pemerintahan kabupaten Dompu dan Bima yang wilayahnya mencakup gunung Tambora tersebut tidak mengamankan situs tersebut.


Masyarakat yang pemukimannya terdekat Desa Pancasila, hanya bisa menggunakan ojek sejauh 20 menit perjalanan sepeda motor, dibiarkan memungut benda temuan dan setelah itu, ketika terjadi banjir Desember 2004, lokasi tersebut tersapu dan tertimbun tanah baru setinggi setengah meter. Kebetulan penggalian tersebut dilakukan di lembah aliran sungai yang hanya pada saat banjir dialiri air.


Untuk mendapatkan lokasi situs tidak mudah. Penggaliannya membutuhkan waktu lebih dari sebulan karena peneliti yang melakukannya harus hati-hati dan menggunakan peralatan khusus hingga kedalaman dua meter.


“Kita masih kurang menghargai situs yang sangat berharga yang memiliki unsur sejarah awal mula kehidupan. Yang dikawatirkan benda lama terbawa banjir lenyap dari lokasi semula,” kata Heryadi.


Untuk mencapai lokasi situs tersebut, kalau dari Bima, melalui Desa Doropeti di Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu - bagian selatan gunung Tambora yang merupakan lokasi Pos Pengamatan Gunung Api Tambora dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Sedangkan apabila langsung dari Mataram melalui Pelabuhan Poto Tano Sumbawa, waktu tempuhnya lebih sembilan jam ke Doro Peti yang terletak di ketinggian sekitar 24 meter di atas permukaan laut.


Jika mau mencapai puncak atau bibir kaldera gunung api Tambora ini, tulis Supriyanto Khafid, yang dikutip Sumbawa News, pendakian dapat dilakukan dari beberapa arah. Di antaranya melalui jalur sebelah barat via Calabahi dan kampung Pancasila sampai ke bibir kaldera bagian barat. Jalur ini merupakan lintasan umum, namun memerlukan waktu yang cukup lama . Bisa mencapai 2-3 hari.


Jalur dari sebelah utara melalui desa Kawinda Nae sampai bibir kaldera bagian utara. Jalur ini relatif lebih pendek dan cepat melalui hutan. Hanya saja, jalannya terus mendaki dari sejak awal pemberangkatan.


Jalur dari arah sebelah barat daya dari kampung Doropeti ke arah timur laut sampai bibir kaldera bagian barat-barat daya, melalui hutan lebat yang banyak ditemukan pohon Jelatang atau nama setempat Maladi, yaitu tumbuhan yang menyengat bila terkena kulit serta banyak dijumpai pacet atau lintah. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 hari dari pos melalui hutan, lereng, dan bibir kaldera.


Jalur dari sebelah selatan melalui Desa Doropeti ke arah timur sekitar 12 kilometer melalui jalan aspal kemudian belok ke utara mendaki melalui perkebunan sampai ke bibir kawah bagian selatan. Waktu tempuhnya sekitar sehari.


Pada jalur ini merupakan alang-alang yang kering dan gersang, namun dapat dilalui roda empat jenis jip sampai ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut dalam waktu tiga jam. Kemudian dilanjutkan jalan kaki sampai bibir kawah sekitar 3-4 jam. ( de@r, bersambung)

Tidak ada komentar: