07 November 2008

Catatan Perjalanan ke Israel (1)

Disambut Wanita Cantik Bermuka ‘Besi’


Menyebut nama Israel, kita akan teringat dengan kata zionis. Begitu kata zionis terdengar, pikiran pun akan tiba pada tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanannya.


Negara Yahudi itu juga dikenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki badan intelijen dan spionase terkenal dan canggih di dunia. Mossad, disebut-sebut sebagai badan intelijen paling penuh taktik dan intrik mematikan di jagat ini. Mengalahkan badan intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA) yang juga terkenal itu.


Ke negara itu, Ir Yenny Rustan, Dirut PT BPR Irian Sentosa melawat selama beberapa hari. Pengalamannya memasuki negara itu, secara khusus dikisahkan kepada ProFiles, suatu malam, beberapa jam setelah alumni UKI Paulus Makassar ini mendarat di Makassar beberapa waktu silam.


ISRAEL. Nama yang kondang dengan prestasi antagonistik. Tiada perilaku baik terbayang ketika negara itu disebut-sebut. Kehidupan bernegara warganya penuh dengan kecurigaan. Soalnya, Israel memiliki banyak musuh. Tidak jauh-jauh. Di seberang pagar pembatasnya sendiri. Itu musuh konvensional dan klasik, Palestina.


Memasuki negara itu, kita akan berhadapan dengan hanya satu kata. Ketat. Bukan hanya waktu masuk, saat keluar pun diperiksa habis. Pemeriksaan selain untuk urusan yang sudah rutin, mereka juga mencegah terjadinya penyelundupan nakotika, senjata tajam, dan tentu saja, senjata api.


Memasuki gerbang pemeriksaan di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv, para tamu akan disambut perempuan berbadan ‘kekar’. Cantik pula. Tetapi, jangan pernah mencoba mencolek atau mengusiknya. Mereka bersenjata lengkap.


Semua barang bawaan pendatang tamu diobok-obok habis. Kantong celana, baju, dan jaket pun harus kosong melompong. Tidak boleh berisi. Ada paspor, apakah dia hanya mengacak saja, by filing, gak tahulah. Ada pendatang, pemeriksaan paspornya cepat. Biasanya orang tua dan lanjut usia. Jika ada orang yang dicurigai, dia tahan paspor.


Tour leader sudah berpesan, kalau masuk Israel, ikuti saja apa maunya (petugas pemeriksa). Semakin kita gemas, akan lama sekali paspor ditahan. Bahkan, semakin dia bikin-bikin. Biasa juga, paspor dibiarkan begitu saja tanpa diutak-atik. Mereka malah melayani pendatang lain yang di belakang.


Kebetulan, rombongan Yenny berjumlah empat orang. Suami, Yenny, dan teman. Ada teman dan orang tua Yenny, pengurusan paspornya cepat. Dompet-dompet dibuka. Para petugas perempuan tersebut memeriksa dengan alat sejenis kuas. Ternyata ‘kuas’ itu untuk mendeteksi barang seperti serbuk mesiu atau serbuk narkotika. Kuas itu tinggal disapukan pada dompet pendatang. Kalau aman, tentu saja alat itu tak menangkap sesuatu.


Meski di paspor mereka tahu dari Indonesia, tetapi saat masuk mereka tidak bertanya ke Israel untuk apa. Ketika proses pemeriksaan paspor, ada yang bertanya mana paspornya, mereka menjawab: tunggu sebentar! Ternyata dia tahan. Dia kerjakan orang lain dulu. Bahkan, ada pendatang dari suatu negara, isi tasnya dibongkar tuntas. Barang-barangnya diobok-obok. Ternyata, hasil scanning alat deteksi mereka memperlihatkan ada sesuatu yang mencurigakan. Barang itu dicari sampai dapat.


Tel Aviv, ibu kota Israel, kota yang sangat bersih. Gemerlapan dan bersih. Bahkan lebih bagus dan gemerlapan. Keluar dari Tel Aviv memasuki Yerussalem tidak ada lagi kehidupan malam. Orang Palestina tidak leluasa ke Israel dan sebaliknya. Pemerintah negara zionis itu sudah membuat benteng pembatas yang cukup tinggi, sekitar 10 m.


Tour leader rombongan Yenny menginformasikan bahwa tembok tersebut berhasil menekan jumlah serangan yang datang dari arah Palestina. Benteng itu mengelilingi Palestina. Kalau pintu ditutup, bisa-bisa rakyat mati kelaparan.


Waktu masuk ke Palestina, rombongan Yenny dari Yerussalem. Keluar dari Palestina langsung berhadapan dengan tentara Israel lagi. Saat di atas mobil, semua penumpang pendatang harus membongkar tas. Diperiksa lagi.


Tapi, tour leader sudah pengalaman. Kalau tentara Israel naik menggeledah tas, peserta tour disuruh menyanyi saja. Ada satu nomor lagu Israel yang mereka senang. Saloom…saloom… Saat pendatang menyanyi itu, tentara-tentara Israel tertawa. Mereka tahu yang datang itu peziarah. Tidak ada kepentingan apa-apa.


Katanya, yang bagusnya, di Isarel, walaupun bertempur atau ada gencatan senjata, mereka tidak pernah mengganggu peziarah. Sebab mereka tahu peziarah itu membawa devisa bagi negara. Baik di Palestina maupun di Yerussalem sendiri..


Rombongan Yenny Rustan memperoleh Obed, sang pemandu, yang lancar berbahasa Indonesia. Dia seorang Yahudi, tetapi masuk Katolik. Pernah berkunjung ke Indonesia selama sebulan.


Menurut Yenny Rustan, tempat yang biasa disaksikan di layar kaca sering pecah perang atau bentrokan bersenjata, lokasinya jauh dari Yerussalem. Kira-kira sejauh Makassar dengan Mamuju. Jadi bukan di dalam kota. Tidak ada tanda-tanda bahwa negara itu selalu bentrok dengan pejuang Hamas atau Palestina.


Hanya memang yang kontras adalah soal kultur. Biasanya, di perkampungan Arab tampak pemukimannya sangat kumuh. Berbeda dengan perkampungan Yahudi yang bersih. Kalau pagi, saat pasar di perkampungan Arab, jalan penuh kotoran. Perbandingannya sangat kontras, sebab letak perkampungan dua etnik itu berseberangan jalan saja.


Selama sepuluh hari, rombongan Yenny berada di Israel, setelah sebelumnya mengunjungi Mesir tiga hari. Saat keluar dari Israel, tetap diperiksa dengan sangat ketat. Barang-barang yang dibeli ditanya petugas.


Pada saat pulang, orang Israel menghindari ada orang yang membawa barang yang bukan miliknya. Seseorang harus tahu dan hafal bahwa barang itu benar miliknya. Petugas akan bertanya di mana barang itu dibeli.


Mereka juga menghindari ada orang lain menitip barang pada orang lain. Mereka juga akan mengecek. Barang pun dibuka. Mereka akan bertanya di dalam tas dan kopor itu isinya apa saja. Jika seseorang tidak bisa menjawab, persoalannya bisa panjang. Bikin masalah baru.


Pertanyaannya juga sangat ngawur. Barang itu dibeli untuk siapa? Beli di mana? Harganya berapa? Tujuannya, mereka ingin tahu bahwa barang yang dibawa itu benar-benar miliknya. Bukan barang orang lain. Untuk menjamin kelancaran perjalanan belaka. Umumnya, petugas di bandara pintu keluar Israel lancar berbahasa Inggris.


Di Israel sebenarnya warga hidup rukun dengan tiga agama yang berbeda. Yahudi, Islam, dan Kristen. Tempat ziarah mereka yang berbeda agama itu umumnya berdekatan. Mereka sudah anggap biasa saja.


Ketika rombongan Yenny bertanya soal tayangan di TV, pemandu menjawab enteng. Gambar tersebut sudah diputar berulang-ulang untuk memberi ilustrasi mengenai kekerasan atau konflik yang terjadi. Memang tampak, anak-anak muda Israel sejak jadi pemuda sudah masuk dalam wajib militer. Mereka sudah ikut latihan perang.


Rombongan yang ditangani Biro Perjalanan Renata Surabaya ini berjumlah 27 orang. Kebanyakan dari Papua. Hanya kedua orang tua Yenny Rustan saja yang berasal dari Makassar.


Dari Papua pun terpencar-pencar. Ada yang dari Fak-Fak, Nabire, Biak, dan sebagainya. Ada beberapa orang di antaranya adalah nasabah PT BPR Irian Sentosa yang dipimpin Yenny Rustan.


Ketika akan meninggalkan Israel, tepat di bandara, seorang teman Yenny Rustan dapat masalah. Saat itu rombongan lagi antri. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil teman itu. Rupanya dia dipilih secara acak.


Pria misterius itu bertanya asal teman itu. Ke Israel untuk apa? Rombongannya ada berapa banyak? Ke mana saja di Israel? Kenapa tertarik datang ke Israel. Penjelasan dan jawaban pertanyaan itu dicatat dengan secepatnya.


Pria itu masih muda, tetapi pakaiannya preman. Petugas lainnya biasanya pakai rompi. Ada setengah jam diinterogasi. Setelah itu, lelaki itu lenyap di antara yang antri.


Israel, termasuk negara yang siaga penuh. Pemuda, laki perempuan, dalam masa muda sudah harus menjalani wajib militer.


Soal ketat, pemeriksaan di Israel jangan dibilang lagi. Meski yang bertugas adalah personel perempuan, cantik lagi, tapi senyumnya mahal banget.


‘’Mereka itu bagaikan wanita cantik bermuka besi,’’ Yenny mengibaratkan perempuan cantik dengan postur tinggi besar.


Yenny mengatakan, tidak bisa memotret di wilayah bandara.


Yahudi Ortodok atau rahib-rahib yang keras, jika bertemu wanita akan berjalan tunduk. Tidak berani mengangkat muka. (de@r, bersambung)




Tidak ada komentar: