Profil Loisa Lies Wally
SEMBILAN tahun mengabdi sebagai guru honor. Guru memang menjadi impiannya sejak kecil. Dia mau mendidik anak-anaknya agar cerdas. Maklum, sumber daya manusia penting. Maka, begitu menamatkan pendidikan di SMP, Loisa Lies Wally langsung membidik Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Waena. Untuk tugas mengajar yang diembannya mulai pagi hingga tengah hari, ibu empat anak ini tidak diberi dalam bentuk uang, tetapi berupa beras. Jumlahnya 10 kg sebulan.
Usai menamatkan pendidikan di SPG tahun 1990, ketika ada pendaftaran menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dia pun mengadu nasib bersama-sama yang lainnya। Tes pertama tidak lolos. Hal yang tak aneh bagi anak desa yang tidak punya koneksi di pemerintah.
Tak lulus tes PNS, dia kembali menekuni pekerjaannya sebagai guru honor dengan imbalan beras 10 kg per bulan. Tahun berikutnya, kesempatan ikut tes datang lagi. Nasib tahun kemarin, terputar kembali. Gagal lagi.
Kembali dia menjalani profesinya sebagai guru honor di SD Kampung Harapan, Papua। Mendidik anak-anak negeri yang selama ini banyak dicap jauh tertinggal dibandingkan saudara-saudaranya di wilayah barat dan tengah Indonesia.
Saat tes yang ketiga, nasibnya tidak banyak berubah. Singkat kisah, tidak lulus. Sebenarnya Loisa sudah bisa bernapas lega pada tes yang keempat tahun 1995. Sebab, nomor urut 35, namanya berada, keesokan hari setelah diumumkan, muncul dalam berita RRI Jayapura. Ironisnya, ketika Loisa menyiapkan berkas-berkas untuk pengurusan ke-PNS-annya, tiba-tiba dia tidak bisa mempercayai matanya yang menyaksikan namanya di urutan 35, sudah ditip ex. Sudah digantikan oleh nomor urut berikutnya.
’’Saya akhirnya bergabung dengan rombongan demo ke DPRD, memrotes perlakuan yang tidak adil terhadap saya. Kalau torang punya nomor sudah disiarkan, jangan ditip ex (dihapus),’’ kata Loisa ketika ditemui di Hotel Sentani Indah, Papua.
Gagal menjadi PNS dan tidak adanya perhatian dari dinas terkait, Loisa banting stir. Tahun 1995, perempuan berusia 39 tahun ini mulai menggeluti usaha pembakaran kapur sirih. Bisnis ini memang menggiurkan, sebab sebagian besar penduduk Papua – laki-laki dan perempuan – rata-rata makan sirih. Usahanya itu ternyata tidak sia-sia. Tahun 2007, dia terpilih sebagai Pemenang I Pengusaha Kecil dan Mikro 2007 Kategori Perdagangan ’’CITI MICROENTREPRENEURSHIP AWARD 2007’’ kerja Sama UKM Center –CIRIpeka – Citi Foundation CITI.
Saat Loisa menggeluti pekerjaan bakar kapur, suaminya menganggur. Tapi setelah usahanya mulai mendatangkan hasil, dia sudah bisa membantu suaminya membuka bengkel motor di Bonggo, Kabupaten Sarmi. Dengan usaha ini, dia bisa membiayai hidup dengan empat orang anaknya. Dua putra dan dua putri. Si sulung duduk di SD kelas 4, yang kedua SD kelas 2, dan ketiga dan keempat belum sekolah.
Perempuan asli Sentani ini berangkat tanpa punya usaha. Hanya saja, waktu belajar di SPG, dia tak risih berjualan kelapa muda di pinggir jalan untuk membantu biaya ongkos taksi ke sekolah di Waena. Setelah tamat SPG, dia berumah tangga. Suami tidak punya pekerjaan. Hanya membantu dia usaha bakar kapur.
Dia menekuni pekerjaan bakar kapur karena usaha tersebut menarik. Dia terlanjur memenuhi tawaran kepala SD saat tamat SPG tahun 1990, menjadi guru honor di Kampung Harapan. Ya, sebagai tenaga honorer selama sembilan tahun. Tidak diangkat-angkat. Terakhir, dia pun memutuskan berhenti mengajar di sekolah itu. Sebagai ibu rumah tangga, satu bulan bekerja honor dari pagi hingga pukul 12.00, rasanya tidak cukup.
Pekerjaan membakar kapur ini turun dari mertuanya. Loisa melihat cara bakar kapur, kemudian ’mencuri’ ilmunya. Selama menggeluti usaha tersebut, dia bisa membiayai adik iparnya yang sekolah di SMA.
’’Saya lihat, kemudian mencoba praktik untuk membakar kapur. Pada tahun 1995 itu, saya beli kulit bia (kerang) satu karung, lalu bakar setengahnya. Ketika pertama kali praktik, masih banyak yang rusak. Dicoba lagi, hasilnya masih mengecewakan juga. Yang ketiga, saya sudah bisa,’’ urai Loisa.
Pada tahun 1995, Loisa belum punya alat-alat yang diperlukan untuk usaha bakar kapur, seperti besi untuk pagar, baskom aluminium, plastik dan kawat untuk ikat kapur (kulit kerang). Banyak sekali yang dibutuhkan, tapi tidak punya uang. Kalau dia mengajar honor pagi, siangnya harus keluar bakar kapur untuk biaya rumah tangga.
Pada tahun 1996, dia mencoba memohon kredit di BPR Irian Sentosa, pimpinan Yenny Rustan. Dia dapat informasi dari suaminya sendiri. Dia suruh suaminya ke BPR. Tanya persyaratan.
’’Mereka tidak mempersulit kami waktu itu, untuk surat ini, surat itu. Waktu suami saya ke sana, bisa. Cuma harus ada KTP suami-istri. Foto suami istri 4 x 6 cm sebanyak 4 lembar. Surat keterangan dari lurah setempat. Cuma itu. Kami mengajukan kredit Rp 300 ribu pada tahun 1996. Uang Rp 300 ribu saya pakai beli alat-alat. Saya beli juga kerang,’’ papar Loisa.
Setelah dapat kredit, usaha Loisa sedikit meningkat. Kalau tadinya dia hanya mampu beli satu karung kerang, kini bisa beli dua karung. Bakar untuk dua kaleng. Terus bahannya sudah ada. Bisa bakar satu karung untuk dua hari. Sekali bakar, satu karung.
Hasil pembakaran kapur itu, tahun 1996, dia jual sendiri. Dia duduk di pasar menjual. Karena banyak orang Papua dan juga pendatang butuh kapur. Waktu itu pemasaran kapur masih kurang sekali. Yang biasa bakar itu, mama-mama. Mereka bakar dan menjual dalam jumlah sedikit. Loisa mulai mempelajari situasi ini.
’’Oh.. saya bisa. Hanya saya bakar dalam satu karung itu, jumlahnya 700 bungkus dan dibawa ke pasar. Harganya Rp 50 per bungkus. Sepulang mengajar, siangnya saya jualan kapur,’’ tukasnya.
Waktu itu masih mengajar. Tetapi tahun 1999, dia berhenti total sebagai guru honorer, karena tidak ada perhatian dari dinas yang bersangkutan. Kapur yang dia jual rata-rata habis terjual. Dia jual di pasar lama. Waktu itu masih pasar lama, sebelum terbakar. Sekarang, pelanggannya banyak. Para penjual rata-rata menjadi pembeli kapur hasil usaha Loisa. Mereka biasanya menjual lagi ke pembeli-pembeli yang lain.
Sekarang orang lain yang datang mengambil barang di tempatnya, kemudian dijual lagi. Lalu, bagaimana menghitung untung-rugi? Loisa punya perhitungan tersendiri. Dari pembakaran setiap satu karungnya bisa dihasilkan 700 bungkus (kalau dijual Rp 50 per bungkus, total penjualannya Rp 35.000). Karena masih punya utang di BPR, dia harus menyisihkan sebagian hasil penjualannya untuk disetor ke BPR. Misalnya dalam seminggu jualan dua kali, dia menyisihkan Rp 150 ribu atau Rp 100 ribu untuk disetor ke BPR. Sisanya untuk biaya rumah tangga Rp 200 ribu, dan disimpan untuk adik iparnya yang kuliah di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) di Abepura.
’’Tetapi pertama, saya pisahkan bagiannya Tuhan. Sepuluh persen bagiannya Tuhan dari hasil itu. Saya kasih tinggal Rp 70 ribu. Selain dari itu, Rp 200 ribu atau Rp 150 ribu. Tidak menentu, Pak, kalau saya menyetor di BPR. Saya tidak kasih sesuai besar angsuran. Satu minggu kasih berapa, tidak pernah. Saya kasih pas-pasan. Sebagian untuk saya punya tabungan. Saya tidak pikir untuk bayar semua angsuran saya. Biaya rumah tangga, terus anak sekolah, biaya ojek, atau keperluan ipar untuk sekolah,’’ tutur Loisa panjang lebar.
Dia memperoleh kredit pertama sebesar Rp 300 ribu, dan tidak pernah menunggak. Menurut Mursalim, Kepala Seksi Marketing BPR Irian Sentosa, dalam waktu tiga bulan kredit Loisa yang Rp 300 ribu itu bisa kembali. Dan, dia minta kredit lagi Rp 500 ribu, kemudian meningkat menjadi Rp 750 ribu. Pokoknya setelah melunasi kewajibannya, dia minta kredit lagi. Dia memang membutuhkannya. Sebab, dia tidak punya modal.
Jika modal tidak ada, jelas dia tidak bisa bakar kapur. Apalagi hasil penjualan juga dipakai Loisa untuk membantu adik iparnya yang perlu biaya. Yang repot, jika uang tidak dikembalikan, usaha Loisa bisa berantakan. Ternyata, terbukti. Akhirnya, dia terpaksa harus pinjam lagi ke BPR Rp 1.200.000.
Kalau dia kasih pinjam misalnya, karena sama-sama punya usaha kapur. Kalau mereka macet, tidak bakar, dia kasih pinjam untuk beli kerang lagi. Bakar pertama, Loisa katakan ’’jangan kasih’’ (maksudnya bayar utang/kreditnya). Bakar kedua baru kasih. Ternyata tidak. Jadi, kalau korban lagi, terpaksa saya ambil lagi di BPR Rp 1.200.000.
Jadi, Ibu Loisa sebenarnys secara tidak langsung sudah pernah mau jadi BPR Yang terima kredit ini macet, tidak bayar. Padahal, dia terhadap BPR tidak pernah macet. Kalau di kompleks Loisa tinggal, dia punya ipar-ipar, saudara-saudara punya suami sudah bakar kapur juga. Hari-hari hidup dengan Loisa. Terus, dia juga punya kelompok dalam usaha kapur. Ada tujuh orang. Mereka kalau butuh dana, boleh datang ke BPR.
Memang itu dia punya kelompok, tapi kalau bakar kapur, usaha masing-masing. Tapi hasilnya, kita masing-masing punya. Waktu pinjam di BPR pun atas nama pribadi. Selain membakar kapur, di tempat Loisa tinggal ada juga warga yang bergerak di bidang usaha lain. Misalnya, ada yang jual ikan, tetapi di pasar.
Ada juga ibu-ibu yang tidak kerja. Tetapi Loisa tidak terlalu mengajak mereka itu masuk dalam satu usaha ini. Kalau sudah ada keinginan, kita sudah ajak tidak mau, terpaksa.
Juara I Nasional
Kisah ikut lomba tingkat nasional dan meraih predikat pemenang I, sebenarnya bermula dari informasi yang dia dengar dari pihak BPR। Kabarnya, semua kita punya proposal yang masuk itu, itu ke pusat sana. Yang disampaikan adalah proposal usaha yang digeluti dan kredit yang dipinjam. Itulah yang dikirim langsung ke pusat. Loisa sama sekali tidak tahu perjalanan proposal ini. Tiba-tiba saja dia diundang. Loisa sendiri tidak duga kalau masuk dalam perlombaan ini, karena pekerjaan kapur itu berdebu tokh. Beberapa bulan silam, dia didatangi tim dari Jakarta.
Mursalim dari BPR Irian Sentosa pun menjelaskan, Loisa ini dikirim oleh pihak bank mengikuti perlombaan yang dilaksanakan UKM Center bekerja sama dengan CITIpeka dan Citi Foundation CITI. Tiap tahun ada UKM Award.
’’Tiap tahun mereka meminta data ke kami dan semua bank umum dan BPR. Jadi, nasabah-nasabah potensial dan punya record-nya bagus, dilombakan. Record-nya bagus, pengembalian kreditnya lancar, ada peningkatan kreditnya. Setelah kami melihat dari nasabah, kita mengirim dua dari Papua,’’ ungkap Mursalim yang asal Maros ini.
Yang terjaring dari seluruh Indonesia 770 yang memenuhi syarat untuk diperlombakan. Dari jumlah itu diseleksi kembali berdasarkan data-data yang masuk. Setelah tim penilai di pusat mengolahnya, sisa 48 yang masuk nominasi.
Mursalim mengakui tidak kriteria penilaian lomba ini. Dari 48 diseleksi lagi dan masuk nominasi sisa 24 dari seluruh Indonesia. Tim juri kemudian turun lapangan untuk melihat yang 24 itu. Mereka turun dari Aceh hingga Papua. Mereka keliling semua, melihat peserta yang masuk nominasi. Kebetulan pada bulan November, tiba-tiba BPR Irian Sentosa didatangi oleh orang Jakarta. Dari UI, Dr. Nining (adik Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan) bertandang ke Papua. Rupanya tim ini mau mengecek apakah betul laporan-laporan yang ada itu sesuai dengan kondisi di lapangan. Mereka ’turlak’ (turun lapangan) sampai ke rumah Ibu Loisa. Melihat aktivitas ibu bersama delapan orang itu. Mereka turun lapangan dan melihat sama dengan apa yang dilaporkan. Tim juri kemudian berangkat ke Jakarta. Dari Papua kebagian dua. Satu dari Bintuni
Mursalim mengatakan, peserta dari Bintuni disebutnya wanita juga, tetapi Loisa mengoreksi bahwa yang dari Bintuni itu adalah laki-laki, tukang ojek. BPR Irian Sentosa mengajukan dua orang. Ternyata yang masuk hanya satu, Ibu Loisa.
Lalu ada surat dari Jakarta bahwa dari dari 24 yang masuk nominasi, Ibu Loisa termasuk di dalamnya. Dia dipanggil ke Jakarta. Bergabung dengan 23 peserta lainnya। Sampai di sana, mereka ditanyai, diwawancarai lagi, bagaimana proses उसहन्य
Ibu Loisa menjelaskan apa yang dilakukannya di depan tim juri। Yang aneh dari Ibu ini adalah suatu usaha yang unik, karena melalui proses kimia। Dari bia atau kerang yang begitu keras, setelah dibakar kena air, tiba-tiba langsung hancur seperti terigu। Ini yang membuat tim juri tertarik, karena proses ada kimia। Ibu ini sudah lebih hebat, karena membuat usaha dengan melibatkan proses kimia. Mereka begitu antusias dengan modal tidak seberapa tapi cukup lumayan bisa menghidupi Ibu punya keluarga dan membiayai adik iparnya yang kuliah di USTJ. Membiayai suaminya membuka bengkel di Kabupaten Sarmi. Dari sisi-sisi itu, meski seorang guru yang tidak masuk PNS dan berjuang berusaha untuk bisa membuktikan bahwa orang Papua itu tidak seperti yang orang bayangkan.
Dengan usaha ini tidak akan bisa sukses, kalau tidak digeluti secara serius। Sebagai orang BPR, Mursalim melihat Ibu Loisa ini sudah membuktikan bahwa tidak semua orang Papua itu hari ini dapat, hari ini habis. Sebagai seorang wanita, Ibu ini mampu membuktikan. Dari motivasi ke Ibu Loisa dengan teman-teman binaan lain, usaha mereka bisa bertambah. Sebagai BPR, BPR Irian Sentosa juga dapat penghargaan sebagai pembina terbaik I untuk BPR kategori aset Rp 25 milyar ke atas. Dana yang diberikan dalam bentuk kredit ke pengusaha kecil dan mikro ni adalah dana Pemkab Jayapura.
Loisa mengatakan, suaminya baru membuka bengkel. Selalu ada penghasilan dari bengkel itu. Tapi dia katakan kepada suaminya, untuk sementara jangan disetor. Beli alat-alat yang masih kurang. Loisa pesan kepada suaminya, beli alat-alat yang masih kurang. Seperti ban dalam. Waktu itu dia hanya beli kunci-kunci, terus kompresor. Sampai di sana, masih ada kebutuhan.
’’OK, kalau ada masukan, beli alat-alat yang dibutuhkan. Mulai tahun ini harus buka tabungan sendiri bahwa ini dari bengkel,’’katanya.
Sewaktu belajar di SPG, dalam pikiran Loisa hanya satu. Bagaimana bisa jadi guru dan mendidik anak. Tetapi di lain sisi, kalau dia terus kerja dengan honor (dibayar beras 10 kg per bulan), dia tidak punya masukan. Dia akhir banting stir. Beralih membakar kapur. Karena dari honor, masukannya tidak ada. Dia kerja kapur ada uang. Kalau jadi guru, pelajaran yang diterima kemudian diserahkan buat anak didik, tidak jadi. Terpaksa dia serahkan apa yang dia peroleh untuk mendidik anak-anak di rumah. Dia didik mereka di rumah dari biaya dari hasil bakar kapur ini.
Usaha bakar kapur yang dijalaninya sekarang, setidak-tidaknya ditunjang oleh pengetahuan yang diperoleh waktu di SPG. Waktu itu dia memilih Jurusan SD kemudian IPS-Bahasa. Di sana Loisa belajar sedikit misalnya, tentang bagaimana bisa berdagang, cara berdagang. Dari SMP dia sempat terima pelajaran dari guru yang pernah mengajar tentang Tata Buku.
Orang tua Loisa adalah swasta.Tidak punya pekerjaan. Orang tuanya punya kolam ikan dan pelihara ayam. Dari usaha ikan dan ayam itu tidak menurun kepada Loisa. Tetapi usaha kapur ini, memang turun dari mamanya. Dulu mamanya juga bakar kapur. Tetapi biasanya bakar sedikit saja untuk makan.
Kebanyakan di Papua yang bekerja itu perempuan, Pak. Di Bonggo Kabupaten Sarmi pun, perempuan yang remas sagu. Potong sendiri remas sendiri. Tebang sendiri, lakinya tidak kerja. Mencari di laut juga perempuan. Laki-laki tidak. Di Sentani juga begitu. Kebanyakan yang rajin kerja itu cuma perempuan. Hasil kerja dinikmati sama-sama.
Ketika di Jakarta, Loisa juga sempat ditanya Ibu Ani Numberi (istri Menteri Kelautan dan Perikanan Fredy Numberi) di Jakarta. Memang orang Papua itu sendiri buka kedok di depan Ibu Nining, akhirnya Loisa juga mau bicara. Ini fakta yang tak bisa ditipu (dibohongi). Loisa punya saudara kandung, istrinya bakar kapur setengah mati, hasilnya dikasih makan, kasih suami, minum mabuk. (Tertawa...).
Loisa hidup lima bersaudara. Kakaknya bekerja di Kantor Kelurahan Hedem. Yang nomor dua kerja di perusahaan Bintang Mas. Loisa nomor tiga. Yang keempat, kerja sebagai aparat desa. Terakhir, laki-laki tidak punya pekerjaan. Di rumah bakar kapur.
Mereka sudah kawin. Istrinya Loisa ajak bakar kapur. Dia bagi buat ipar-iparnya. Supaya jangan berharap pada suami semata-mata.
Bagaimana kalau si istri tidak mau kasih uang suami?
‘’Kalau dia tidak dikasih, dia diancam tokh. Terpaksa dia harus kasih,’’sahut Loisa.
Begitukah?
‘’Mungkin dipukul. Pukul. Atau pergi senang-senang dua hari di luar.
Tapi ibu tidak protes, kalau habis beri uang terus pergi minum?
’’Oh, Pak, saya itu marah. Karena kekurangan di dalam rumah itu banyak. Saudara-saudara dan adik ipar saya itu banyak. Jangan mereka gantung harapan ke saya, misalnya saya punya kelebihan, terus mereka datang selalu meminta pada saya. Justru itu saya kasih pekerjaan supaya jangan mereka minta bantuan dana pada saya. Jadi, kalau mereka kasih sama suami, saya juga marah. Jangan kasih uang sama suami pergi foya-foya habis, lantas mau minta uang sama siapa lagi. Saya juga marah,’’ tangkisnya.
Ketika Loisa pulang dari Jakarta, banyak wartawan yang meliput. Melalui mereka, dia himbau perempuan Papua kalau bisa, masih ada sumber alam Papua masih banyak. Orang Papua harus punya kemauan untuk berusaha. Khusus di lingkungannya,dia keluarga besar. Ada ibu-ibu yang tidak punya pekerjaan dan menggantungkan harapan pada suami. Kalau suami kerja di kantor, habis bulan uang habis. Istri tidak dapat bagian. Mari lebih baik bakar kapur supaya kau punya uang.
Banyak yang ditimba Loisa di Jakarta. Misalnya, pada hari pertama kita berhadapan dengan Pak Roy Darman, dosen dari UI. Sempat bagi, ada beberapa slide yang dia putarkan. Di situ Loisa mempelajari, kesatu, suara bebek. Yang kedua, bagaimana seorang cacad itu bisa berusaha menang dalam perlombaan. Loisa membayangkan dirinya seperti orang cacad itu. Dia tidak punya apa-apa, tetapi mau supaya berhasil.
Dari beberapa paparan dalam slide itu, Loisa ditanya, mana yang tertarik dan cocok dengan kehidupannya. Dia bilang dan terpaksa berdiri untuk menjawabnya. Dia tertarik dengan yang cacad. Kenapa? Karena Loisa merasa seperti dia. Loisa cacad, tetapi punya kemauan keras, karenanya dia harus berusaha menang. Misalnya harus maju dalam usaha.
Terus mempelajari bebek angsa. Bahasa angsa. Angsa itu selalu terbang dalam formasi huruf V. Misalnya, yang satu yang jadi kepala rombongan itu sakit, atau lemah, dia harus bergeser dan satu lainnya harus maju ke posisi itu (kepala rombongan). Loisa katakan, kalau yang ini sudah dia lakukan, karena di dalam kelompoknya, misalnya kalau satu tidak punya dana, dia harus bantu. Dan, supaya dia juga maju sama-sama. Dia tidak mau, kalau satu tidak ada. Yang lain hanya mau mementingkan diri sendiri. Kalau bisa kita semua maju sama-sama. Itu yang Loisa pilih.
Prestasi ini mematok kebanggaan pada Loisa. Setelah kembali dari Jakarta, dia sudah punya pikiran lain. Dia lihat di sana maju. Banyak hal yang Loisa timba. Dia bukan mau jual di pasar Sentani saja, melainkan mau ke kabupaten lain. Tahun ini dia mau melangkah. Mau ke Kabupaten Sarmi dan kabupaten lainnya di Papua. Kalau dia jual, sekaligus cari pelanggan yang bisa menjadi jaringan yang baik. Supaya setiap membakar, didrop ke Sarmi.
Loisa pernah ditawari waktu bertemu Bupati. Apakah Loisa ada keinginan jadi pegawai?
’’Pak, saya punya umur, peraturan pegawai itu 36 tahun, saya 39 tahun. Sudah lewat. Masih mending saya usaha saja daripada jadi pegawai,’’ kunci perempuan tangguh dari Papua ini. (de@r).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar