Gerabah di Desa Ouw, Saparua
Hampir semua daerah di Maluku memiliki potensi yang sangat menjanjikan. Baik sumber daya alam maupun usaha warisan leluhur yang dapat dikembangkan menjadi primadona ekonomi masyarakatnya. Salah satunya adalah kerajinan gerabah di Desa Ouw, Kecamatan Saparua, Kebupaten Maluku Tengah.
Kerajinan warisan leluhur yang digeluti warga desa setempat itu nyaris punah, namun berkat bantuan salah satu yayasan asal Negeri Belanda, kerajinan gerabah tersebut kembali digeluti warga Desa Ouw.
TINCE TOMASOA (45 tahun) duduk di sudut gubuknya sambil memandang ke arah seberang. Ibu enam anak ini baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tiga buah gerabah telah siap untuk dikeringkan.
Seketika matanya memandang ke arah jalan dan melihat beberapa orang menuju ke gubuknya yang hanya berukuran 5x8 meter. Tangannya yang masih berlumur tanah liat, cepat-cepat dibersihkan. Dia lalu menyapa para tamu yang baru saja tiba itu.
‘’Selamat pagi. Bagaimana ibu,’’ sapanya singkat.
Raut wajahnya seketika berubah saat sapaannya terjawab oleh para tamu.
‘’Ibu … katong mau beli sempe (wadah membuat papeda-red) dan pot anggrek,’’ kata Nona Isti, salah satu tamu yang datang di pagi itu dengan dialek Ambon.
Tince pun menyambut hangat. Dia lalu mencoba menunjuk satu per satu buah karyanya yang terpajang di beberapa rak kayu. Tince rupanya sudah lama menunggu para pembeli yang berkunjung ke tempatnya. Maklum dalam sepekan itu, gerabah hasil karyanya belum juga terjual.
Cerita Tince ini merupakan sepenggal kisah yang sempat terekam oleh ProFiles beberapa waktu lalu. Kondisi ini menggambarkan makin surutnya usaha kerajinan gerabah yang digeluti warga Desa Ouw sejak dulu. Padahal, gerabah produksi warga setempat pernah menembus pasar luar negeri, di antaranya ke Negeri Kincir Angin, Belanda.
Tince merupakan generasi ketiga yang menggeluti profesi sebagai pembuat gerabah di desa yang letaknya sembilan kilo meter dari kota kecamatan Saparua itu. Dia baru delapan tahun menekuni profesi tersebut secara otodidak. Warisan leluhur dilakoninya sepenuh hati.
Dia terus mengasah kemampuannya mengolah gumpalan tanah liat menjadi berbagai barang hiasan dan peralatan dapur. Sayang, hasil kesibukannya itu kerap kali harus terhenti karena sepi orderan.
‘’Biasanya gerabah yang kami produksi dijual ke Pulau Ambon dan sekitarnya, itupun bila ada pesanan. Jika sepi, terpaksa kami tidak berproduksi, hanya mengandalkan stok yang tersisa untuk dipajang,’’ terangnya.
Untuk bahan baku tidak menjadi kendala bagi keluarga Tince, lantaran tanah liat untuk mengolah berbagai jenis gerabah cukup tersedia di desa tempat tinggalnya.
‘’Tanah liat jenis ini hanya ada di Desa Ouw. Jadi kita tidak kesulitan untuk mendapatkannya,’’ tuturnya.
Biasanya untuk bahan baku tanah liat dibeli dari warga setempat. Harganya pun cukup terjangkau. Untuk satu karung plastik ukuran 25 kilo gram, biasanya dihargai Rp 10 ribu. Tanah liat sebanyak itu bisa untuk membuat puluhan gerabah.
Tince mengaku, kendala terberat dihadapinya saat ini hanya soal pemasaran yang tak menentu serta peralatan yang belum memadai. Bahkan sejak memulai usaha tersebut, belum pernah menerima bantuan dari pemerintah daerah. Padahal, potensi kerajinan gerabah yang digelutinya cukup menjanjikan.
Selama menekuni usaha tersebut, Tince hanya dibantu Yayasan Titane dari Negara Belanda. Bantuan dari yayasan itu berupa meja putar sebanyak tiga unit yang biasanya dipakai untuk mengolah tanah liat menjadi barang yang diinginkan.
‘’Kalau seng ada meja ini, biasanya katong pakai tangan. Dan selama ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah. Yang ada cuma dari Yayasan Titane di Belanda,’’ ungkapnya lirih sambil menunjuk ke arah meja putar pemberian lembaga asal Belanda tersebut.
Keluhan Tince beralasan. Karena selain kendala pasar, di Desa Ouw juga terdapat sekitar belasan kelompok kerajinan yang menekuni bidang ini. Kelompok usaha binaan pemerintah melalui dinas terkait.
Sayangnya, pemerintah daerah tidak begitu serius melakukan pembinaan dan pengembangan usaha ini, bahkan kurang dipromosikan ke luar daerah sehingga keberadaannya biasa-biasa saja, dan hanya cukup menyambung hidup seadanya bagi setiap keluarga pengrajin.
‘’Usaha kerajinan gerabah ini sangat sulit berkembang jika tidak ada campur tangan pemerintah atau pihak lain yang mau jadi bapak angkat,’’ beber Tince.
Nasib para perajin gerabah di Desa Ouw memang tidak sebagus para perajin gerabah di Pulau Jawa. Selain terkendala masalah pasar, gerabah buatan warga Ouw pun harganya terbilang murah. Sebuah pot hanya dihargai Rp 7.500. Tak heran bila Ny Tince mengakui, hasil karyanya itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari saja.
Kondisi ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan perajin di Pulau Jawa yang mematok harga di atas Rp 50 ribu per buah. Maklum, perajin di Pulau Jawa memiliki akses pasar yang sangat menjanjikan, juga mendapat bantuan pemerintah, baik modal pembinaan dan pelatihan serta bantuan berupa peralatan.
Sejarah pembuatan gerabah di Desa Ouw, Kecamatan Saparua, memang sudah tersohor hampir di seantero daerah Maluku. Konon, dahulu kala para leluhur di desa itu sudah memiliki kepandaian mengolah tanah liat menjadi berbagai peralatan rumah tangga. Hampir serupa dengan kerajinan pandai besi di Desa Iha, Kecamatan Saparua, yang juga kini diwariskan kepada para generasi berikutnya.
Kini home industri yang memiliki potensi ekonomi bagi masyarakat desa dan juga mampu mendatangkan pendapatan bagi daerah bila dikelola dengan maksimal itu terancam punah, bila tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Apalagi, untuk memasarkan hasil produksi ke kota Ambon, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan para perajin, sehingga ancaman terhentinya produksi gerabah di desa tersebut makin terbuka, menyusul makin keringnya order dari konsumen dan bantuan kepada perajin dari pihak-pihak terkait.
Menyikapi persoalan pelik ini, Tince, hanya bisa berharap, suatu saat hasil produksi gerabah yang ditekuninya mampu kembali menembus pasar di tingkat nasional, bahkan internasional. Apalagi, makin kondusifnya daerah Maluku pascakonflik. (syarafudin pattisahusiwa)
Hampir semua daerah di Maluku memiliki potensi yang sangat menjanjikan. Baik sumber daya alam maupun usaha warisan leluhur yang dapat dikembangkan menjadi primadona ekonomi masyarakatnya. Salah satunya adalah kerajinan gerabah di Desa Ouw, Kecamatan Saparua, Kebupaten Maluku Tengah.
Kerajinan warisan leluhur yang digeluti warga desa setempat itu nyaris punah, namun berkat bantuan salah satu yayasan asal Negeri Belanda, kerajinan gerabah tersebut kembali digeluti warga Desa Ouw.
TINCE TOMASOA (45 tahun) duduk di sudut gubuknya sambil memandang ke arah seberang. Ibu enam anak ini baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tiga buah gerabah telah siap untuk dikeringkan.
Seketika matanya memandang ke arah jalan dan melihat beberapa orang menuju ke gubuknya yang hanya berukuran 5x8 meter. Tangannya yang masih berlumur tanah liat, cepat-cepat dibersihkan. Dia lalu menyapa para tamu yang baru saja tiba itu.
‘’Selamat pagi. Bagaimana ibu,’’ sapanya singkat.
Raut wajahnya seketika berubah saat sapaannya terjawab oleh para tamu.
‘’Ibu … katong mau beli sempe (wadah membuat papeda-red) dan pot anggrek,’’ kata Nona Isti, salah satu tamu yang datang di pagi itu dengan dialek Ambon.
Tince pun menyambut hangat. Dia lalu mencoba menunjuk satu per satu buah karyanya yang terpajang di beberapa rak kayu. Tince rupanya sudah lama menunggu para pembeli yang berkunjung ke tempatnya. Maklum dalam sepekan itu, gerabah hasil karyanya belum juga terjual.
Cerita Tince ini merupakan sepenggal kisah yang sempat terekam oleh ProFiles beberapa waktu lalu. Kondisi ini menggambarkan makin surutnya usaha kerajinan gerabah yang digeluti warga Desa Ouw sejak dulu. Padahal, gerabah produksi warga setempat pernah menembus pasar luar negeri, di antaranya ke Negeri Kincir Angin, Belanda.
Tince merupakan generasi ketiga yang menggeluti profesi sebagai pembuat gerabah di desa yang letaknya sembilan kilo meter dari kota kecamatan Saparua itu. Dia baru delapan tahun menekuni profesi tersebut secara otodidak. Warisan leluhur dilakoninya sepenuh hati.
Dia terus mengasah kemampuannya mengolah gumpalan tanah liat menjadi berbagai barang hiasan dan peralatan dapur. Sayang, hasil kesibukannya itu kerap kali harus terhenti karena sepi orderan.
‘’Biasanya gerabah yang kami produksi dijual ke Pulau Ambon dan sekitarnya, itupun bila ada pesanan. Jika sepi, terpaksa kami tidak berproduksi, hanya mengandalkan stok yang tersisa untuk dipajang,’’ terangnya.
Untuk bahan baku tidak menjadi kendala bagi keluarga Tince, lantaran tanah liat untuk mengolah berbagai jenis gerabah cukup tersedia di desa tempat tinggalnya.
‘’Tanah liat jenis ini hanya ada di Desa Ouw. Jadi kita tidak kesulitan untuk mendapatkannya,’’ tuturnya.
Biasanya untuk bahan baku tanah liat dibeli dari warga setempat. Harganya pun cukup terjangkau. Untuk satu karung plastik ukuran 25 kilo gram, biasanya dihargai Rp 10 ribu. Tanah liat sebanyak itu bisa untuk membuat puluhan gerabah.
Tince mengaku, kendala terberat dihadapinya saat ini hanya soal pemasaran yang tak menentu serta peralatan yang belum memadai. Bahkan sejak memulai usaha tersebut, belum pernah menerima bantuan dari pemerintah daerah. Padahal, potensi kerajinan gerabah yang digelutinya cukup menjanjikan.
Selama menekuni usaha tersebut, Tince hanya dibantu Yayasan Titane dari Negara Belanda. Bantuan dari yayasan itu berupa meja putar sebanyak tiga unit yang biasanya dipakai untuk mengolah tanah liat menjadi barang yang diinginkan.
‘’Kalau seng ada meja ini, biasanya katong pakai tangan. Dan selama ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah. Yang ada cuma dari Yayasan Titane di Belanda,’’ ungkapnya lirih sambil menunjuk ke arah meja putar pemberian lembaga asal Belanda tersebut.
Keluhan Tince beralasan. Karena selain kendala pasar, di Desa Ouw juga terdapat sekitar belasan kelompok kerajinan yang menekuni bidang ini. Kelompok usaha binaan pemerintah melalui dinas terkait.
Sayangnya, pemerintah daerah tidak begitu serius melakukan pembinaan dan pengembangan usaha ini, bahkan kurang dipromosikan ke luar daerah sehingga keberadaannya biasa-biasa saja, dan hanya cukup menyambung hidup seadanya bagi setiap keluarga pengrajin.
‘’Usaha kerajinan gerabah ini sangat sulit berkembang jika tidak ada campur tangan pemerintah atau pihak lain yang mau jadi bapak angkat,’’ beber Tince.
Nasib para perajin gerabah di Desa Ouw memang tidak sebagus para perajin gerabah di Pulau Jawa. Selain terkendala masalah pasar, gerabah buatan warga Ouw pun harganya terbilang murah. Sebuah pot hanya dihargai Rp 7.500. Tak heran bila Ny Tince mengakui, hasil karyanya itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari saja.
Kondisi ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan perajin di Pulau Jawa yang mematok harga di atas Rp 50 ribu per buah. Maklum, perajin di Pulau Jawa memiliki akses pasar yang sangat menjanjikan, juga mendapat bantuan pemerintah, baik modal pembinaan dan pelatihan serta bantuan berupa peralatan.
Sejarah pembuatan gerabah di Desa Ouw, Kecamatan Saparua, memang sudah tersohor hampir di seantero daerah Maluku. Konon, dahulu kala para leluhur di desa itu sudah memiliki kepandaian mengolah tanah liat menjadi berbagai peralatan rumah tangga. Hampir serupa dengan kerajinan pandai besi di Desa Iha, Kecamatan Saparua, yang juga kini diwariskan kepada para generasi berikutnya.
Kini home industri yang memiliki potensi ekonomi bagi masyarakat desa dan juga mampu mendatangkan pendapatan bagi daerah bila dikelola dengan maksimal itu terancam punah, bila tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Apalagi, untuk memasarkan hasil produksi ke kota Ambon, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan para perajin, sehingga ancaman terhentinya produksi gerabah di desa tersebut makin terbuka, menyusul makin keringnya order dari konsumen dan bantuan kepada perajin dari pihak-pihak terkait.
Menyikapi persoalan pelik ini, Tince, hanya bisa berharap, suatu saat hasil produksi gerabah yang ditekuninya mampu kembali menembus pasar di tingkat nasional, bahkan internasional. Apalagi, makin kondusifnya daerah Maluku pascakonflik. (syarafudin pattisahusiwa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar