16 Oktober 2008

Melayani dengan Senyum


Profil AKP Hj Rosmina R, SH, MH


MEMASUKI halaman Kantor Polsek Tamalanrea di bilangan Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Makassar, kita disambut suasana yang begitu tenang. Tidak ada kesan ‘angker’ dan ‘galak’ sebagaimana kantor polisi pada masa-masa silam. Begitu kaki berayun beberapa langkah ke depan piket, seorang pria berpakaian preman menyapa santun.


‘’Ada apa, Pak?’’ sambutnya pelan, mengesankan dia bukan seorang anggota Polisi.


‘’Saya mau bertemu dengan Ibu Kapolsek. Tadi sudah janjian pukul 20.00,’’ kata saya pelan.


‘’Oh, ya. Silakan duduk dulu, beliau masih ada tamu,’’ jawabnya lagi.


Pemandangan seperti ini sudah menjadi rutin di Polsek Tamalanrea. Sang komandan, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Hajjah Rosmina R, SH, MH memang sudah menanamkan disiplin dan pesan agar santun kepada anak buahnya. Dalam menerima tamu tidak boleh diskriminatif. Selalu santun dan sopan. Layani dengan senyum.


Siapa Rosmina? Dia termasuk salah satu dari tiga perempuan yang menjabat Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) di Makassar. Dua orang lainnya, AKP Irene di Polsek Soekarno Hatta dan AKB Aisyah Saleh di Ujung Tanah.


Menilik sekolah menengah yang dipilihnya, menjadi polisi wanita (Polwan) sebenarnya bukan cita-citanya. Tetapi selepas SMP Negeri 3 Sinjai yang terkenal dengan para alumninya yang berprestasi cemerlang, bungsu lima bersaudara ini melangkahkan kaki ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Ya, masih di Sinjai. Ternyata, kakaknyalah yang mengarahkan Rosmina ke sekolah itu. Hitung-hitung biar adik bungsunya ini juga menjadi guru.


Ketika SPG, Ros – demikian sapaan karibnya - termasuk bintang di kelasnya. Makanya, dia memperoleh beasiswa. Besarnya sekitar Rp 80 ribu. Lumayan. Setiap juara I, II, dan III tiap kelas memperoleh beasiswa.


Kalau Ros ‘diadu’ dengan kelas-kelas lain (2 dan 3), dia berada di urutan kedua sekolah. Teman-temannya juga berlomba masuk bebas tes ke perguruan tinggi negeri. Ros malah cuek saja. Setelah jadi Polwan, barulah dia melanjutkan pendidikan S-1 nya di Fakultas Hukum UMI. Selesai, lanjut ke S-2, juga selesai.


Di dalam hati perempuan kelahiran Bone 2 Agustus 1969 ini ternyata menyimpan cita-cita yang lain. Dia mau jadi Polwan dan pramugari. Tak setuju dengan keinginan orang tuanya agar menjadi guru, Ros 'kabur' ke Kendari. Kemudian balik ke Makassar dan diam-diam mengikuti tes awal menjadi Polwan.


Lulus tes parade, Ros bingung. Di mana dapat duit untuk lanjut ke tes-tes berikutnya. Yang ada di badan sudah dilego semua. Termasuk anting-anting dan emas untuk biaya-biaya perjalanan.


Setelah lulus, dia harus urus-urus berkas dan tidak punya duit lagi untuk biaya transportasi. Tidak ada pilihan lain. Balik ke Sinjai.


Ros, begitu Polwan yang masih saja lajang ini akrap disapa, akhirnya kembali juga ke Sinjai. Ijazah sudah disimpan orang tua. Lalu diboyong ke Makassar, karena mau diuruskan menjadi guru.


Ros dibujuk agar mau menjadi guru. Takut kalau dia mau masuk Polwan gagal. Soalnya, sudah banyak orang yang tak berhasil tembus. Tetapi, dia tetap ngotot. Mau jadi Polwan.


Masalahnya, sejak kecil dia mengaku senang melihat polisi lalu lintas. Ada di foto dan gambar-gambar. Setiap menggambar, pasti objeknya Polwan. Begitu pun waktu SPG, kalau menggambar alat peraga, biasanya yang dipilih adalah polisi yang sedang mengatur lalu lintas.


‘’Pokoknya saya tidak usah dapat apa-apa. Tidak perlu dibiayai kuliah, yang penting saya menjadi Polwan,’’ kenangnya ketika ditemui di kantornya, Polsekta Tamalanrea.


Karena tekadnya menjadi Polwan sudah membaja, orang tuanya akhirnya melunak. Ros pun diterima dan mengikuti pendidikan di Jakarta tahun 2000. Dalam urusan tugas kemudian, Ros menapakinya penuh berliku. Pernah menjabat sebagai personel Reserse Polda tahun 1989-2000.


Sebelumnya pada tahun 1997-1998, dia malah pernah menjadi pramugari Garuda yang melayani penerbangan jamaah haji Makassar dan Balikpapan. Cita-cita Ros yang saat itu berpangkat sersan satu (sertu) jadi pramugari juga terpenuhi sekaligus, ketika sudah menjadi salah seorang anggota Polwan. Dia bersama empat anggota Polwan lainnya memperoleh kesempatan emas itu.


Ros berkisah, pada tahun 1997, Polri saat itu masih bernaung di bawah ABRI. Pangab membolehkan dan memberi izin kepada Polwan mengikuti pendaftaran pramugari.


Dari Makassar, lima orang yang lulus dan mengikuti pendidikan pramugari di Kosambi selama enam bulan. Jangka waktunya sebulan, stop dan lanjut lagi. Yang dipelajari, cara mengoperasikan peralatan di pantry, buka pintu jika saat darurat, alamat keselamatan di dalam pesawat.


‘’Itu rezeki dan garis tangan. Makanya, dalam menjalani hidup ini, kita jangan sombong. Kalau ada jabatan, itu amanah, laksanakan dengan baik. Jangan kita berpikir bahwa jabatan itu selama-lamanya. Biasa saja, kerja yang baik. Disiplin. Dalam hal kerja, kuncinya disiplin. Sebab, kalau kita disiplin, segala sesuatu akan tercapai dan kita tidak merugikan orang,’’ ungkap lulusan SPG Negeri Sinjai tahun 1989 ini.


Modal yang diperoleh dari pendidikan pramugari ini ternyata banyak bermanfaat dalam pelaksanaan tugas-tugasnya di kepolisian kelak. Misalnya melayani dengan senyum. Secapek apapun, harus tetap tersenyum. Sedarurat apa pun, seletih apapun, tetap senyum. Seberat apapun dan apalagi menghadapi banyak tugas, dia tetap senyum. Menyampaikan pesan dengan senyum. Bahkan, sudah beberapa aksi berhasil dia hentikan dengan bermodalkan cara seperti itu.


Pada tahun 1999-2000, Rosmina masuk sekolah lagi di Ciputat Jakarta. Tahun 2001-2002 sebagai Kanit Ditkaur Reserse Poltabes Makassar, Kanit RP Poltabes Makassar, dan 2002-2006 sebagai Panit I Kasi Ekonomi Reskrim Polda; Januari-Agustus 2007 sebagai Kapolsek Bontonompo, Gowa, dan 1 September 2007-sekarang sebagai Kepala Polsek Tamalanrea.


Dalam karier kepolisiannya, meski tidak ada yang sangat istimewa, namun Rosmina pernah terlibat dalam mengungkap kasus-kasus penyelundupan BBM. Kala itu dia menjabat sebagai salah seorang anggota reserse ekonomi. Kemudian, saat terjadi kasus bom Makassar, dia pun termasuk salah seorang penyidiknya.


Kunci dalam pelaksanaan tugas harus profesional, proporsional, dalam menangani perkara harus transparan. Tidak membeda-bedakan. Siapa pun yang ada harus dilayani. Jangan karena ada embel-embel, baru kita melayani masyarakat. Kalau dia melanggar, undang-undang berkata ‘barang siapa’. Tidak memilih suku, agama, tetapi perbuatan si pelaku yang dihukum.


‘’Kita harus melayani dengan senyum. Biar pun orang di depan kita itu marah seperti apa, jika kita datang dengan baik-baik, dengan lembut, kita sapa dengan senyum. Kalau saya keluar ruang kerja, dan ada tamu dan orang duduk, saya tanya, ‘Kenapa ki? Ada perlu apa?’ Saya jarang duduk di ruangan. Kalau selesai disposisi surat, saya keluar ruangan kerja. Kalau ada orang dan menyampaikan, saya perintahkan segera dilayani,’’ papar bungsu dari lima bersaudara ini.



Dipanggil “Bunda”


Bertugas di wilayah Tamalanrea baru 10 bulan, jelas bukan pekerjaan mudah bagi Ros. Masalahnya, di wilayahnya ada kawasan pendidikan dengan 'penduduk' yang cukup besar. Unhas. Belum lagi perguruan tinggi lainnya.


''Pendekatan yang saya lakukan adalah persuasif. Sebab, itu lebih menyentuh secara hati nurani, psikologis. Soalnya, selama ini antara polisi dengan mahasiswa terkesan ada 'jarak'. Dengan pendekatan seperti itu, tidak ada jarak. Malah, antara polisi dengan masyarakat itu harus bermitra,'' tutur Ros.


Dengan cara-cara seperti itu, alhamdulillah, kalau ada masalah Ros melibatkan mereka. Ketua-Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) misalnya. Ros langsung masuk ke kampus. Bahkan, di dalam kampus, dia biasa ajak para pimpinan mahasiswa itu minum kopi. Biasa juga bertemu di rumah makan sama-sama. Tidak kenal waktu.


Respons mereka sangat simpatik dengan pendekatan yang dilakukan Ros. Mereka lebih menerima ketimbang dengan cara kekerasan. Ada beberapa tokoh mahasiswa yang sering kongkow-kongkow dengan Ros di kampus, lalu bertemu dalam aksi unjuk rasa. Namun dengan pendekatan persuasif lebih menyentuh kepada masalah perasaan. Mereka merasa tidak disepelekan.


''Bahkan, para mahasiswa kalau ada masalah sering menelepon saya. Minta tolong. Mereka memanggil saya ‘bunda','' ungkap Ros.


Biasanya, 'bunda' sering memberikan nasihat, saran-saran pada saat mereka melaksanakan demo. Terkadang mereka minta waktu 10 menit. Meski sesuai undang-undang tidak ada toleransi, namun namanya melihat situasi di lapangan, kita juga harus bisa membaca situasi.


''Saya selalu mengedepankan sikap persuasif. Mengingatkan mereka agar tidak anarkis. Bahkan dengan tersenyum saya menghadapi mereka. Tidak dengan menunjuk-nunjuk disertai kata-kata yang mungkin kurang berkenan. Bahkan ada yang saya tepuk-tepuk pundaknya,'' papar Ros.


Jadi, para mahasiswa melihat Rosmina sebagai perempuan, jelas akan merasa tersentuh. Apalagi mereka sering memanggil sang Kapolsek itu sebagai 'bunda'. Ros pun sering menyapa mereka dengan kata-kata 'kenapa sayang, jangan terlalu lama, ya ... Maksud Ros, jangan terlalu lama melaksanakan demo.


Ros menempatkan para mahasiswa yang berdemo itu sedang menyampaikan aspirasinya. Kalau pun ada satu-dua orang yang 'agak lain', itulah yang didekati agar tidak melakukan tindakan anarkis. Sebab, namanya massa, tentu saja ada yang mencoba menonjolkan diri. Justru yang seperti itulah yang didekati Ros agar tidak melakukan tindakan anarkis. Dan, semua itu dihadapi dengan senyum. (M Dahlan Abubakar)

Tidak ada komentar: