16 Oktober 2008

Kita Harus Ubah Paradigma



Profil Fadel Muhammad


GORONTALO saat ini menempatkan diri sebagai provinsi produsen jagung d tanah air. Tak heran, Dr Ir Fadel Muhammad mencocor daerahnya mengarahkan masyarakatnya agar menanam jagung.


Ahli jagung pun didatangkan dari luar Gorontalo. Rintisan bermitra dengan negara lain dijajaki. Malaysia pun masuk dalam sasaran pertama ekspor jagung. Namun, apa lacur? Fadel menemukan kenyataan bahwa mengekspor langsung jagung dari daerahnya ke luar negeri dilarang pemerintah pusat.


Fadel tidak kehabisan akal. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertandang ke daerahnya, dia memanfaatkan kesempatan berharga itu. Presiden dan Ibu Ani Yudhoyono didaulat memanen dan meresmikan ekspor perdana jagung. Presiden setuju. Ambisi Fadel mengekspor jagung yang semula dilarang, pun tertunaikan.


‘’Kita harus ubah paradigma. Manajemen pemerintahan harus diperbaiki kembali agar berbeda dengan masa yang lalu. Perguruan tinggi harus berani membuat perubahan-perubahan. Kita harus kerja keras untuk mengubah paradigma berpikir,’’ kata Fadel saat membawakan kuliah umum di Unhas, 20 Juni 2008 silam.


Tampil dengan topik ’Kepemimpinan Inovatif dalam Reformasi Birokrasi’, banyak yang menganggap apa yang dibawakan Fadel telah ‘menerbangkan’ para hadirin bagaikan tidak di Indonesia.


Kembali Fadel berkisah soal mengekspor jagung. Katanya, kita tidak boleh mengekspor jagung lantaran republik ini masih mengimpor jagung. Strateginya sekarang, apa yang bisa dikembangkan agar produksi itu disalurkan. Dengan cara inilah Indonesia bisa diantar menuju gerbang emas.


‘’Kelemahan terbesar selama ini sebagai pejabat publik adalah jarang memperhatikan petani. Lagian, kalau mengurus komoditas yang dihasilkan petani, kita tidak punya harga yang bisa dipatok dan menguntungkan petani,’’ sebut Fadel.


Fadel mengakui, dengan operasi jagung tersebut, jumlah petani miskin di Gorontalo turun. Petani harus diuntungkan. Misalnya saja, harga padi kering panen dari Rp 2.000, di Gorontalo Rp 2.200. Untuk memuluskan programnya ini, Fadel membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menempatkan diri sebagai pembeli produksi petani.


Selain itu, baru Gorontalo yang berani menganggarkan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan nilai Rp 1,2 triliun untuk tiga tahun anggaran. Tahun 2009 diharapkan pembangkit itu sudah berwujud.


Yang tak kalah pentingnya, adalah perlunya kekompakan antara legislatif dengan eksekutif. Soalnya, selama ini sumber masalah itu datang kalau bukan dari legislatif dan elit-elit yang lain. Inovasi harus dibuat, katanya.


Berkaitan dengan program untuk masyarakat, kata Fadel, bagaimana masyarakat dapat menghasilkan produksi komoditas. Pasar disediakan pemerintah.


Fadel berbeda pandangan dengan Maria Pangestu, Menteri Perdagangan dan Sri Mulyani. Gubernur Gorontalo itu tidak setuju dengan perdagangan bebas (free market). Pemerintah daerah yang kendalikan pasarnya. Pasar harus diprotek. Kalau tidak, ikut aliran liberal.


‘’Kalau untuk menangani produksi masyarakat, saya akan campur tangan. Pemerintah harus melakukan intervensi. Ada unlimited government intervasion (intervensi tak terbatas pemerintah). Jika Indonesia melakukan kebijakan seperti ini, tentu kondisinya tidak seperti dulu lagi,’’ kata Fadel.


Fadel melaksanakan pemerintahan bagaikan sebuah korporasi. Dia melaksanakan manajemen efektivitas, efisien, ekonomis, dan relevan. Apa yang diterobos Gorontalo sudah mengundang daya tarik berbagai pihak.


Hingga kini sudah 105 kabupaten/kota yang bertandang, studi banding dari 21 provinsi. Atas berbagai prestasinya, Gorontalo sudah menerima 31 penghargaan.


Apa yang dilakukan pemerintah Provinsi Gorontalo juga diakui salah seorang anggota DPRD Gorontalo. Kata dia, bagaimana mengubah mindeset mereka (anggota DPRD). Apa yang dilakukan pemerintah adalah mampu menghipnotis yang nonGolkar pun ikut setuju dengan program yang diluncurkan. Apalagi Golkar.


Gelisah


Kehadiran Fadel membawakan kuliah umum bukan baru Juni silam, namun beberapa bulan sebelumnya Dia memilih Universitas Hasanuddin sebagai tempat menyalurkan kegelisahan seorang Fadel Muhammad, Gubernur Provinsi Gorontalo. Keresahan itu bersumber dari permasalahan nasional saat ini, khususnya menyangkut urusan pangan.


‘’Saya ingin berbagi keresahan. Keresahan seorang gubernur. Sudah lima tahun saya bekerja, saya melihat dan dengan atau dari apa yang saya lihat dalam lingkup lokal, regional, dan nasional, maka saya memutuskan untuk menggelindingkan keresahan yang ada,’’ kata Fadel ketika tampil sebagai pembicara tunggal pada Seminar ‘Menjadikan Sulawesi sebagai Penyangga Pangan Nasional’ yang digelar Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin di Kampus Tamalanrea, minggu kedua Maret 2008.


Fadel berkisah, dalam suatu sidang kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dia hadir dari lima Gubernur yang diundang, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulsel dan Gorontalo. Gubernur Sulsel tidak hadir karena sudah ada acara di daerah.


Fadel mendengar presentasi Menteri Pertanian yang ia nilai tidak bakal bisa berjalan sesuai dengan keinginan dan yang ada di pikiran sang menteri. Masalahnya, topik beras yang dibahas adalah persoalan rumit. Beras sulit digantikan dengan yang lain.


Menurut Fadel, pemerintah ke depan hendaknya jangan berpikir membeli dan mengimpor beras. Diperlukan intensifikasi pertanian padi dan perlunya perluasan areal baru. Menggantungkan diri pada pasar impor, bagi negara sebesar Indonesia sangat berisiko.


‘’Politik perberasan di Indonesia cenderung ‘memanen di pasar’, ketimbang ‘’memanen di lahan’’ imbuhnya.


Peran beras sebagai sumber karbohidrat utama, kata Fadel, semakin dominan dan sulit tergantikan. Sejak tahun 1995 terjadi penurunan produksi beras Indonesia. Produksi padi nasional pada tahun 2006 tercatat 54.402.014 ton, naik tidak signifikan dibandingkan tahun sebelumnya 54.151.097 ton.


‘’Stock beras di pasar dunia amat tipis, hanya 4-7% dari total produksi. Jauh lebih kecil ketimbang gandum (20%), jagung (15%), dan kedelai (30%),’’ kata Fadel dalam seminar yang dipandu Prof Dr WIM Poli dan kala itu menampilkan penyanggah Prof Dr Ir Syamsuddin Rasyid, MSc, Drs Taslim Arifin MA, Prof Dr Ir Ambo Ala MS, dan Prof Dr Ahmar Mallawa, DEA.


Pasar beras, sebut Fadel, jauh dari sempurna. Sebab, sekitar 80% ekspor beras dikuasai enam negara, yakni Thailand, Vietnam, AS, India, Pakistan, dan China. Beras yang dijual di pasar dunia merupakan sisa konsumsi domestik (residual goods). Pasar yang tipis dan oligopolistik tersebut membuat harga beras lebih tidak stabil ketimbang komoditas lain, seperti gandum, jagung, dan kedelai.


Fadel juga mengatakan, kebijakan perberasan yang dikaitkan untuk menjaga tingkat inflasi dan menyediakan kebutuhan beras bagi konsumen di daerah perkotaan harus dikoreksi, karena memberikan disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas budidaya padi.


‘’Indonesia belum melakukan spesialisasi dalam memroduksi beras. Komoditas kebutuhan primer yang utama ini merupakan salah satu barang paling strategik bagi stabilitas politik nasional,’’ ujar Fadel pada seminar yang dibuka Rektor Unhas Idrus A Paturusi.


Dia menilai, pemerintah pusat belum membangun program swasembada beras secara berkelanjutan. Reformasi telah mengurangi peran strategis Bulog dalam pengadaan stock beras nasional, sementara pemerintah daerah tidak dilibatkan sebagai mitra aktif untuk meningkatkan produksi pangan nasional.


Fadel lebih mengusulkan Sulawesi sebagai penyangga pangan nasional. Alasannya, beban Pulau Jawa sebagai penyangga utama pangan nasional harus dikurangi dengan meningkatkan kinerja pertanian daerah lain.


Sulawesi dengan luas sawah 1,2 juta ha disiapkan untuk mengimbangi peran Jawa dalam pengadaan beras nasional. Produktivitas padi di Sulawesi sudah mencapai 3,6-4,5 ton per ha.


‘’Agroklimat Sulawesi pun cocok untuk budidaya pangan. Pengalaman membangun Celebes Corn Belt (Sabuk Jagung Sulawesi) bisa direplikasi untuk model pengembangan Sabuk Padi Sulawesi,’’ kata Fadel.


Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan Sulsel Prof Dr Ir Ambo Ala mengatakan, satu-satunya cadangan pangan nasional saat ini adalah Sulawesi Selatan. Jumlah stok itu pun sulit dipertahankan, karena setiap hari Sulsel harus mengeluarkan 400 ton.


‘’Meningkatkan produksi beras Sulsel dari 2 juta hingga 3 juta lima tahun mendatang tidak mungkin,’’ kata Ambo Ala.


Program Pascasarjana Unhas, kata Ptof Dr dr A.Razak Thaha M.Sc, akan memfasilitasi pembahasan masalah-masalah strategik seperti ini secara berkala. Misalnya, pada bulan mendatang, PPS Unhas akan melaksanakan kajian strategis lagi. PPs Unhas menempatkan diri sebagai pelaksana, karena di lembaga ini merupakan muara para ahli yang berasal dari berbagai disiplin. (M Dahlan Abubakar)

Tidak ada komentar: