16 Oktober 2008



RITUAL balitto adalah tradisi yang telah berlangsung secara turun-temurun bagi warga Tionghoa. Balitto adalah akhir dari hari kedukaan bagi warga Tionghoa.


Balitto versi Tionghoa Kanton biasanya dilaksanakan tiga minggu, lima minggu atau tujuh minggu setelah jenasah almarhum disemayamkan. Tetapi bagi Ciang Sik Koang (58), yang akrab disapa Yongrik, ritual balitto terhadap almarhum ibunya dipercepat dengan mengambil tiga minggunya saja.


‘’Kami cari simpelnya saja, karena sekarang zaman sudah berbeda,’’ terang suami Fony (58) atau Huang Sin Fong itu.


Pelaksanaan ritual balitto dipimpin oleh orang yang sudah berpengalaman di bidangnya. Orang tersebut dipanggil Ambu, artinya orang yang dituakan.


Ambu memimpin ritual sejak persemayaman jenasah sampai hari balitto. Pelaksanaan ritual diawali dengan persiapan perlengkapan upacara yang terdiri dari rumah-rumahan dari kertas yang dilengkapi sertifikat dan aneka macam perabotan, seperti mobil-mobilan, AC, TV, kulkas, tempat tidur, sofa, parabola, pembantu rumah tangga, uang-uangan dengan petinya, gunung-gunungan, perak dan emas.


Selain itu, pelita dan dupa juga tersaji di atas altar almarhum, serta aneka macam buah-buahan, dan menu khas Sang Seng, berupa tiga jenis menu dari unsur hewan, yakni ikan bandeng utuh, ayam utuh, dan babi.


Tetapi bagi keluarga Yongrik, ketiga menu tersebut diganti makanan vegetarian. Baik bentuk, rasa maupun aromanya seperti ayam, ikan, dan babi, namun semuanya tiruan yang terbuat dari tepung.


Sebelum ritual pembakaran rumah-rumahan dan uang-uangan serta segala pernak-perniknya, terlebih dahulu seluruh sanak keluarga dan sebahagian hadirin membaca Keng (doa) versi agama Buddha Maitreya yang dipimpin seorang Bikkhu dari Bali.


Tepat menjelang pukul 24.00 wita, seluruh sanak keluarga yang terdiri dari anak almarhum, mantu, ipar, cucu dalam dan cucu luar berkumpul di depan altar yang terdapat foto almarhum, di mana di sekeliling foto almarhum juga terdapat tulisan nama-nama keluarga almarhum.


Dibantu tetangga dari aneka etnis untuk bergotong royong mengangkat rumah-rumahan beserta pernak-perniknya untuk mengayunkan ke atas dan ke bawah sebanyak tiga kali yang dipimpin Ambu, maka keluarga pun berucap, ‘’Mama, terimalah persembahan kami dan tenanglah di alam sana.’’


Sebelum rumah-rumahan diangkat ke depan rumah untuk dibakar, terlebih dahulu lilin dan dupa dibakar di dekat pintu, sebagai isyarat memohon izin kepada dewa pintu agar perjalanan arwah tidak tersendat-sendat atau menemui kesulitan.


Sebelum pembakaran rumah-rumahan beserta pernak-perniknya, terlebih dahulu dilakukan antisipasi untuk mencegah terjadinya bahaya kebakaran dan kerusakan pada aspal poros jalan.


Saat api mulai menjilati rumah-rumahan, seluruh sanak keluarga mengelilingi kobaran api tersebut sambil mengacung-acungkan daun jeruk besar, dan seorang di antaranya berucap dalam bahasa mandarin, ‘’Semua kami persembahkan untuk Mama, jangan ambil atau rampas hak orang lain.’’


Pengelilingan kobaran api oleh sanak keluarga selesai setelah uang-uangan dan lainnya habis terbakar. Saat pembakaran rumah-rumahan berlangsung, seseorang membantu menabur beras dan uang koin ke arah kobaran api.


Biasanya dulu ada pelepasan bebek atau ayam, sebagai simbol bahwa hewan tersebutlah yang membawa kiriman sesajen persembahan itu.


Saat api masih berkobar, seluruh sanak keluarga yang masih mengenakan pakaian serba putih, membuka pakaiannya dan menjilatkannya ke tengah kobaran api.


Setelah itu, mereka membasuh muka di baskom yang telah tersedia, yang di dalamnya terdapat rendaman daun jeruk besar.


Seluruh sanak keluarga kemudian membelakangi kobaran api tersebut, sebagai simbol perpisahan agar arwah almarhum tidak balik atau kembali lagi mengganggu sanak keluarga.


Di era pemerintahan Orde Baru dulu, ritual balitto sulit dilaksanakan warga Tionghoa karena pengurusan izin upacara dari pihak berkompeten sulit didapat. Bahkan sampai sekarang masih terjadi.


Betapa terkungkungnya warga keturunan Tionghoa di tanah airnya sendiri karena hampir tidak ada kegiatan mereka yang tidak lepas dari birokrasi perizinan meskipun itu bersifat pariwisata, sosial dan keagamaan.


Padahal, undang-undang baru tentang kewarganegaraan telah diberlakukan, di mana hak etnis Tionghoa Indonesia sama dengan hak etnis-etnis lainnya yang ada di bumi Indonesia. (Moeh. David Aritanto)

Tidak ada komentar: