16 Oktober 2008

Anas Ombi Terinspirasi Tanah Abang


PASAR Tanah Abang di Jakarta sudah lama dikenal masyarakat Indonesia, khususnya para pedagang dari Kawasan Timur Indonesia. Pusat perdagangan grosir ini menjadi tempat favorit mereka untuk berbelanja karena harga barang-barang di sini sangat miring alias murah sekali.


Selama bertahun-tahun, Pasar Tanah Abang melayani para pedagang dari berbagai daerah dalam upaya memenuhi kebutuhan pasar di daerahnya masing-masing. Dan, image sebagai tempat belanja yang murah dan lengkap masih terjaga hingga kini.


Peran yang dibawakan Pasar Tanah Abang sebagai pusat perdagangan grosir ini memberi inspirasi Anas Ombi, salah seorang pengusaha di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, untuk melakukan hal serupa di daerahnya.


Anas Ombi kemudian berupaya mewujudkan obsesinya itu dengan membangun Umna Wolio Plaza. Ia ingin menjadikan Umna Wolio Plaza sebagai Tanah Abang-nya Kota Bau-Bau, sebagai pusat grosir terbesar dan termodern di Kawasan Timur Indonesia.


Banyak hal yang mendukung Anas Ombi untuk mewujudkan obsesinya. Secara geografis, posisi Kota Bau-Bau sangat strategis karena terletak di tengah-tengah perairan antara Papua, Maluku, Pulau Jawa, dan Pulau Sulawesi.


Selama ini Bau-Bau dijadikan pelabuhan transit kapal-kapal Pelni, di mana kelas pelabuhannya kini telah naik satu tingkat dibanding 2-3 tahun lalu. Keberadaan kapal-kapal Pelni yang transit itu membuat Kota Bau-Bau ramai, dan menuai pujian dari dunia perbankan sebagai salah satu kota termaju perekonomiannya di negara kita.


Apalagi jika di wilayah Buton raya itu nanti jadi terbentuk provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Tenggara, perkembangan dan pembangunan Kota Bau-Bau kemungkinan akan semakin terpacu.


‘’Saya punya keyakinan, Bau-Bau ke depannya nanti akan menjadi kota yang cukup padat dan cukup berkembang, utamanya sisi bisnisnya. Luar biasa,’’ aku Anas Ombi.


‘’Tidak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk menolak pembentukan Provinsi Buton Raya. Potensi daerahnya, luas wilayah, dan pendapatan masyarakatnya, tidak ada lagi yang perlu diragukan. Saya kira tidak ada pemekaran yang sesiap Buton Raya,’’ sambungnya.


Berbagai upaya dilakukan Anas Ombi untuk menjadikan Umna Wolio Plaza sebagai pusat grosir terbesar dan termodern di Kawasan Timur Indonesia. Selain menjalin kerja sama dengan pedagang-pedagang grosir di Tanah Abang dan Pulau Jawa, juga akan mendatangkan barang-barang dari luar negeri seperti dari China, Taiwan, dan Korea yang banyak diminati masyarakat menengah ke bawah.


Pihaknya juga sudah mulai menjajaki, malah sudah mulai mengikat kontrak, dengan pabrik-pabrik home industry di Jawa. Targetnya, mendekatkan daerah produsen di Pulau Jawa dengan daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia, khususnya Papua, Maluku, dan Sulawesi, sehingga masyarakat di daerah tersebut bisa menikmati harga sandang yang relatif bisa terjangkau.


Jika rencana ini nanti berjalan sebagaimana mestinya, para pedagang dari Papua, Maluku dan daerah lainnya di Kawasan Timur Indonesia tidak perlu lagi ke Pasar Tanah Abang. Cukup di Umna Wolio Plaza.


‘’Barang yang ada di Tanah Abang akan sama dengan barang yang ada di plaza kita, demikian pula harga dan kualitasnya. Cuma kuantitas yang beda, tapi sedikit-sedikit, pelan-pelan, kami akan berupaya memenuhi semua kebutuhan yang ada di sana,’’ terang Anas Ombi.


‘’Kalau pun ada perbedaan harga, paling tinggi 2-3 persen, untuk biaya transportasi,’’ lanjutnya.


Menurut dia, keuntungan berbelanja di Umna Wolio Plaza, bisa menghemat biaya transportasi, penginapan, dan lain-lain. Para pedagang dari Papua, misalnya, bisa mengurangi cost kurang lebih 30-40 persen lebih murah.


‘’Sedangkan pedagang-pedagang yang ada di Bau-Bau yang berbelanja di Umna Wolio Plaza, bisa mengurangi cost-nya 20 persen. Jadi, harga jual mereka akan lebih murah 20 persen daripada mereka berbelanja di Jawa,’’ jelasnya.


Meski orang tuanya pegawai negeri, namun tak pernah terlintas di benak Anas Ombi untuk bekerja di pemerintahan. Sejak awal ia memang ingin merintis karier menjadi pengusaha.


Pada mulanya ia bekerja di perusahaan orang, tugasnya mengukur-ngukur kayu jati, dengan gaji Rp 750 per hari pada 1970-an. Setelah memiliki cukup uang untuk modal usaha, ia pun memberanikan diri memulai usaha sendiri.


‘’Saya juga pernah bekerja di sebuah perusahaan kontraktor dan digaji bulanan, tapi saya bekerja bukan semata-mata mau terima gaji,’’ tuturnya.


Dalam menjalani hidup ini, papar Anas Ombi, kita harus punya program. Jika tidak, hidup kita pasti akan gagal karena kita tahu apa yang harus kita lakukan ke depan, tidak tahu mau jadi apa.


Sebagai contoh, kalau memang niatnya mau jadi pegawai negeri, jangan jadi pengusaha karena kamu tidak bakalan bisa jadi pengusaha yang baik. Begitu pula sebaliknya, kalau kamu mau jadi pengusaha, jangan berpikir mau jadi pegawai. Kamu tidak akan berhasil karena bakat kamu sesungguhnya di pegawai tapi kamu paksakan diri untuk jadi pengusaha.


Petuahnya yang lain, jangan malu untuk bertanya dan belajar, baik kepada mereka yang telah berhasil maupun yang masih terpuruk. Apa sebabnya mereka gagal, dan kenapa sampai dia berhasil. Tapi harus disadari bahwa ada juga pengusaha yang pura-pura bangkrut, dan mengalihkan investasinya ke tempat lain.


‘’Untuk jadi pengusaha, kamu harus ulet dan bisa dipercaya. Jadikan kegagalan, kesengsaraan dalam hidup, sebagai motivasi untuk berusaha lebih baik lagi. Itu yang paling penting,’’ ujar Anas Ombi, yang memulai bisnisnya sebagai kontraktor dengan membangun rumah dinas guru yang anggarannya waktu itu – tahun 1980-an - masih Rp 1.800.000.


Di era otonomi daerah sekarang ini, Anas Ombi menangkap kesan pengusaha dianggap sebagai ancaman bagi para bupati dan gubernur selaku pengambil kebijakan. Posisi pengusaha semakin ditekan supaya tidak bisa berkembang menjadi besar, karena kalau besar akan menjadi lawan dalam pilkada.


‘’Sekarang ini boleh dikata hampir tidak ada lagi pembinaan terhadap pengusaha. Dalam benak mereka (pengambil kebijakan, red) mungkin ada kekhawatiran bahwa kalau mereka besarkan, pengusaha-pengusaha lokal akan menjadi lawan mereka di kemudian hari. Padahal, sesungguhnya hal itu tidak bakalan terjadi kalau kita berjalan di atas rel masing-masing,’’ pungkasnya. (nining)

Tidak ada komentar: