Profil Yenny Rustan
BEKERJA di bank, mungkin tidak pernah terbayang di benak perempuan berkulit putih mulus ini. Pasalnya, di Universitas Katolik Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, bukan Fakultas Ekonomi yang dia pilih, melainkan Fakultas Teknik. Teknik Sipil pula. Jika Jurusan Sipil yang ’diembat’, jelas urusannya berkaitan dengan masalah bangunan. Bisa kering dan basah. Maksudnya, Sipil basah atau Sipil kering.
Yenny Rustan memang berusaha mencoba menekuni dan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya dari bangku kuliah. Setidak-tidaknya, dia wujudkan dengan menjadi asisten dosen di salah satu perguruan tinggi di Palu, Sulawesi Tengah.
Ternyata menjadi dosen tidak membuat perempuan cantik yang masih mendambakan hadirnya momongan tersebut betah berdiri di depan para mahasiswa. Mungkin di pikirannya bergulir, ada pekerjaan lain yang lebih kuat magnitnya ‘menggoda’.
Dia pun melirik usaha perbankan. Daerah yang diincarnya, paling ujung republik ini. Papua. Mulailah dia mengembangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Irian Sentosa, Papua.
Setelah berkiprah selama beberapa tahun, dia dipercaya sebagai direktur utama. Yenny tak canggung terjun sendiri menggaet mitra. Pada 2003, Pemkab Jayapura digaetnya.
Yenny berani mendekati Pemkab Jayapura karena mendengar ada terobosan spektakuler yang dilakukan Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M, sang bupati. Di bawah kepemimpinannya, dia mengintroduksi apa yang sekarang sudah menjadi ’lagu wajib’ pejabat dan rakyat di Kabupaten Jayapura, Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung (PPDK).
Pemkab Jayapura menggaet BPR Irian Sentosa Papua, sebab BPR lebih mengenal langsung masyarakat mikro. Bunga deposito dari dana Pemkab Jayapura itulah yang kemudian disalurkan kepada nasabah dalam bentuk kredit.
BPR yang awalnya berkantor di Sentani ini, ungkap Yenny, masuk Kabupaten Jayapura karena orang Papua, khususnya para ibu, ulet dalam mencari uang. Sebab, kebanyakan prianya menjadi pegawai negeri. Ada juga yang tidak punya usaha, hanya di tinggal rumah. Di pasar-pasar kebanyakan ibu-ibu.
Menurut Yenny, sekitar 20% perempuan Papua mengunyah sirih. Oleh sebab itu, BPR Irian Sentosa melirik usaha rakyat yang berjualan sirih dan pinang, di samping penjual sagu, sayur, dan pengusaha kecil lainnya.
Kredit yang diberikan pada awalnya Rp 300.000, Rp 500.000. Paling tinggi Rp 1 juta. Tetapi mereka mengangsur harian. Sebab, bila mengangsur bulanan bisa menunggak.
Beberapa waktu lalu, saat ada kerusuhan, mereka terkena imbasnya. Modalnya habis begitu saja, dan tidak bisa berbuat apa-apa, karena tempat usaha nasabah mereka - pasar - musnah terbakar.
’’Kita sempat menghapus buku kredit macet, karena nasabah menghilang. Lari, tidak tahu ke mana. Kredit macet pada waktu itu cukup besar, berkisar Rp 300 juta. Kejadiannya 1998. Kita tidak bisa apa-apa. Kasihan, khan? Akhirnya, sempat tidak kita layani. Kita anggap itu riskan,’’ terang Yenny.
Dari sisi risiko, jelas berisiko. Namun, kembali lagi Yenny berpikir, sampai kapan harus begini? Sebab, BPR harus lebih dekat dengan rakyat kecil. Kebetulan Pemkab Jayapura menempatkan dananya di salah satu bank. Katanya, itu diberikan kepada masyarakat kecil.
‘’Waktu itu saya beranikan diri. Mengapa tidak saya coba. Saya mengenalkan bahwa BPR jauh lebih mengenai langsung kepada sasaran. Lebih dekat dengan rakyat. Saya mau kasih, tetapi selalu agak trauma dengan masalah yang dulu. Namanya juga usaha, kita mau yang aman khan?’’ ucap Yenny.
BPR Irian Sentosa pun mengajukan konsep kepada Pemkab Jayapura. Pada waktu itu (2003) direspon dengan baik. Penempatan dana pada BPR Sentosa masih kecil sekali kala itu. Pada tahap pertama hanya berkisar Rp 170 juta. Tetapi, dari jumlah itu, tahun demi tahun ditambah, kini berjumlah Rp 1,3 milyar.
Dana tersebut tidak hilang begitu saja. Uangnya pun tidak berkurang satu sen pun. Tetap dalam bentuk deposito. BPR memberikan kredit dengan menggunakan dana sendiri, tetapi penjaminannya melalui dana setoran Pemkab Jayapura. Kalau ada yang macet, dilaporkan ke Pemda. Lalu didebet. Itu pun hanya tabungan. Bunga dari deposito. Induk (nominal) yang dideposito itu tidak terganggu sama sekali. Lalu disalurkan kembali sebagai kredit mikro. Sebab, sudah ada dukungan (back up) dari pemerintah. Ini sudah berjalan bagus sejak 2003.
’’Saya memberi apresiasi yang sangat positif, karena Pemkab Jayapura mempercayai bermitra dengan BPR. Sebab, orang selalu beranggapan BPR itu apa? Mereka tidak tahu BPR itu apa,’’ sebut alumni Teknik Sipil Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar tahun 1990 ini.
Pemkab Jayapura ternyata tak salah pilih BPR untuk bermitra. Pasalnya, PT BPR Irian Sentosa adalah peraih award I nasional tahun 2007. Media BPR 17 Juli-Agustus 2007 melaporkan, PT BPR Irian Sentosa terpilih sebagai BPR teladan I dengan kategori aset di atas Rp 25 milyar. Semula modal awalnya Rp 50 juta. Kini sudah meroket sampai Rp 150 milyar.
Tim juri selain menetapkan PT BPR Irian Sentosa pimpinan Yenny Rustan sebagai pemenang I, juga menetapkan PT BPR Udiyana Putra Bali dengan aset Rp 10-Rp 15 milyar di urutan II. Disusul PT BPR Mediati Pundhi Artha Yogyakarta dengan aset Rp 5 milyar-Rp 10 milyar di tempat III. Pemenang keempat, PT BPR Gede Arthaguna Subang dengan aset sampai dengan Rp 5 milyar.
Salah satu pengusaha kecil binaan BPR ini juga terpilih sebagai pemenang I tingkat nasional untuk pengusaha mikro tahun 2007 kategori perdagangan, kerja sama UKM Center UI dengan City Foundation. Nasabah yang beruntung itu adalah Loisa Lies Wally. Tinggal di Kampung Metar, Distrik Sentani. Dia sehari-hari bergerak dalam usaha pembuatan kapur sirih.
Ketika diterima Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, di ruang kerjanya, 30 November 2007, Loisa Lies Wally kepada wartawan mengaku tidak menyangka bakal memperoleh penghargaan yang sangat bergengsi ini. Dengan keberhasilan tersebut, dia akan berusaha melebarkan sayap usahanya dengan volume yang lebih besar lagi. Sekaligus akan membidik dan mendobrak pasar ke beberapa daerah di Papua.
Yenny sendiri mengakui, jenis usaha yang digeluti nasabahnya itu cukup menjanjikan. Tak heran setiap kredit yang dikucurkan selalu dikembalikan dengan lancar. Tidak hanya itu. Hasil yang diraihnya pun cukup menggembirakan. Pasalnya, usahanya dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Juga, peluang meningkatkan usahanya pun sangat terbuka.
’’Saya sangat terharu atas prestasi yang dicapai Ibu Loisa,’’ kata Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M, sebelum menyerahkan penghargaan pada warganya yang berhasil mengangkat pamor daerah tersebut.
Habel Melkias Suwae menitipkan harapan agar predikat juara nasional ini dapat menjadi contoh bagi para pengusaha kecil dan mikro lainnya di Kabupaten Jayapura. Keberhasilan ini, imbuhnya, tidak lepas dari bimbingan BPR Irian Sentosa pimpinan Yenny Rustan.
Di Kabupaten Jayapura, BPR Irian Sentosa masuk pada sektor perdagangan. Agak kurang untuk home industry. Ini perlu mendapat perhatian pemerintah, terutama dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Perlu didorong kerajinan lokal dalam bentuk industri rumah tangga.
Karena, kata Yenny, kita tidak lihat sanggar-sanggar orang latihan seperti memahat dan menenun pakaian. Padahal, ada batik, lukisan Papua, dan sebagainya. Kegiatan tersebut terbatas sekali. Jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Banyak kain batik corak khas Papua malah diproduksi di luar Papua. Yang pahat ada di Asmat. Di Sentani juga ada, tetapi sedikit.
Meskipun BPR Irian Sentosa sudah ada di Sentani, Jayapura, Abepura, dan Timika, namun Yenny masih melirik lokasi baru, dengan membuka cabang lagi di Merauke yang potensinya juga bagus untuk pengusaha mikro.
Per Juli 2007, BPR Irian Sentosa memiliki 8.250 nasabah. Sebagian besar, 5.000 orang, pensiunan PNS. Selebihnya adalah pengusaha kegiatan mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sementara, karyawan 58 orang, 10 % staf lokal, 90% dari luar Papua.
’’Kita menghadapi kendala sumber daya manusia di Papua,’’ komentar L. Hermawan, Komisaris BPR Irian Sentosa, yang menyertai Yenny Rustan menerima penghargaan bergengsi itu pada suatu acara di Yogyakarta, 20 Juli 2007 lalu. (de@r)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar