HUTAN lindung Lambusango di wilayah Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, menjadi kebanggaan bagi masyarakat setempat. Selain memiliki keanekaragaman hayati yang menarik perhatian dunia internasional, juga sangat penting bagi kehidupan masyarakat Buton secara umum karena berperan sebagai sumber mata air.
Terletak pada Garis Wallacea, kawasan Konservasi Hutan Lambusango kaya akan keanekaragaman serta keaslian flora dan fauna endemic. Operation Wallacea yang berpusat di Inggris telah mengembangkan hutan lindung ini sebagai kawasan ecoturism yang berbasis ilmu pengetahuan dan konservasi, di mana setiap tahunnya menjadi laboratorium bagi ratusan mahasiswa mancanegara.
Hutan lindung ini juga dikelilingi oleh laut dengan pemandangan bawah laut yang memesona. Kawasan yang sangat ideal untuk aktivitas petualangan seperti trekking, bird watching, dan camping ini terletak sekitar 60 km dari Kota Baubau dan dapat dicapai dengan kendaraan umum.
Aktivitas ecoturism dengan menggunakan Labundo-bundo sebagai home base, telah mendatangkan wisatawan atau volunteer di bawah Operation Wallacea ratusan orang setiap tahunnya.
‘’Kita harus bangga memiliki hutan Lambusango yang sangat kaya dengan sumber daya hayati yang sangat penting bagi warisan dunia. Dengan melestarikan hutan Lambusango, kita telah turut serta menyelamatkan bumi,’’ terang Bupati Buton, H.L.M Sjafei Kahar.
Pemerintah Kabupaten Buton, papar Sjafei Kahar, sangat mendukung Program Konservasi Hutan Lambusango (PKHL) yang selama ini digagas oleh Operation Wallacea, yang telah memberikan semangat pelestarian hutan Lambusango.
Sayangnya, masih ada juga pihak yang belum sadar akan pentingnya kelestarian. Buktinya, meskipun ada sanksi hukum yang berat bagi yang melakukan pengrusakan hutan Lambusango, namun masih banyak pelanggaran yang terjadi hingga kini.
Untuk itu, Sjafei Kahar memberikan peringatan keras kepada penguasa wilayah, khususnya di kecamatan, serta mengajak semua pihak untuk menjaga dan memperhatikan kelestarian hutan. Orang nomor satu di Kabupaten Buton ini bahkan mengancam akan memberhentikan camat di wilayah yang terjadi kerusakan hutan.
‘’Jika terjadi kerusakan hutan, camat yang berkuasa di wilayah kerusakan hutan itu akan saya nonjob-kan,’’ tegasnya.
Menurut Direktur Operation Wallacea Trus, Dr Edi Purwanto, pelestarian hutan memang membutuhkan kolaborasi dari semua pihak, dan apa yang diungkapkan Bupati Buton itu sebagai wujud keseriusan Pemerintah Kabupaten Buton dalam menjaga kelestarian hutan.
Obyek Wisata Lain
Selain hutan lindung Lambusango, Kabupaten Buton juga menyimpan sejumlah besar obyek dan daya tarik wisata yang cukup memikat, khususnya potensi obyek dan daya tarik wisata budaya serta alam bahari.
Pantai Laompo
Pantai berpasir putih ini terletak di Desa Laompo, Kecamatan Batauga, kurang lebih 28 km dari Kota Baubau, dan dapat dicapai dengan kendaraan umum selama kurang lebih 30 menit.
Sambil bersantai di bawah naungan gazebo, wisatawan dapat menyaksikan atraksi voli pantai atau menikmati sunset, atau mencicipi hidangan khas pantai Laompo yang diyakini berkhasiat bagi kesehatan tubuh, yakni kelapa muda bakar dan ubi jalar.
Bagi wisatawan yang ingin menghabiskan malam di pantai, tersedia akomodasi Graha Wisata.
Kawasan Basilika
Kawasan pengembangan terpadu BASILIKA (Pantai Batauga, Siompu, Liwu Tongkidi, dan Kadatua) memiliki gugusan terumbu karang dan keragaman biodiversity yang terhampar di gugusan pulau-pulau tersebut, termasuk Pulau Batu Atas dan Pulau Kawi-Kawia.
Kawasan BASILIKA saat ini menjadi destinasi wisata unggulan Kabupaten Buton dengan beberapa pertimbangan. Pertama, kondisi terumbu karangnya relatif masih baik dan serupa dengan struktur terumbu karang Wakatobi dan Taka Bonerate yang bersebelahan dengan kawasan ini. Kedua, Basiliki menjadi pilihan lokasi selam bagi divers, selain tujuan selam di Sulsel (Taka Bonerate), Wakatobi ataupun Bunaken.
Liwu Tongkidi
Pulau Liwu Tongkidi merupakan pulau kecil seluas 1.000 km, dengan iklim tropis dan rata-rata curah hujan 2.000 mm/tahun. Pulau ini termasuk dalam kawasan pengembangan Terpadu BASILIKA (Batauga, Siompu, Liwu Tongkidi, dan Kadatua) di Kabupaten Buton.
Pulau kecil yang dikelilingi pasir putih ini memiliki kekayaan bawah laut berupa keanekaragaman terumbu karang dan biota laut yang masih dalam kondisi terjaga dari campur tangan manusia. Pulau ini mudah dijangkau dari Pelabuhan Baubau, sekitar 15 menit dengan speed boat.
Rumah Adat Banua Wolio
Banua Wolio artinya Rumah Adat Buton, yang mempunyai nama berbeda menurut status penghuni yang tinggal di dalamnya. Dalam status sosial kemasyarakatan, Rumah Adat Buton tersebut terbagi atas :
- Kamali atau Malige untuk tempat tinggal Sultan.
- Rumah Pejabat Kesultanan.
- Rumah masyarakat umum.
Rumah ini pada umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) ruangan. Masing-masing ruangan memiliki fungsi sebagai berikut :
- Ruang depan untuk tamu laki-laki.
- Ruang tengah untuk tamu perempuan
- Ruang belakang untuk kamar tidur.
Pesta Adat Pekakande-Kandea
Pekakande-Kandea adalah suatu acara tradisional warisan leluhur Suku Buton yang lahir dan bermula sebagai nazar/syukuran dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, khususnya bagi para remaja putri yang zaman dahulu hidup dalam keterikatan adat pergaulan yang tertutup serta didewasakan dengan sopan santun adat yang ketat.
Dalam tradisi unik ini, disajikan beraneka penganan kecil tradisional yang diletakkan di atas sebuah talam besar yang terbuat dari kuningan dan ditutup dengan tudung saji bosara.
Dengan diiringi irama tradisional Kadandio dan Doudouna, pesta dimulai. Tamu-tamu yang hadir mengawali acara makan bersama dengan disuapi penganan oleh remaja-remaja putri yang berpakaian adat dan duduk bersimpuh di sebelah talam.
Seringkali, event ini merupakan ajang promosi remaja-remaja putri untuk mendapatkan jodoh. Selain itu, event ini merupakan arena kebersamaan rakyat untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan dalam hukum adat dan membina hubungan silaturahmi yang penuh keakraban.
Tradisi ini merupakan permainan rakyat yang diatur dengan adat serta tata krama dan sopan santun tertentu yang hingga kini masih eksis dalam kehidupan masyarakat Suku Buton. Pesta adat ini diadakan pada setiap acara Festival Keraton Buton pada 12-13 September.
Tradisi Pusuo
Dalam adat suku Buton, setiap anak perempuan yang akan memasuki usia remaja diwajibkan menjalani tradisi pingitan (Posuo) selama delapan hari delapan malam.
Kegiatan tersebut merupakan sarana dan latihan untuk menempa diri mereka. Nasehat dan pelajaran tentang nilai-nilai etika, moral dan spritual, bekal bagaimana seharusnya seorang wanita berperan, baik sebagai ibu, istri, pendamping suami maupun sebagai anggota masyarakat, diberikan pada saat itu.
Diharapkan dengan kegiatan ini nilai budaya akan tetap lestari bahkan terus meningkat dengan diberikan bobot dan muatan sesuai dengan tuntunan zaman yang dilewatinya.
Seusai proses pingitan, diadakan selamatan dengan mengundang sanak keluarga, kerabat dan handai taulan. Dalam prosesi selamatan ini digelar Tari Kalegoa yang menggambarkan suka duka gadis-gadis Buton dalam menjalani tradisi pingitan tersebut.
Hingga kini tradisi Pusuo masih tetap hidup dan lestari sejalan dengan kehidupan masyarakat suku Buton. (nining)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar