24 Oktober 2008


Siapa yang tak kenal Pulau Buru? Pulau ini di masa pemerintahan Orde Baru dikenal sebagai tempat buangan tahanan politik (Tapol). Banyak kisah yang terukir dan menjadi lembaran sejarah di sana. Sebut saja kisah Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan terkenal ini merupakan satu di antara Tapol yang di buang ke Pulau Buru. Di sana dia berhasil menulis empat novel.

Tapi label sebagai tanah buangan para Tapol sepertinya sudah hilang. Kini Pulau Buru drastis berubah menjadi “tanah harapan” bagi setiap warganya. Simak saja cerita sukses para warga pendatang. yang sempat kami rekam dalam perjalanan ke daerah penghasil minyak kayu putih itu.


JARUM jam yang terpampang di ponselku sudah menunjukkan pukul 15.30 WIT. Di sela-sela kain gorden, terlihat pemandangan yang cukup indah. Awan merah mulai membungkus daratan dan pegunungan di kejauhan. Sementara deru mesin masih saja terdengar memecah keheningan di sore itu. 

Sudah tiga jam lebih perjalanan membelah laut menumpangi kapal cepat Bahari Ekspres II kami jalani. Tapi kapal sepertinya belum ada tanda-tanda mau merapat di pelabuhan. Belum habis berdecak dalam hati, tiba-tiba terdengar mesin kapal mulai melambat.

‘’Hey bangun, kapal su (sudah) mau sandar,’’ suara itu seketika membuat para penumpang terbangun dari tidur.

Kapal mulai merapat ke pelabuhan Namlea. Sejurus kemudian sekelompok anak muda mulai memenuhi ruangan kapal. Rupanya mereka adalah buruh pelabuhan yang menawarkan jasa mengangkat barang penumpang ke pelabuhan.

‘’Itu beta (saya) adik,’’ kata Ahmad (36), salah satu penumpang kapal yang sempat lama bercerita dengan kami selama perjalanan. 

Sambil berjalan keluar kapal, Ahmad yang sudah merasa akrab, kemudian berkisah soal kehidupannya di kota Namlea. 

Dia rupanya bukan berasal dari daerah itu. Bersama keluarganya, Ahmad baru lima tahun berada di kota kabupaten hasil pemekaran itu. Mereka merupakan korban konflik yang terpaksa hijrah saat daerah ini dilumat konflik horizontal beberapa tahun lalu.  

Bersama adiknya, Harun, mereka lalu mencoba menyambung hidup dengan menjadi pedagang di pasar.

‘’Skarang beta (saya) pung usaha su lumayan. Kalau di Ambon beta hanya jual ikan di pasar Mardika, sekarang beta su pung (punya) kios dan ojek (sepeda motor) lima buah,’’ ungkapnya. 

Penghasilan dari ojek dan kios, kata dia, telah membantu keluarganya. Biaya sekolah dua anaknya, sebagian besar dari penghasilan dari usaha yang digeluti.  

Kisah Ahmad dengan usaha ojeknya hanya merupakan sepenggal kisah dari cerita warga pendatang yang sukses di Pulau Buru. Masih banyak kisah warga pendatang yang sukses di tanah itu. Kebanyakan dari mereka adalah warga asal Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Sebut saja para PNS di jajaran pemerintah daerah Maluku, yang hijrah ke sana dan menjadi orang hebat di lingkup Pemkab Buru.

Layaknya 'doktrin' perantauan yang dianutnya, mereka pun pantang kembali ke tanah kelahirannya di Jawa, Sumatera atau Sulawesi dalam keadaan 'kalah'. Mereka memilih membangun kembali keluarganya di Pulau Buru dan juga mengabdi kepada negeri ini.

Salah satunya adalah Hadi, yang merupakan salah satu pejabat eselon III di Pemkab Buru. Dia meminta dipindah-tugaskan dari Pemkab Maluku Tengah ketika Kabupaten Buru baru dimekarkan.

Permintaannya langsung diluluskan, karena memang kebetulan ketika itu ada lima kabupaten baru yang dibentuk di wilayah Maluku. Ia pun ditempatkan di Kabupaten Buru, sementara ratusan sejawatnya tersebar di Seram Barat, Seram Timur, Maluku Tengah Barat dan Kepulauan Aru.

Berbekal pengalaman menjalankan roda pemerintahan daerah, mereka menjadi pembantu utama bagi para bupati di kabupaten-kabupaten baru.

‘’Penduduk sangat welcome pada kami. Di sini aman dari segala hal,’’ tutur dia.

Demikian juga dengan dunia usaha. Berbekal sisa harta yang berhasil diselamatkan, para pengusaha Ambon yang mengungsi ke Buru merintis kembali bisnisnya dari nol. Ada yang membuka bengkel, rumah makan, toko kelontong, atau mobil dan sepeda motor untuk difungsikan sebagai angkutan umum.

Dalam waktu kurang dari setahun, kegigihan mereka mulai menampakkan hasil. Bisa dikatakan, saat ini praktis mereka telah menguasai jaringan bisnis bidang usahanya masing-masing di Buru dengan pulau lain di sekelilingnya.

Mulyani (44) misalnya. Wanita asal Banyuwangi, Jawa Timur, ini sukses menjadikan Citra Wangi yang ia dirikan menjadi salah satu rumah makan paling diburu penggemar ayam goreng di Namlea, ibukota Kabupaten Buru.

Juga Basroni, asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Rumah makan Padang-nya yang berada persis di depan Kantor Bupati Buru itu setiap harinya rata-rata menghasilkan pendapatan bersih Rp 1,5 juta.

Atau Sigit. Bersama sang adik, pria asal Madura ini mengelola sebuah bengkel sepeda motor dan toko bahan bangunan yang terlihat ramai pelanggan.

‘’Ya memang belum jadi juragan besar, tapi ya ini sudah lumayan, bang,’’ ujarnya bangga.

Melihat optimisme yang terpancar, tidak berlebihan bila kerja keras para pendatang ini akan membawa Buru menjadi kekuatan ekonomi baru di Indonesia Timur. 

Tak heran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyebutnya dengan sebuatan “Bumi Untuk Rakyat Maju”. Akronim ini diberikan SBY untuk nama Buru. Sebuah pulau yang kita kenal dalam sejarah sebagai tempat pengasingan bagi tahanan politik (tapol). 

‘’Kita ingin menghapus kesan sejarah lama. Ini tanah harapan. Ini tanah masa depan,’’ kata Presiden di sela acara panen raya di Pulau Buru, 18 Maret 2006 silam. (syarafudin pattisahusiwa)


Tidak ada komentar: