24 Oktober 2008


Tempat Jenderal Diterima

MINGGU, 3 Februari 2008. Wakil Presiden H.M Jusuf Kalla selaku Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Hasanuddin, mengundang seluruh peserta Simposium dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IKA Unhas bersantap siang di Istana Bogor.

Saya pikir, ini kesempatan emas menginjakkan kaki di istana yang pernah mengukir sejarah gemilang dalam perjalanan bangsa tersebut. Padahal, Sabtu (2 Februari) malam saya sudah berencana cabut dari Ciloto, Jawa Barat, tempat Rakernas tiga hari itu berlangsung, masuk Jakarta yang kala itu sedang direpoti oleh banjir.

Malam hari, tiba-tiba Ketua Harian IKA (Wilayah Jakarta, juga Ketua Harian untuk Sulsel) dr Farid W. Husain mengumumkan bahwa Ketua Umum IKA siap menerima para peserta Rakernas bersantap siang di Istana Bogor pada pukul 12.00 WIB.

‘’Pada kesempatan lain belum tentu bisa memperoleh kesempatan ‘berlian’ seperti ini. Bahkan, mungkin hingga kiamat,’’ seloroh saya kepada teman-teman peserta lain.

Acara makan siang biasa-biasa saja. Setelah diisi laporan Ketua Panitia Pelaksana Simposium & Rakernas, dr Farid W.Husain, M.Jusuf Kalla langsung memberi sambutan, sekaligus merespons beberapa wacana penting yang dilaporkan Farid dan menjadi simpulan Rakernas. Setelah itu, dilanjutkan santap siang bersama.

Kegembiraan saya berbunga-bunga, karena usai santap siang, dr Farid Husain mengumumkan, peserta Rakernas akan diajak keliling ruang-ruang di istana dan diantar oleh Kepala Rumah Tangga (Rumga) Istana.

‘’Tapi, jangan macam-macam, di setiap sudut ada kamera tersembunyi,’’ Farid Husain sembari terkekeh ‘mengancam’ peserta.

Puluhan peserta berjalan di belakang Kepala Rumga (Rumah Tangga) Istana Bogor. Saya lupa namanya. Mengenakan batik bintik-bintik merah dipadu dengan celana hitam. Rambutnya pendek. Di bahu kiri tergantung mikropon putih. Di tangan kirinya memegang map berwarna bendera negara, merah putih. Tangan kanannya memegang mik yang ‘menadah’ suaranya, menjelaskan ruangan demi ruangan yang kami kunjungi.


Istana Hartini
Istana Bogor ketika zaman Belanda dikenal dengan nama Istana Buitenzorg. Tempat tinggal presiden ini mengalami renovasi besar-besaran pada tahun 1954. Ada bangunan yang ditambah, antara lain beranda depan pada gedung induk yang ditopang 10 tiang dengan gaya Ionia. Serambi pun dibangun ditopang 6 tiang atau pilar. Di istana ini terdapat lima paviliun. 

Dari sembilan istri Soekarno (Siti Utari Tjokroaminoto, kawin pisah 1920-1923; Inggit Garnasih 24 Maret 1923-1943; Fatmawati 1943-tak pernah diceraikan hanya meninggalkan Istana Merdeka begitu Soekarno menikahi Hartini (1954-21 Juni 1970 – Soekarno wafat); Kartini Manoppo 1959-1967; Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi 1962-hingga Soekarno wafat; Haryatie 21 Mei 1963-1966; Yurike Sanger 1964-Soekarno Wafat; dan Heldy Djafar 11 Juni 1966-1968) Hartini-lah yang tinggal di istana ini. Hartini menempati paviliun II. Pada akhir pekan, biasanya Soekarno menyambangi Hartini yang memberinya dua anak (Taufan dan Bayu). 

Di istana ada ruang film, tempat keluarga presiden menonton. Biasanya, film yang diputar belum pernah beredar di bioskop di Indonesia. Darah seni Soekarno tinggi, sampai-sampai Tien tidak berani mengubah-ubah letak dekor istana. Apalagi lukisan atau keramik.

Mungkin menarik, jika sedikit diungkap kisah kasih awal Soekarno dengan istri ke-4-nya ini. Perempuan kelahiran Ponorogo 20 September 1924 itu adalah istri dr Soewondo. Ayahnya seorang yang bekerja sebagai pengawas kehutanan. Hartini hanya mengecap pendidikan hingga kelas 2 SMA, setelah menyelesaikan Holandsch Inlandsch School (HIS) di Malang. SMP dan SMA di zaman Jepang dia jalani di Bandung.

Cinta keduanya bertaut (lihat Istri-Istri Soekarno) saat Bung Karno melakukan kunjungan kerja ke Solo dan Yogyakarta tahun 1954. Ketika itu, Tien, begitu ibu lima anak ini disapa, tinggal di Jl.Kuntang 6 Salatiga. Dia dapat jatah memasak, khususnya sayur lodeh kesukaan Soekarno untuk santap siangnya saat mampir di Salatiga.

Ternyata masakan Tien enak, sehingga Soekarno merasa perlu kenal dengan si pemasaknya. Beberapa ibu mendorong Tien agar berani maju menghadapi sang presiden dan menerima ucapan selamat serta terima kasih. Dari jabatan tangan, tatapan mata lantas turun ke hati.

’’Kasih tangan, kok lama?’’ kenang Tien.

Soekarno lalu bertanya, ’’Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?’’.

Waktu bertemu Soekarno, status Tien dengan Soewondo tidak punya ikatan lagi. Tiga bulan kemudian Soekarno melamar, setelah Tien menunggu ’gugatan’ mantan suaminya yang ternyata tidak ada.

Tak cukup setahun keduanya menikah. Tepatnya 7 Juli 1954 di Istana Cipanas. Walinya, Mangil Martowidjojo merangkap sebagai saksi. Mangil tak lain adalah pengawal pribadi Presiden. Soekarno menyebut Hartini sebagai ’ratu tak bermahkota’ di Istana Bogor. Soalnya, first lady tetap Ibu Fatmawati.

Setelah puluh langkah kami ayun, tiba di satu ruangan. Kami berhenti. Di situlah ruang perpustakaan Bung Karno. Banyak buku, tetapi tidak satu pun yang saya tahu atau baca judulnya. Yang jelas, pasti banyak buku berbahasa Belanda dan Inggris. Soalnya, Bung Karno sangat fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Dia memang didikan Belanda.

Kami hanya ’mengintip’ dari luar. Tidak boleh masuk ke ruang perpustakaan. Kepala Rumga Istana berdiri di pintu. Kata teman-teman, ruangan-ruangan ini dilarang dipotret, tetapi saya tetap nekad mencuri memotret. Rugi deh!

Di salah satu dinding, terdapat foto Jawaharlal Nehru, Presiden India yang juga hadir pada Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Foto hitan putih ini kira-kira ukurannya 30 x 40 cm. 

Selain foto, di dinding menempel sebuah lukisan pemandangan. Sekitar tujuh buah boneka – ukuran besar kecil -- yang ’terkurung’ di dalam kaca segi empat juga tegak di atas rak buku, tempat gambar Nehru diletakkan.

Di ruang ini juga ada satu set meja kayu, tetapi tidak jelas dari jenis kayu apa. Kemungkinan kayu jati Jepara yang terkenal. Begitu pun lemari buku yang tingginya sekitar satu meter lebih.

Beralih ke ruang berikutnya. Nah, ini dia. Ruang yang telah menjadi ’buah bibir’ sejarah perjalanan bangsa yang hingga kini terus menjadi misteri. Ruang kerja Bung Karno diisi sebuah meja kerja, yang ukuran besarnya sama dengan dua kursi lain di hadapannya.

Di atas meja – di sebelah kiri -- terbaring sebatang gading gajah putih. Panjang sekitar 1 meter. Di sebelah kanan – masih di atas meja – terdapat sebuah globe, bola dunia. 

Di belakang meja kerja, terdapat sebuah rak buku panjang – mungkin tiga meter -- setinggi sekitar satu meter. Banyak buku di dalamnya. Di atasnya, empat keramik. Di sebelah kiri patung pendek (entah siapa punya muka), terdapat dua piring yang agaknya keramik. Di dinding – tepat di atas rak buku – ’menempel’ sebuah lukisan besar. Di lukisan itu ada beberapa ekor itik sedang berenang.

Di sebelah kiri meja kerja, menempel di dinding, tergantung sebuah foto besar ’si empunya’ ruang kerja, Bung Karno. Foto itu memperlihatkan Bung Karno mengenakan kopiah dan stelan jas kerja warna krem dengan dasi hitam tampak di bawah kerah bajunya.  

Di sebelah kiri pintu -- yang di sebelah kiri foto Bung Karno -- juga terdapat sebuah lukisan besar. Gambarnya sebuah pohon sarat dengan bunga warna merah. Di bawah lukisan itu, lagi-lagi terdapat rak buku setinggi satu meter dengan panjang sekitar tiga meter. Di atas rak buku, tegak empat buah keramik. Tiga yang tinggi dan satu pendek.

Tepat di tengah ruang kerja, terdapat sekurang-kurangnya tujuh kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar yang dihiasai seonggok besar kembang. Di situ terdapat tulisan DILARANG MEMOTRET. 

Di dinding sebelah kiri foto Bung Karno –- hampir di ujung – terdapat sebuah lukisan perempuan yang sedang duduk. Menghadap ke kiri. Mengenakan batik, perempuan ini berbaju hijau dengan rambut sebahu.

Menurut Reni Nuryanti dkk (Istri-Istri Soekarno, Penerbit Ombak 2007), di antara lukisan itu ada sosok Hartini yang dilukis Basuki Abdullah. Lukisan itu selesai hanya dalam waktu lima belas menit.

Di antara lukisan itu juga terdapat lukisan Sarinah, karya Soekarno sendiri dan diciptakan di Bali 2 November 1958. Ada kisah di balik lahirnya lukisan ini. Ketika di Pulau Dewata, Soekarno melihat seorang perempuan lewat dibonceng sepeda oleh tunangannya. Entah mengapa, Bung Karno merasa tertarik dengan perempuan itu sebagai model lukisannya. Mereka pun diminta berhenti. Sang gadis tersebut diminta mengganti kebayanya dengan yang lebih bagus. Entah dari mana dipinjamkan Bung Karno. Rambutnya kemudian dirapikan. 

Usai dilukis, Soekarno menanyai gadis itu. Apa yang dia inginkan sebagai imbalan atas kesediaannya menjadi ’model’ lukisannya. Ternyata gadis lugu itu cuma minta kemeja dan bahan celana untuk pacarnya. Soekarno meluluskan permintaan itu dan menyertakannya dengan sedikit uang. Hasil lukisan itu kini tersimpan di istana ini.

Di pojok ruangan, berdiri sebuah meja yang tampaknya sengaja diletakkan sebagai tempat berdirinya sebuah patung. Saya tidak kenal patung siapa. Yang pasti, di atasnya ada sebuah talang keramik cembung menggantung di dinding.

Sebuah lukisan lain dengan ukuran yang sangat besar, nyaris menyita seluruh dinding ruangan, juga melengket berhadapan dengan meja kerja Bung Karno ’nun jauh’ di ujung ruangan yang lain.

Lukisan itu menggambarkan suasana di luar negeri. Itu jika dilihat dari busana yang dikenakan dan postur fisik orangnya. Di depan lukisan terdapat sepasang kursi yang di tengahnya terdapat meja kayu yang di atasnya tegak sebuah keramik putih.  

Di plafon ruangan ini tergantung dua pumpunan lampu pijar. Saya tidak bisa menghitung berapa banyak lampu pada setiap pumpunan lampu itu. Meski siang hari itu, lampu dalam keadaan menyala. 
 
 
Supersemar asli di Singapura?
Saya akan berkisah banyak tentang ruangan ini. Mengapa? Di sinilah, bagian penting dari perjalanan panjang sejarah bangsa ikut terukir. Kisah lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 yang hingga kini masih menitip misteri. Dan, mungkin saja misteri ini tidak akan pernah terungkap, karena para pelakunya sudah tiada.

Misteri ini terutama perihal naskah asli surat perintah itu, plus cara memperolehnya. Tujuh kursi yang saya sebutkan ada di ruang ini, agaknya cocok dengan jumlah orang yang ada di ruangan itu pada 11 Maret 1966, saat Supersemar bermula. Soekarno, tiga Waperdam I,II, dan III (Subandrio, Leimena, dan Chairul Saleh), Basuki Rahmat, M Jusuf, dan Amirmachmud.

H Maulwi Saelan (Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, diterbitkan Yayasan Hak Bangsa Jakarta, 2002) mengungkapkan kesaksian Ibu Hartini. Supersemar diselesaikan di Istana Bogor, sesuai konsep Soeharto yang dibawa tiga jenderal, yakni Basuki Rahmat, M Jusuf, dan Amirmachmud. Konsep surat perintah itu berkali-kali diubah, karena belum sesuai dengan keinginan utusan Soeharto.

Ketika naskah Supersemar berkali-kali mengalami perubahan, Soekarno bertanya kepada tiga Wakil Perdana Menterinya, masing-masing Dr J Leimena, Chairul Saleh, dan Dr Subandrio. Masing-masing mereka menjawab.

’’No comment. Ik laat het helemaal aan u over’’ (Saya serahkan sepenuhnya kepada Bapak),’’ kata Dr Leimena.

Bung Karno pun beralih ke Waperdam II.

Chairul Saleh minta kepada Soekarno, ’’Het is beter, dat u tot God gaat bidden en vraagt zijn antwoord’’ (supaya sembahyang istikharah dulu, mohon petunjuk Tuhan). 

Soekarno mengikuti saran Chairul Saleh. Dia salat dan memakan waktu satu jam. Sekembali dari salat, dia bertanya kepada Subandrio dan dijawab:’’Als u deze brief tekent dan valt u in the trap ( jika surat perintah itu ditandatangani, berarti sama dengan masuk perangkap).

Soekarno tidak mampu menolak desakan ketiga jenderal tersebut. Surat perintah tersebut merupakan jalan bagi Soeharto merebut kekuasaan yang secara de facto sudah dalam genggamannya.

Hartini sempat melontarkan pertanyaan pada suaminya.

’’Bent U nag President? (Apakah Bapak masih Presiden?)’’.

Soekarno menjawab:’’Ik geef mijn Stoel als President niet aan Soeharto, maar de (saya tidak memberikan tahta kepresidenan kepada Soeharto, tetapi hanya untuk keamanan saya dan keluarga serta ajaran-ajaran Bung Karno)’’.

Soal cara pemerolehan Supersemar, Asvi Warman Adam (Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Ombak 2004) mengangkat kesaksian anggota Tjakrabirawa Letda (Purn.) Soekardjo Wilardjito yang menyebutkan, pengalihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto diberikan dalam keadaan terpaksa. Orang bisa menduga bahwa Maret (1966) itu terjadi semacam kudeta.

Kaswadi (77) dan Serka (Purn.) Rian Ismail yang kini bermukim di Klaten, Jawa Tengah juga memberikan kesaksian. Mereka melihat bahwa tamu yang datang ke Istana Bogor berjumlah empat orang, bukan tiga orang seperti yang diketahui selama ini.

Bahkan Kaswadi mengakui bahwa ’’Pada waktu itu, 11 Maret 1966, saya melihat Panggabean ada di Istana Bogor’’. Malah pernyataan Soekardjo ini membuat heboh, lantaran dia mengatakan, Soekarno meneken surat perintah itu di bawah todongan pistol Basuki Rahmat dan Panggabean.

’’Saat itu sekitar pukul 01.00 WIB dinihari. Penggabean datang mengendarai jip dan berpakaian dinas militer. Ia kemudian berjalan masuk menuju Istana Bogor,’’ Kaswadi bertutur kepada LBH Yogyakarta.

Panggabean waktu itu menjabat Ketua Tim Umum yang dibentuk Soeharto. Tetapi Jenderal M Jusuf membantah kesaksian dan pernyataan Kaswadi itu. Yang menemui Soekarno waktu itu hanya tiga jenderal. Mereka di sana hanya sampai pukul 20.30. Menanggapi bantahan M Jusuf, Soekardjo Wilardjito tetap bersikukuh dengan pengakuan semula. Bahkan, dia bersedia melakukan sumpah pocong di pengadilan.

Asvi Warman Adam mengungkapkan, menurut KH Yusuf Hasyim dari Tebuireng Jombang, yang menyimpan naskah asli Supersemar itu adalah Mas Agung (alm.). Jika ini benar, mengapa sampai naskah itu jatuh ke tokoh yang dekat dengan Soekarno.

Yusuf Hasyim diberi salinan dua naskah Supersemar. Yang satu berjumlah dua halaman, sedangkan yang satunya lagi hanya satu halaman. Naskah asli itu konon disimpan di sebuah bank di luar negeri. Diperkirakan di Singapura.

Saling bantah
Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf Panglima Para Prajurit Penerbit Hasta Pustaka, 2006), menyebutkan, ketiga jenderal itu tiba di Istana Bogor pukul 13.00. Mereka melapor ke ajudan Brigjen Sobur dan dipersilakan menunggu, karena Soekarno sedang isterahat. Pukul 14.30 mereka dipanggil menghadap.

Letjen Alamsyah Ratuperwiranegara dalam biografinya menduga, faktor terbesar hingga ketiga jenderal itu bisa diterima Soekarno karena Brigjen M Jusuf masih saudara ipar dengan Maulwi Saelan, Wakil Komandan Tjakrabirawa. Tetapi keduanya membantah adanya faktor kedekatan itu.

Amirmachmud dalam biografinya pun tidak menyebut adanya nama lain yang ikut dalam rombongan tiga orang itu. Begitu juga dengan Panggabean dalam biografinya, tidak pernah menyatakan keterlibatannya dalam urusan Supersemar 11 Maret 1966 di Istana Bogor, seperti dituding Soekardjo Wilardjito.

Jusuf seperti ditulis Atmadji Sumarkidjo, setelah bertahun-tahun tutup mulut mengenai Supersemar, akhirnya buka suara juga. Dia mengatakan, pertama, tidak pernah Panggabean ikut ke Istana Bogor. Kedua, tidak benar dia membawa map untuk diserahkan kepada Bung Karno. Ketiga, tidak benar meninggalkan Istana Bogor pada pukul 01.00 dinihari.  

Maulwi Saelan sendiri mengakui ada anak buahnya bernama Soekardjo Wilardjito. Tetapi, tidak mungkin orang seperti dia bisa mendekati Presiden Soekarno di istana dalam jarak yang begitu dekat, karena yang bersangkutan bukan pengawal pribadi Presiden.

Kalau pengakuan Soekardjo hanya sebatas melihat Panggabean masuk ke wilayah istana mungkin masih bisa diterima, tetapi jika disebut sampai melihat dua jenderal menodongkan pistol di ruang dalam istana, jelas masih perlu dipertanyakan. 

Jusuf juga mengakui, memang ada perbedaan mencolok dalam dialog antara Soeharto dengan Soekarno sebelum kedatangan tiga jenderal di Istana Bogor. Perbedaan itu adalah sikap ’’lebih keras’’ yang kelihatan dari argumentasi yang mereka sampaikan.

Sebelumnya, biasanya Jusuf dan Soeharto berhenti bicara kalau Soekarno bersikeras. Tetapi saat di Istana Bogor, ketiga jenderal itu mendesak terus Presiden menuntaskan sikap secara jelas.

’’Makanya, M Jusuf mempergunakan kata ’dialog yang begitu berat dan kadang-kadang tegang’, karena mereka pertama kali harus men-challenge alasan yang dikemukakan oleh Presiden dengan sikap tidak mundur,’’ tulis Atmadji. 

Menurut Jusuf, pada dialog kedua barulah berhasil dirumuskan kembali konsep surat perintah pemberian kewenangan kepada Men/Pangad Soeharto. Konsep itu lalu diberikan kepada Sobur untuk diketik bersih dan dia lakukan di ruang tengah paviliun Istana Bogor. Saat ketikan dibawa ke Presiden, Hartini juga hadir, sehingga menyaksikan juga proses akhir peristiwa bersejarah itu.

Jusuf melihat jam tangannya menunjuk pukul 20.55 WIB, ketika Soekarno membubuhkan tandatangannya yang bersejarah itu. Setelah dia melihatnya sebentar, lalu diserahkan kepada Basuki Rahmat yang menerimanya tanpa komentar lagi. Kepada pers, Jusuf mengatakan meninggalkan Istana Bogor pukul 20.30, kemudian mengoreksinya. Dia lupa secara tepat pukul berapa penandatanganan itu dilakukan.

Bambang Widjanarko dalam Sewindu Dekat Bung Karno (PT Gramedia Jakarta, 1988) secara spesifik tidak menginformasikan hal-hal baru mengenai peristiwa di Istana Bogor.

Hanya dia menulis,’’ Sewaktu tiga jenderal AD (Basuki Rahmat, M Jusuf, dan Amirmachmud) tiba di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966 saya menjemput kedatangan mereka dan mengantarkan ke paviliun tempat Bung Karno (BK) dan Ibu Hartini tinggal. Pertemuan tiga jenderal inilah yang melahirkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang tersohor itu.

Usai pertemuan, BK menuju Jakarta naik helikopter. Waktu telah menjelang magrib dan ternyata tidak ada kendaraan untuk membawa ketiga jenderal itu. Saya menawarkan kendaraan saya dan mereka berkenan untuk berdesakan dalam mobil itu. Saya antarkan mereka ke Jakarta dalam remang-remang malam yang mulai menyelimuti jalan’’.

Salah seorang Pengawal Pribadi Presiden Soekarno, H Mangil Martowidjojo juga memberikan kesaksian mengenai Supersemar ini. Dalam bukunya Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 (PT Grasindo Widiasarana Indonesia Jakarta, 1999) dia menulis.

’’Saya masih duduk kembali di teras depan paviliun dan tidak lama kemudian saya mendengar lagi suara helikopter yang akan mendarat di halaman Istana Bogor,’’ ujarnya.

Sebelumnya, Waperdam I dan III, Subandrio dan Chaerul Saleh bersama ajudannya masing-masing mendarat menggunakan helikopter. Helikopter kedua yang mendarat sekitar pukul 15.00 ternyata membawa tiga jenderal (Basuki Rahmat, M Jusuf, dan Pangdam V Jaya Amirmachmud).

Mereka menuju paviliun dan Mangil sudah siap menerimanya. Mangil mengontak Sobur yang kemudian datang berbincang-bincang. Setelah magrib Sobur dengan tergesa-gesa datang ke paviliun Mangil sambil membawa kertas. Kepada anggota staf ajudan Presiden, Sobur minta mesin tik serta kertasnya.

’’Gue mau bikin surat perintah nih...,’’ katanya.

Mangil sendiri tak memperhatikan apa yang diketik Sobur. Dia tetap duduk di kursinya. Usai mengetik, Sobur buru-buru kembali ke paviliun Bapak Presiden. Kelihatan Sobur bangga sekali waktu itu. Sobur selain sebagai ajudan senior, juga menjabat Komandan Pasukan Pengawal Presiden RI Resimen Tjakrabirawa dan menjabat Sekretaris Militer Presiden.

Kurang lebih pukul 20.00 WIB, tulis Mangil, Jenderal Basuki Rahmat, M Jusuf, dan Amirmachmud meninggalkan paviliun Istana Bogor kembali ke Jakarta dengan naik mobil. Soekarno menawarkan ketiga jenderal itu makan malam dulu, tetapi ditolak secara halus dengan alasan kemalaman tiba di Jakarta.

Keesokan harinya, Mangil mendengar siaran radio mengenai adanya surat perintah dari Bapak Presiden Soekarno kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Inti surat perintah itu terdiri atas tiga soal pokok penting, yaitu:

a. Menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi.
b. Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden RI.
c. Melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.  

Soegiarso Soerojo dalam bukunya Siapa Menebar Angin akan Menunai Badai (1988) pun tidak menawarkan sesuatu yang spesifik mengenai Supersemar. Dia mengutip pengakuan Amirmachmud bahwa ketiga jenderal itu baru sadar betapa besar arti surat perintah tersebut setelah di kendaraan dalam perjalanan ke Jakarta.

Malam itu juga surat perintah itu disampaikan ke Soeharto yang belum dapat bangun karena sakit tenggorokan. Pukul 23.00 surat perintah sampai ke Soeharto. Malam itu juga para panglima seluruh Indonesia yang masih ada di Jakarta mengadakan musyawarah. Membahas wewenang yang diberikan Presiden Soekarno kepada Soeharto. 

Pukul 04.00 dinihari tanggal 12 Maret, Surat Perintah 11 Maret digunakan secara jitu oleh Letjen Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, keluar Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI termasuk organisasinya di tingkat pusat sampai daerah serta semua organisasi yang seasas, berlindung, bernaung di bawahnya serta menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia. 

Kini, habis sudah pelaku sejarah terbitnya Supersemar. Kematian mereka bagaikan ’diatur’. Sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Basuki Rahmat lebih dahulu meninggal. Disusul Amirmachmud, M Jusuf, dan terakhir Soeharto yang meninggal 27 Januari 2008. Mereka pergi meninggalkan misteri Supersemar yang entah kapan terjawab.

Meninggalkan ’ruang Supersemar’’ itu, saya tak bernafsu lagi berkisah panjang mengenai ruangan demi ruangan. Meski ada satu ruangan lain yang pernah digunakan sebagai lokasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) lima negara. Di ruangan yang berseberangan dengan ruang kerja Soekarno – tetapi agak serong sedikit ke kiri – masih tampak lima bendera negara peserta.

Saya juga melihat di sana sini tampak patung kayu perempuan tanpa busana. Wisata istana kami akhiri di museum. Di sini terhimpun sejumlah lukisan. Ada lukisan besar yang menggambarkan selera seni yang tinggi dari Soekarno.

Di museum ini tersimpan berbagai benda budaya dari seluruh Indonesia. Di ruangan ini, benar-benar saya tidak bisa mencuri kesempatan memotret sama sekali. Dilarang habis! (de@r)


Tidak ada komentar: