07 November 2008

Kisah Letusan Gunung Tambora (6)

Panduan Pendakian


KALAU mau mendaki Gunung Tambora sebaiknya melalui jalur resmi, yang relatif lebih aman dari jalur lain. Untuk menuju ke Dusun Pancasila harus menggunakan armada darat dari Cabang Banggo (baca: cabang Mbanggo) Kabupaten Sanggar. Perjalanan ini dapat ditempuh selama dua jam 15 menit.


Para pendaki sebaiknya menginap di basecamp Bapak Lewah, Kepala Dusun Pancasila. Boleh juga menginap di rumah Bapak M Yusuf (babe), seorang guide pendakian Gunung Tambora yang sangat berpengalaman mengenai seluk-beluk dan sejarah Gunung Tambora.


Dari Dusun Pancasila menuju ke Pos I dapat ditempuh selama satu jam. Di Pos I tersebut terdapat sebuah pondok dan sekitar 20 meter terdapat mata air berbentuk sumur. Airnya jernih. Lalu, dari Pos I menuju ke Pos II dapat di tempuh selama satu jam. Di pos tersebut terdapat tempat datar untuk beristirahat. Sekitar lima meter dari tempat tersebut terdapat sungai kecil yang mengalirkan air jernih.


Dari Pos II melanjutkan perjalanan kembali menuju ke Pos III dengan melalui hutan yang lebat. Rute ini dapat ditempuh selama tiga jam. Di Pos III tersebut ada tanah datar luas. Terdapat pula pondok untuk tempat berteduh para pemburu rusa timor. Adapun cara berburunya yaitu dengan menggunakan anjing sebagai pelacak dan menggunakan senapan laras panjang. Di Pos III tersebut merupakan mata air terakhir untuk mengambil air.


Dari Pos III menuju ke Pos IV melalui medan hutan lebat dan ditempuh selama satu jam. Dan, dari Pos IV menuju ke Pos V dapat ditempuh selama 30 menit. Lalu, dari Pos V menuju ke Bibir Kawah dapat ditempuh selama dua jam, dengan melalui vegetasi yang beralih dari vegetasi hutan ke vegetasi Edelweiss. Dari vegetasi Edelweiss menuju padang pasir.


Selama perjalanan kita akan menikmati keindahan alam yang menakjubkan dengan melalui jalur berpasir di kanan-kirinya. Melihat keunikan bunga Edelweiss yang berbeda dengan di gunung-gunung lain yaitu bunga tersebut sangat pendek sekitar 0,5 meter sampai 1,5 meter dengan letaknya masing-masing berjauhan sekitar dua meter sampai 100 meter. Juga ada jenis rerumputan dengan tinggi sekitar satu meter sampai 1,5 meter membentuk barisan-barisan.


Selain itu ada batuan berlapis yang banyak dijumpai di padang pasir dengan bagian atasnya datar seperti meja yang lebar. Batuan berlapis tersebut telah mengalami proses perlapisan batuan akibat dari adanya lelehan lahar setelah berkali-kali gunung tersebut meletus. Lelehan lahar itu kemudian mengalami proses pembekuan serta proses pembatuan.


Dalam kurun waktu lama pada bagian-bagian lapisan batuan yang kurang keras mengalami proses pengeroposan (korosi) kemudian hancur menjadi hamparan pasir atau sering disebut padang pasir. Sedangkan pada bagian-bagian batuan yang keras menjadi batuan yang berlapis-lapis dan pada bagian atasnya datar dengan jarak masing-masing batu sekitar 10 meter lebih dengan ketinggian yang sama pada masing-masing batuan berlapis tersebut.


Setelah sampai di bibir kawah para pendaki dapat menikmati pemandangan yang indah kawah Doro Afi Toi (dari bahasa Bima, yang berarti gunung api kecil). Ini adalah sebuah nama kawah Gunung Tambora yang terkenal dengan letusan dahsyat yang mengalahkan letusan dasyat Gunung Krakatau. Juga kita dapat melihat lapisan batuan di sepanjang tebing kawah Doro Afi Toi.


Perjalanan dari bibir kawah menuju ke Puncak Gunung Tambora ditempuh selama satu jam 30 menit melalui hamparan padang pasir. Di kanan kiri terdapat bunga Edelweiss serta batuan berlapis.


Sesampainya di Puncak Gunung Tambora dengan ketinggian 2.851 m dpl (di atas permukaan laut), para pendaki akan lebih leluasa menikmati pemandangan yang indah. Salah satu pesona kawahnya yang sangat lebar dengan adanya telaga hijau di dasar kawah akibat letusan terdahsyat dalam sejarah sehingga dapat menghasilkan fenomena alam yang menakjubkan. ( de@r, berbagai sumber)

Kisah Letusan Gunung Tambora (5)

Tambora, Mengajak Menghilang


GUNUNG Tambora secara administratif terletak di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, dan secara geografis terletak antara: 8o - 25'LS dan 118o - 00' BT dengan ketinggian antara 0-2.851 mdpl, gunung tersebut merupakan gunung tertinggi di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.


Kawasan Gunung Tambora terbagi menjadi dua lokasi konservasi yaitu: Tambora Utara Wildlife Reserve dengan luas 80.000 hektar dan Tambora Selatan Hunting Park dengan luas 30.000 hektar.


Tambora Utara Wildlife Reserve dengan ketinggian antara 1.000 sampai 2.281 mdpl sebagai kawasan yang penting karena berfungsi sebagai daerah tangkapan air Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, dan sangat berpotensial untuk menjadi tempat wisata karena ciri-ciri geologi-nya sangat berbeda dengan kawasan lainnya. Juga sebagai tempat perlindungan satwa (wildlife sanctuary).


Tambora Selatan Hunting Park dengan ketinggian antara 500 sampai 2.820 mdpl sebagai kawasan yang dikelola secara khusus untuk daerah berburu.


Kawasan Gunung Tambora sangat kaya dengan kekayaan flora maupun fauna. Jenis-jenis flora yang paling banyak dijumpai, antara lain: alang-alang (Imperata cylindricca), Dendrocnide stimulans, Duabanga molluccana, Eugenia sp, Ixora sp, edelweiss (Anaphalis viscida), perdu, anggrek, jelatan/daun duri.


Jenis-jenis fauna yang banyak dijumpai, antara lain: menjangan/rusa timor (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa), kera berekor panjang (Macaca fascicularis), lintah (Hirudo medicinalis), agas.


Asal mula nama Gunung Tambora, seperti ditulis Harry ’’Medok’’ Wijaya, anggota Palawa Universitas Atmajaya Yogyakarta dan dikutip Sumbawa News, menurut cerita turun temurun ada dua versi.


Pertama, berasal dari kata lakambore dari bahasa Bima yang berarti mau ke mana, untuk menanyakan tujuan bepergian kepada seseorang. Kedua, dari kata ta dan mbora, dari bahasa Bima, kata "ta" yang berarti mengajak, dan kata "mbora" yang berarti menghilang. Arti kata Tambora secara keseluruhan yaitu mengajak menghilang.


Ini berasal dari cerita turun temurun. Dahulu ada seseorang sakti yang pertama kali ke gunung tersebut (sekarang Gunung Tambora), bertapa dan tidak diketemukan lagi karena telah menghilang di gunung tersebut.


Kalau istilah bahasa Jawa-nya moksa, yaitu menghilang jasadnya secara tiba-tiba dan bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan melihat roh halus. Kemudian orang sakti yang menghilang tersebut pernah menampakkan diri di sebuah pulau yang terletak di sebelah barat laut Pulau Sumbawa, juga dapat terlihat dari puncak Gunung Tambora. Maka pulau tersebut dinamai Pulau Satonda dari kata tonda yang berarti tanda/jejak kaki.


Pulau tersebut dapat dilihat dari puncak Gunung Tambora, tampak dari atas berbentuk telapak kaki kanan manusia. Pulau Satonda sangat indah dengan pemandangannya yang masih alami.


Di tengah-tengah pulau tersebut terdapat danau yang jernih dan dikelilingi oleh tebing-tebing dari perbukitan yang masih alami. Diduga danau di Pulau Satonda tersebut mempunyai terowongan dari gua bawah laut menyambung dengan laut.


Pulau Satonda dengan ketinggian antara 0 sampai 300 mdpl merupakan taman rekreasi (recreation park) dengan wilayah seluas 1.000 Ha mempunyai ciri-cirinya yang unik.


Sekarang pulau tersebut telah menjadi kawasan yang dilindungi (strict nature reserve). Pulau Satonda sangat baik untuk menjadi tempat mempelajari hutan. Pasalnya, hutan di pulau tersebut hancur akibat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan yang baru dan hanya ditemukan di Danau Satonda saja.


Pulau tersebut menjadi habitat sejumlah besar jenis burung yang dilindungi. Kesemua keindahan alam yang menjadi satu kesatuan menciptakan suatu fenomena indah, unik.


Pesona alam di Gunung Tambora makin menambah keelokan panorama alam Indonesia. Kita semua wajib mengenali dan melestarikannya. Alam Indonesia menjadi obyek penelitian yang sangat menarik oleh para ilmuwan. Dan, Tambora, sepertinya bagaikan mata air yang terus mengalirkan misteri dan selalu mengundang ilmuwan meneliti. (de@,bersambung)




Kisah Letusan Gunung Tambora (4)

Ditemukan Keramik dan Tulang Belulang


DIPANDU dengan radar darat, masih menurut Kompas yang dilansir Sumbawa News, para peneliti dari Indonesia dan AS menggali saluran air tempat penduduk lokal menemukan keramik dan tulang belulang sebelumnya.


Di sana, mereka menemukan puing-puing sebuah bangunan beratap, tembikar, perunggu, dan tulang belulang dari dua orang yang hangus terbakar. Seluruhnya ditemukan dalam satu lapis endapan yang seumur dengan terjadinya letusan.


Vulkanolog Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island yang memimpin ekspedisi tersebut memperkirakan sekitar 10 ribu orang yang tinggal di daearah tersebut ketika gunung meletus. Peristiwa ini mirip dengan letusan pada zaman Romawi Kuno yang mengubur penduduk Kota Pompeii.


Letusan Gunung Tambora menyemburkan 400 juta ton gas sulfur ke atmosfer dan menyelimuti hampir seluruh bagian atmosfer Bumi. Hal tersebut menyebabkan pendinginan secara global dan menghasilkan suatu kondisi yang dalam sejarah sering disebut ’tahun tanpa musim panas.’ Pertanian di Maine hancur pada Juni, Juli, dan Agustus karena membeku. Di Perancis dan Jerman, anggur dan jagung mati atau panennya tertunda.


Peradaban di Pulau Sumbawa menarik perhatian para peneliti sejak petualang Belanda dan Inggris menjejakkan kakinya di sana awal 1800-an. Menurut Sigurdsson, mereka semakin tertarik setelah mendengar bahasa yang digunakan penduduk di sana berbeda dengan bahasa pada umumnya di Indonesia.


Beberapa peneliti percaya bahwa bahasa yang digunakan penduduk Sumbawa mirip dengan bahasa yang digunakan di Indochina. Namun, tidak lama setelah bangsa barat menemukan Tambora, penduduknya musnah.


’’Betapa dahsyatnya sehingga letusan tersebut ikut memusnahkan sebuah bahasa,’’ kata Sigurdsson.


Namun, lanjutnya, kami berusaha mendorong orang-orang untuk mengatakannya kembali dengan cara menggalinya.


Beberapa bukti yang ditemukan para peneliti menunjukkan bahwa penduduk Tambora mungkin berasal dari Indochina atau memiliki hubungan dagang dengan daerah tersebut. Misalnya, pot-pot keramik yang ditemukan menyerupai dengan benda serupa yang ada di Vietnam.


Saat melihat rekaman video penggaliannya, John Miksic, seorang arkeolog di National University of Singapore, yakin bahwa Sirgudsson dan timnya memang menemukan pemukiman yang musnah karena letusan gunung.


Namun, ia meragukan bahwa orang-orang Tambora berasal dari Indochina atau menggunakan bahasa dari daerah tersebut. Kalaupun ditemukan keramik yang mirip dengan keramik di Vietnam, mungkin hal tersebut terjadi melalui perantaraan para pedagang.


Selama penggalian tersebut, tim yang dipimpin Sirgudsson menemukan tulang belulang seorang wanita yang hangus menjadi arang di suatu lokasi yang diperkirakan sebuah dapur. Sebuah botol gelas yang meleleh dan parang dari logam terletak di dekatnya. Jasad seorang lainnya ditemukan di luar bangunan yang diperkirakan berada di teras.


Penggalian yang juga melibatkan para peneliti dari Universitas North Carolina, Wilmington dan Direktorat Vulkanologi Indonesia masih terus dikembangkan untuk menguak misteri peradaban yang hilang di Tambora.

Tim Survey Koleksi Geologi : situs Letusan Tambora Tahun 1815 dipimpin oleh Indyo Pratomo dari Geological Research and Development Center (GRDC). GRDC ini, 21-22 September 2005 menyelenggarakan Seminar Internasional The Quarternary Geological Data As Life Supporting Information Form Mankind and Environtment di Hotel Horison Bandung.


Menurut salah seorang pemandu wisata pendakian gunung Tambora, Syaiful, seperti dikutip Sumbawa News, sewaktu menjelaskan kepada Heryadi Rachmat, ditemukannya situs ini, 1971, sewaktu pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan PT Veneer Product membuka jalan untuk angkutan kayu di dalam hutan belantara di dusun Tambora.


Katanya, ada ditemukan keris, tombak, guci keramik, tempat air minum, rangka manusia, beras, dan tulang manusia yang tersisa. Semuanya dalam keadaan gosong bagaikan arang.


“Karena tidak ada pengamanan dari pemerintah, masyarakat seterusnya melakukan pencarian sendiri,” ujarnya.


Di antara temuannya adalah gelang emas dan sebuah kalung emas yang gantungan kalungnya berbentuk semacam Borobudur dan di tengahnya ada model mutiara.


Temuan tersebut disampaikan kepada Prof Haraldur Sigurdsson dari University of Rhode Island yang melakukan pendakian Tambora, 1992. Lalu, Haraldur Sigursson - pada tahun 1980-an juga meneliti akibat letusan gunung Vesivius Italia Tahun 79 yang mengubur kota Pompei sedalam 23 meter - kembali bersama peneliti lainnya asal Inggris, Jerman dan Amerika, Agustus 2004.


Mereka menggunakan Ground Penetration Radar selama 10 hari pertama, untuk mendeteksi barang asing di dalam tanah, dan didapatlah lokasi rumah berukuran empat kali enam meter yang bagian atasnya masih utuh pada kedalaman dua meter. Temuannya baru satu rumah.


Perkiraannya luas wilayah dari kompleks Kerajaan Tambora sekitar 10 hektar. Masyarakatnya, oleh Heryadi Rachmat disebutnya berbeda dengan suku Mbojo yang kini dikenal sebagai penduduk Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima.


Dikutip dari catatan yang dibacanya, dikatakan bahwa bahasanya berbeda, namun diakuinya dirinya tidak dapat menyebutnya secara tepat.


“Saya tidak tahu persis,” ucapnya.


Sayangnya, seperti disesalkan oleh Heryadi Rachmat, kedua pemerintahan kabupaten Dompu dan Bima yang wilayahnya mencakup gunung Tambora tersebut tidak mengamankan situs tersebut.


Masyarakat yang pemukimannya terdekat Desa Pancasila, hanya bisa menggunakan ojek sejauh 20 menit perjalanan sepeda motor, dibiarkan memungut benda temuan dan setelah itu, ketika terjadi banjir Desember 2004, lokasi tersebut tersapu dan tertimbun tanah baru setinggi setengah meter. Kebetulan penggalian tersebut dilakukan di lembah aliran sungai yang hanya pada saat banjir dialiri air.


Untuk mendapatkan lokasi situs tidak mudah. Penggaliannya membutuhkan waktu lebih dari sebulan karena peneliti yang melakukannya harus hati-hati dan menggunakan peralatan khusus hingga kedalaman dua meter.


“Kita masih kurang menghargai situs yang sangat berharga yang memiliki unsur sejarah awal mula kehidupan. Yang dikawatirkan benda lama terbawa banjir lenyap dari lokasi semula,” kata Heryadi.


Untuk mencapai lokasi situs tersebut, kalau dari Bima, melalui Desa Doropeti di Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu - bagian selatan gunung Tambora yang merupakan lokasi Pos Pengamatan Gunung Api Tambora dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Sedangkan apabila langsung dari Mataram melalui Pelabuhan Poto Tano Sumbawa, waktu tempuhnya lebih sembilan jam ke Doro Peti yang terletak di ketinggian sekitar 24 meter di atas permukaan laut.


Jika mau mencapai puncak atau bibir kaldera gunung api Tambora ini, tulis Supriyanto Khafid, yang dikutip Sumbawa News, pendakian dapat dilakukan dari beberapa arah. Di antaranya melalui jalur sebelah barat via Calabahi dan kampung Pancasila sampai ke bibir kaldera bagian barat. Jalur ini merupakan lintasan umum, namun memerlukan waktu yang cukup lama . Bisa mencapai 2-3 hari.


Jalur dari sebelah utara melalui desa Kawinda Nae sampai bibir kaldera bagian utara. Jalur ini relatif lebih pendek dan cepat melalui hutan. Hanya saja, jalannya terus mendaki dari sejak awal pemberangkatan.


Jalur dari arah sebelah barat daya dari kampung Doropeti ke arah timur laut sampai bibir kaldera bagian barat-barat daya, melalui hutan lebat yang banyak ditemukan pohon Jelatang atau nama setempat Maladi, yaitu tumbuhan yang menyengat bila terkena kulit serta banyak dijumpai pacet atau lintah. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 hari dari pos melalui hutan, lereng, dan bibir kaldera.


Jalur dari sebelah selatan melalui Desa Doropeti ke arah timur sekitar 12 kilometer melalui jalan aspal kemudian belok ke utara mendaki melalui perkebunan sampai ke bibir kawah bagian selatan. Waktu tempuhnya sekitar sehari.


Pada jalur ini merupakan alang-alang yang kering dan gersang, namun dapat dilalui roda empat jenis jip sampai ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut dalam waktu tiga jam. Kemudian dilanjutkan jalan kaki sampai bibir kawah sekitar 3-4 jam. ( de@r, bersambung)

Kisah Letusan Gunung Tambora (3)

Pemicu Pecahnya Epidemik Kolera


SEORANG pengamat letusan Tambora merenungkan, abu yang telah dikeluarkan gunung api ini, jika tersebar secara merata mungkin akan menutupi seluruh Jerman. Sebagian besar abu tidak jatuh ke tanah, tetapi tetap di atmosfer. Mulai berkelana ke seluruh dunia dibawa oleh angin.


Awan yang sangat besar telah menyebabkan turunnya temperatur bumi, menyebabkan kehancuran padi musim panas yang mulai menguning di Eropa dan Inggris. Temperatur pada bulan Juni jauh di bawah normal, turut menyumbang kerusakan yang telah disebabkan oleh kekeringan berkepanjangan.


Para petani mulai mengambil jalan dengan memberi makanan jagung yang bisa mereka panen pada ternak mereka agar tidak kehilangan ternak itu. Di Swiss , orang-orang yang kelaparan telah memakan anjing dan kucing yang sesat. Para petani New York terpaksa menggali tanaman kentang yang baru saja ditanam untuk memberi makan kepada keluarga mereka.


Embun beku musim panas yang aneh telah membunuh padi segera setelah tanaman itu ditanam. Orang-orang mulai berburu raccoon (mamalia semacam kucing) dan burung merpati untuk dimakan.


Kelaparan dan penyakit diperkirakan telah menambah jumlah korban meninggal nyaris sebanyak 50.000, pada jumlah kematian keseluruhan Gunung Tambora. Meski pada saat itu tak seorang pun yang memahami kaitan antara tanpa musim panas dan letusan gunung api yang jaraknya ribuan kilometer, dan meletus ratusan hari pada masa lalu ini. Meski mereka memahaminya, tampaknya para petani Inggris abad XIX yang pendiam dan tabah juga tidak percaya.


Kisah letusan gunung ini sepertinya tak habis-habis. Kesan terhadap kedahsyatan erupsi Gunung Tambora yang kini masih berstatus aktif normal tersebut tetap membekas di benak para ilmuwan.


Fenomena alam yang timbul tidak hanya menciptakan kengerian, tetapi juga memunculkan keindahan. Debu dan kerudung sulfur menciptakan efek optikal yang spektakuler.


Jika kita ’bertualang’ di dunia maya dan mencoba singgah di google, kita dapat menyaksikan keindahan bekas ledakan Tambora. Ketika sebagian Sumbawa bagian timur kita zoom, bekas letusan itu bagaikan sebuah bisul yang ’’menempel’’ di bumi. Namun, begitu men-zoom lagi, tampak Tambora berubah lagi menjadi sebiji permata berwarna biru nan indah. Betul-betul sebuah fenomena dan panorama yang memesona.


Dari atas angkasa – via satelit – di bagian agak ke timur, di kawah Tambora tampak sebuah kawasan yang diperkirakan sebuah danau. Airnya berwarna biru. Berbentuk segitiga agak memanjang ke arah utara timur laut. Ujung utara meruncing.


Yang tak bisa dilewatkan adalah keindahan yang bisa dinikmati di puncak Gunung Tambora, dengan pemandangan kawah, lautan, Pulau Satonda, padang pasir luas yang indah. Gunung Tambora termasuk salah satu gunung yang indah di Indonesia, tentunya dengan fenomena alam yang menakjubkan.


Dampak kedahsyatan letusan itu juga tampak ’meleleh’ ke arah timur gunung. Ini ditandai oleh lahan berwarna merah yang cukup luas di kawasan sebelah timur. Kemungkinan ini merupakan pengaruh angin yang bertiup dari arah barat saat gunung itu memuntahkan lava pijarnya. Sebab, di sebelah barat, selatan, dan utara kawah raksasa dari angka tampak hijau.


Setelah senja, matahari tetap menyinari kerudung sulfur di lapisan stratosfer sehingga langit terlihat memerah, bahkan setelah matahari terbenam. Di musim panas dan gugur tahun 1815, langit senja yang indah itu juga terlihat di England dan menginspirasi pelukis romantik asal Inggris, Joseph Wiliam Turner.


Namun, seperti dicatat oleh Bernice de Jong Boers dalam artikelnya, "Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermaths", letusan Tambora juga jadi pemicu pecahnya epidemik kolera pertama di dunia.


Sebelum erupsi besar tersebut kolera sudah jadi endemik di sekitar daerah ziarah umat Hindu seperti Sungai Gangga di India. Kemudian epidemik kolera pecah di Banglades dan menyebar lebih jauh bersama pasukan Inggris, lalu bergerak ke Afganistan dan Nepal.


Kompas, 13 April 2006 menulis, epidemik kedua pecah di India tahun 1826 dan menyebar ke Moskwa (1830) dan Eropa Barat (1831). Dari sana menyeberang ke Atlantik Ocean dan mencapai New York tahun 1832. Epidemik yang mendunia ini merengut nyawa ribuan jiwa dan mendorong migrasi penduduk secara besar-besaran.


Sebelum tahun 1817 terdapat strain spesifik kolera yang disebut cholera nostras dengan penyebab salmonella paratyphi. Sekalipun mematikan namun jarang menimbulkan epidemik. Jenis ini diduga menjadi endemik di Gangga dan tidak pernah menjadi epidemik dunia. Baru tahun 1817, muncul strain yang lebih ganas dan menyebar menjadi epidemik yang dikenal dengan asiatic cholera yang disebabkan vibrio cholerae.


Semmelink, peneliti yang pernah memublikasikan studi historis kolera di Indonesia dan India tahun 1885, beberapa kali menghubungkan tipe kolera baru itu dengan cuaca abnormal, yakni hujan dan dingin pada tahun 1815 serta kekeringan dahsyat tahun 1816. Kekeringan dahsyat itu mengakibatkan kelaparan. Cuaca yang tidak keruan menyebabkan gagal panen di banyak tempat.


Perubahan struktur tanah, musim yang tidak teratur, dan kelaparan di Banglades tahun 1816 diduga meningkatkan epidemik. Terlebih lagi dengan kondisi bangkai hewan dan jenazah manusia yang tidak terkubur baik. Kondisi alam yang tidak menguntungkan itu juga melemahkan daya tahan tubuh.


Dengan kombinasi beberapa faktor itu kolera jadi mudah menular dan ganas. Erupsi itu secara langsung dan tidak langsung memengaruhi pembentukan bentuk baru kolera yang lebih agresif.


Semua itu memang masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, kedahsyatan bencana akibat letusan Gunung Tambora adalah suatu keniscayaan. (de@r, bersambung)

Kisah Letusan Gunung Tambora (2)

Diawali Pembunuhan Terhadap Said Idrus


HENRI Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sejarah dan Sastra (2004: 335) yang mengutip Bo Sangaji Kai yang ditulisnya bersama dengan Salahuddin (1999: 87) secara rinci mengisahkan muasal letusan Gunung Tambora tersebut. Mengutip naskah 87, Chambert Loir menulis:


Hijrat Nabi salla –alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadilawal (Selasa, 11 April 1815). Tatkala itulah di Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, Kemudian berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang. Kemudian turunlah kersik (pasir kasar, batu kerikil halus) batu dan abu seperti dituang. Lamanya tiga hari dua malam. Maka, heranlah sekalian Hamba-nya akan melihat karunia Rabbi al-alamin yang melakukan faccal li-ma yurid (maksudnya, Allah Taala berbuat sekehendak-Nya). Setelah itu, maka teranglah hari. Rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad.


Selain mengisahkan alamat letusan Gunung Tambora, Chambert-Loir (2004: 336) juga mengisahkan asal mulanya meletus Gunung Tambora. Malapetaka yang dialami Negeri Tambora merupakan bentuk kemurkaan Allah Subhanahu wa Taala. Dalam naskah yang dikutip sesuai naskah aslinya (dalam buku ini naskahnya diubah menjadi lebih populer, pen). Chambert-Loir menulis:


‘’Bermula ada seorang Said Idrus. Asalnya dari Bengkulu. Ia menumpang pada seorang Bugis. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus naik ke darat. Dia masuk dalam negeri besar. Berjalan-jalan pesiar hingga lohor. Ia kemudian masuk masjid untuk salat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun menyuruh usir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, disuruh pukul. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu pun berkata.


‘’Raja kami yang empunya anjing ini’’.


‘’Baik, siapa yang punya anjing, karena ini masjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ papar Said Idrus.


Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada sang Raja dia berkata:


‘’Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam masjid’’.


Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu disuruh panggil. Tuan Said Idrus pun datang ke rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said Idrus. Hidangan berisi daging kambing di hadapan orang baik (orang banyak) dengan Raja Tambora.


Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun bertanya kepada Tuan Said.


‘’Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan haram anjing?’’


‘’Ya, haram’’ sahut Tuan Said Idrus.


‘’Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?’’ kata Raja Tambora lagi.


‘’Bukannya anjing saya makan tadi. Saya makan daging kambing, ‘’ sahut Said Idrus.


Raja Tambora dan Tuan Said Idrus saling berbantah. Raja pun menyuruh orangnya.


‘’Bawa olehmu orang Arab ini, bunuh!’’ titah Sang Raja.


Orang banyak itu pun memegang tangan si Arab. Dia dibawa naik ke Gunung Tambora. Setibanya di Gunung Tambora, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan senjata tajam. Orang banyak itu pun menghela kayu. Ada pula yang mengambil batu. Ada yang melontar. Ada yang memukul Tuan Said. Tuan Said pun kelenger. Kepalanya pecah. Darahnya berhamburan. Orang banyak itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.


Di antara negeri dan gunung, tampak nyala api di gunung, di tempat Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar. Baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Api itu pun mengikut pada orang-orang yang membunuh Said. Mereka berlari semuanya. Hendak masuk ke negeri besar. Api malah lebih dahulu menyala di dalam negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah Subhanahu wa Taala, ke mana pun orang lari, api mengikut. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala.


Dalam beberapa hari, api menyala di gunung, di negeri, di lautan, dan di bumi. Hujan abu membuat kelam dan kabut. Tiada manusia Tambora yang bisa lepas. Beberapa ribu orang mati terbakar. Dalam beberapa hari, api terus menyala. Belum padam di gunung, negeri Tambora pun tenggelam menjadi lautan. Sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di bekas Negeri Tambora itu berada.


Syahdan, bekas negeri-negeri yang satu dengan Tanah Tambora itu pun semuanya kena bala. Yang sebelah barat Negeri Tambora adalah Negeri Sumbawa. Di sebelah timur, Negeri Sanggar, Negeri Pekat, dan Negeri Dompo (Dompu) dan Bima.


Semua negeri itu ada yang terbagi dua dan tiga. Ada yang kelaparan dan juga mati. Manusia yang selamat pergi ke mana-mana, mengikut orang dagang. Yang penting bisa dapat makan. Ada yang menjual dirinya, ditukar dengan padi.


Di Negeri Sumba hingga Pinggalang akibat hujan abu, binatang mati terbakar di abu. Tiga tahun penduduk tidak dapat mengolah sawah. Ada lebih selaksa orang Sumbawa mati. Yang lain meninggalkan negerinya.


Di Negeri Mengkasar (Makassar) dan di Negeri Bugis, saat Negeri Tambora terbakar, sehari semalam gelap oleh hujan abu di seantero negeri itu. Namun, tanah yang kurus di kedua negeri itu menjadi gemuk.


Tak lama setelah musibah melanda Tambora, datang air besar dari tiga ombak besar. Dari selatan datangnya ombak itu, tujuh negeri kecil tenggelam. Perahu dagang yang berlabuh semuanya dibawa ombak naik ke hutan.


Website Sumbawa News yang mengutip Kompas 13 April 2006 menyebutkan, pada malam tanggal 10 April 1815, rentetan bunyi itu kian kerap dan semakin dahsyat. Ledakan ini terdengar hingga ke Cirebon. Dan, terus berlangsung dan memuncak pada tengah hari tanggal 11 April 1815. Siang itu pun menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan itu bumi bergetar seperti mau oleng, angin berkesiuran, dan debu memenuhi angkasa.


Laporan saksi mata yang disampaikan Raja Sanggar, sebuah kerajaan kecil di Pulau Sumbawa yang tak terlalu jauh dari Tambora, berkisah, "Pukul tujuh malam tanggal 10 April, dari Sanggar terlihat jelas tiga kolam api yang keluar dari puncak Tambora. Dalam waktu seketika seluruh gunung tampak seperti sebuah benda api yang cair, yang menyebar ke semua penjuru."


Tak lama berselang, hujan debu bercampur batu yang lebat mulai turun di Sanggar, disusul angin berputar dahsyat dan merobohkan hampir semua rumah. Di wilayah Sanggar yang berdekatan dengan Tambora, imbuh Raja Sanggar, kerusakan lebih parah lagi. Pohon-pohon besar tercerabut bersama akar-akarnya dan terlempar ke udara. Tak ketinggalan, orang, rumah, ternak, dan semuanya terbang ke udara. Laut pun menyerang. Ombaknya yang tinggi, menyapu bersih rumah dan bangunan yang dilewatinya.


"Kira-kira sejam lamanya angin puyuh melanda negeri dan selama itu tidak terdengar ledakan. Baru sesudah angin berhenti, bunyi dentuman sangat riuh tanpa henti hingga malam tanggal 11 (April). Setelah itu ledakan berkurang, tetapi sampai tanggal 15 Juli 1815 masih saja terdengar letupan-letupan...".


Setiap orang berpikir Tambora telah punah. Kenyataannya tidaklah demikian. Pada tanggal 5 April 1815, Goliath setinggi 13.000 ribu kaki (3.960) telah bangun. Ia mengeluarkan serangkaian suara gemuruh yang mengumandangkan kehadirannya, terdengar dalam jarak ribuan kilometer.


Selama lima hari, gunung ini memuntahkan abu dalam jumlah yang mampu meruntuhkan rumah-rumah di Pulau Sumbawa karena bobotnya. Abu ini tebal. Tidak bisa ditembus oleh cahaya matahari. Penduduk di pulau ini bisa dikatakan tidak mampu melihat tangan di hadapan wajah mereka.


Pada tanggal 10 April, letusannya memuncak dengan gumpalan api yang sangat besar. Ia membelit satu sama lain dan terjalin di atas gunung yang berpijar. Kejadian tersebut diikuti oleh angin topan, yang mungkin serupa dengan fenomena meteorologis badai api -– topan api yang terbentuk dari kebakaran hutan yang sangat besar.


Bagaikan sebuah mesin penyedot, kekacauan ini telah menyapu manusia, hewan, dan rumah, terbang ke udara. Makhluk hidup terpotong-potong dan terbakar. Benda-benda mati hancur dan tercabik-cabik menjadi potongan-potongan yang tak terhitung banyaknya.


Kekuatan letusan Tambora melebihi kemampuan gunung dan pulau di mana gunung ini berdiri. Saat gunung tersebut melepaskan berton-ton batu karang, lava, dan abu, gunung itu mutlak menyusut. Tinggi yang semula 13.000 kaki (3.960 m) menyusut menjadi 9.000 kaki (2.740 m).


Ironisnya, permukaan pulau mulai naik, saat abu bertumpuk beberapa sentimeter. Abu yang memiliki kedalaman lebih dari tiga kaki (sekitar 90 cm), juga mengisap air di sekitar Sumbawa – dan menuntaskan karya pemusnahan Tambora terhadap manusia yang berada di dalam jangkauannya.


Abu telah membunuh semua sayuran dan wabah kelaparan yang segera menyusul, digabungkan dengan epidemi kolera, telah menambah jumlah 80.000 kematian. Sebanyak 12.000 orang di antaranya menemui ajalnya seketika selama letusan. (de@r, bersambung)

Kisah Letusan Gunung Tambora (1)



Bencana Terbesar Sepanjang Masa


Gunung Tambora terdapat di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815, termasuk salah satu dari 100 bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Sekitar 150.000 jiwa menemui ajalnya. Bencana tersebut, membuat gunung setinggi 3.960 m itu menyusut 1.220 m. Dampak letusannya membuat embun beku musim panas dan kelaparan di berbagai belahan bumi. Di Swiss, orang yang kelaparan terpaksa menyantap anjing dan kucing yang sesat. Di New York, penduduk terpaksa mencabut tanaman kentang yang baru saja mereka tanam. Biang musibah, konon, seorang tamu orang Bugis yang dihakimi hingga tewas. Berikut catatan komprehensif mengenai musibah dan gunung itu.


TANGGAL 8 November 1971 malam. Lambo – perahu tradisional Bugis-Makassar – menjelang tengah malam angkat sauh meninggalkan Pelabuhan Bima. Saya pulas, karena kecapean seharian mengurus keberangkatan ke Makassar . Saya tak lagi melihat tetesan airmata ibu yang sedang mengandung adik saya yang bungsu dan duduk di depan gedung pelabuhan satu-satunya.


Tatkala mata saya terbuka beberapa jam kemudian, di kemudi sebelah kiri perahu tampak air laut berwarna perak. Ini agaknya isyarat perahu Masyalihul Ahyar yang saya tumpangi mulai membelah laut – yang kemudian ternyata menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam – ke tujuan, Makassar. Dermaga kian jauh ditelan gelapnya malam.


’’Tak ada lagi yang dapat saya lihat. Kedua orang tua mungkin sudah kembali ke rumah,’’ hati saya berbisik sebelum memutuskan melanjutkan tidur di emperan lambo dengan tujuh layar tersebut.


Pagi hari, 9 November, saya terbangun. Mata saya ’terhadang’ semua pemandangan yang asing. Daratan dan laut semua menjadi pemandangan yang tak pernah saya kenali. Tidak lama, laut mati. Mirip cermin. Lambo terombang-ambing digiring arus yang tanpa gelombang.


’’Ini musim pancaroba. Angin datang dari segala penjuru tanpa terduga,’’ kata salah seorang awak perahu yang bertubuh subur.


Menjelang siang, angin timur bertiup. Mendorong lambo menyisir pantai utara Pulau Sumbawa hingga sore hari. Makin sore, gelombang dan angin kian kencang. Awak perahu serentak memanjati tiang layar. Mengubah arah layar. Angin barat bertiup. Mata saya terantuk pada sebuah gunung hitam. Tinggi, meski cukup jauh. Pada seorang awak perahu, saya beranikan bertanya. Dia menjawab pendek.


’’Itu Gunung Tambora,’’ jawabnya.


Waktu SMP, saya hafal betul nama gunung itu. Apalagi, gunung itu berada di daerah kabupaten saya sendiri. Pada pelajaran Ilmu Bumi (kini Geografi), para murid diharuskan menghafal seluruh nama gunung berapi, ibu kota provinsi, nama lapangan terbang, dan tempat-tempat penting lainnya di Indonesia dan dunia.


‘’Oh, inilah Tambora, gunung yang saya pelajari di buku itu. Juga, pernah meletus dengan memakan banyak korban jiwa itu,’’ hati saya bergumam.


Setelah puluhan tahun dari pelayaran yang bersejarah itu, dari berbagai referensi dan bahan bacaan, banyak informasi yang saya peroleh mengenai gunung itu. Letusan Tambora, yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Tambora (dulu Kecamatan Sanggar) Kabupaten Bima itu termasuk salah satu dari 100 bencana terbesar sepanjang masa.


Bayangkan saja, letusan yang terjadi 11 April 1815 tersebut terasa hingga Musim Semi dua tahun kemudian, 1817. Bencana itu menyebabkan sekitar 150.000 orang menemui ajalnya. Kerugian miliaran rupiah berupa padi yang rusak dan kehancuran lainnya.


Berdasarkan ilmu pengetahuan, ini gempa bumi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat menyebutkan, musibah tersebut merupakan kemarahan Al Khalik atas perilaku rakyat Tambora.


Aneh benar, dari puncak gunung setinggi 3.960 m itu muncul tiga gumpalan api yang terpisah memuncak hingga tinggi sekali. Seluruh puncak gunung tampak segera diselimuti lava berpijar. Sebarannya meluas hingga ke jarak yang sangat jauh. Di antaranya, sebesar kepala, jatuh dalam cakupan diameter beberapa kilometer. Pecahan-pecahan yang tersebar di udara telah telah mengakibatkan kegelapan total.


Abu yang dikeluarkan begitu banyak, mengakibatan kegelapan total di Jawa yang jaraknya 310 mil (500 km). Abu ini mengakibatkan kegelapan total saat tengah hari. Menutupi tanah dan asap dengan lapisan setebal beberapa sentimeter, begitu Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Jawa, dikutip Stephen J.Spignesi dalam bukunya yang diterjemahkan Bonifasius Sindyarta, S.Psi, berjudul 100 Bencana Terbesar Sepanjang Masa. (de@r, bersambung)

Catatan Perjalanan ke Israel (2)

Tembok Ratapan


KETIKA ke Yerussalem, rombongan Yenny juga mendatangi lokasi yang selama ini dikenal sebagai Tembok Ratapan. Tembok luar di sebelah barat Bait Suci Yahudi ini sekarang menjadi tempat paling suci bagi umat Yahudi dunia.


Menurut tradisi para rabbi, tempat ini dalam arti tertentu berperan sebagai pengganti Bait Suci. Di sinilah orang-orang Yahudi berkumpul untuk berdoa sejak zaman dahulu semenjak Bait Allah II dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70.


Di depan tembok itu, banyak orang berdoa sambil menangis. Tetapi, Yenny tidak tahu menangis untuk apa? Banyak orang Yahudi yang melakukan itu. Apakah tembok itu sudah banyak menyelamatkan mereka.


Memasuki tembok ini, pengunjung dibagi berdasarkan gender. Yang laki-laki sendiri dan perempuan di tempat tersendiri. Mereka harus berada di tempat yang terpisah. Di kawasan Bait Suci, juga ada Masjidil Aqsa


Menurut catatan dari situs yang ada, Tembok Ratapan ini sebenarnya adalah tembok bagian barat Bait Allah Kedua yang dibangun oleh Raja Herodes Agung pada tahun 20 sebelum Kristus, yang dalam bahasa Ibrani disebut “HaKotel Ha’Ma’aravi”, artinya tembok sebelah barat.


Blok-blok batu berukuran besar sekali dari zaman Herodes Agung I terletak satu di atas yang lain tanpa perbaikan selama kurang lebih dua ribu tahun. Setelah Bait Allah dihancurkan oleh Jendral Titus pada tahun 70 masehi sesuai dengan nubuat Yesus yang digenapi (Luk 19:41), orang Yahudi sebenarnya sudah tidak mempunyai tempat suci untuk beribadah lagi.


Dan juga diingat bahwa pada tahun 123 masehi hampir sebagian besar orang Yahudi tidak diperkenankan lagi berada di daerah ini, mereka diusir keluar dari tanah ini (mengingatkan kita akan berdirinya kota pagan Aelia Capitolina di atas Yerusalem dan juga Diaspora bangsa Yahudi ke seluruh dunia).


Hanya sekelompok kecil orang Yahudi yang masih ada di daerah ini mencari sisa peninggalan dari Bait Allah dan mereka menemukan sisa tembok luar sebelah barat dari Bait Allah. Barulah mulai timbul kebiasaan untuk datang berdoa di bagian tembok ini yang telah berjalan hampir dua puluh abad lamanya sampai tahun 1948.


Selama Yerusalem berada di bawah kuasa Yordania (1948-1967), orang-orang Yahudi tidak dapat berdoa di tempat ini. Tetapi setelah Yerusalem dipersatukan kembali, orang-orang Yahudi merubuhkan semua gubug di sekitar tembok ini, lalu membuka sebuah lapangan raya di sekelilingnya, sehingga sekarang mereka dapat berdoa dan berkumpul di sini dengan leluasa.


Tembok Ratapan merupakan suatu atraksi tersendiri, sehingga selalu dikunjungi banyak turis. Pada setiap jam, siang dan malam, tanpa peduli akan musim, di dekat tembok ini dapat dijumpai orang-orang Yahudi yang berdoa dan kadang-kadang memasukkan gulungan-gulungan kertas kecil ke dalam celah-celah batu. Pada gulungan kertas itu dicatat wujud doa.


Tembok ini disebut Tembok Ratapan, sebab pada tembok inilah orang-orang Yahudi sampai sekarang berdoa dan meratapi kehancuran Bait Suci sambil berharap bahwa suatu saat jika Tuhan memang berkenan, Bait Suci tersebut akan dibangun kembali, dan juga meratapi akan tersebarnya sebagian besar bangsa Yahudi di seluruh dunia.


Kisah tembok ini, kata pemandu, bermula karena Israel banyak bentengnya. Negara itu pernah beberapa kali mengalami peperangan dan hancur, kemudian dibangun kembali. Tetapi ada bagian tembok yang luput dari penghancuran. Tembok yang lainnya hancur. Bagian tembok inilah yang jadi akses jalan ke Bait (Rumah) Suci. Di situ terdapat delapan pintu.


Masjidil Aqsa itu, asal mulanya adalah tempat penukaran uang. Berkaitan dengan Masjidil Aqsa ini, terdapat kebenaran prediksi Quran pada surat Ar-Rum menjadi kenyataan, ketika kerajaan Byzantium Roma Timur setelah kalah akan menang kembali.


Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).


Ayat ini turun sekitar tahun 620 M, hampir 7 tahun setelah Kerajaan Persia mengalahkan Byzantium tahun 613-614. Kekalahan ini mengakibatkan Byzantium mengalami kerugian yang sangat besar sehingga saat itu tampaknya tidak mungkin akan bangkit.


Dengan kekalahannya di Antioch tahun 613, Persia mengambil alih kekuasan di Damaskus, Sisilia, Tarsus, Armenia, dan Yerusalem. Kehilangan Yerusalem tahun 614 sangat berbekas bagi rakyat Byzantium karena tempat sucinya dikuasai oleh Persia. Selain itu bangsa Avars, slav, dan Lombards menjadi ancaman bagi kerajaan Byzantium.


Bangsa Avar telah mencapai dinding Contantinopel. Melihat hal itu, Raja Heraclius memerintahkan emas dan perak dikumpulkan dalam gereja dan dilebur menjadi uang untuk membiayai perang. Ini saja belum cukup lalu mereka menggunakan perunggu untuk membuat uang.


Banyak gubernur membangkang terhadap perintah Heraclius, sehingga saat itu Byzantium di ujung tanduk kehancuran. Mesopatamia, Cicilia, Syria, Palestina, mesir, dan Armenia, yang sebelumnya dikuasai oleh Byzantium, telah jatuh ke Persia.


Singkat cerita, semua orang meramalkan bahwa Byzantium pasti akan hancur. Akan tetapi ayat Quran yang turun kemudian meramalkan bahwa Byzantium akan kembali menang/berjaya dalam kurun 3 sampai 9 tahun. Menurut orang Arab jahiliyah saat itu, prediksi itu sangat mustahil.


Seperti prediksi-prediksi Quran lainnya, kemenangan Byzantium menjadi kenyataan . Dalam tahun 622 M, Heraclius mendapat sejumlah kemenangan dan menguasai Armenia. Pada bulan Desember 627 M, kedua pasukan bertempur di dekat Nineveh, sekitar 50 km sebelah timur sungai Tigris, di Bagdad. Pertempuran ini lagi-lagi dimenangkan oleh pasukan Byzantium. Beberapa bulan kemudian Persia terpaksa menandatangani kesepakatan dengan Byzantium untuk mengembalikan daerah-daerah yang diambilnya.


Suatu informasi yang terungkap dengan turunnya surat ar-Rum itu adalah soal daerah yang saat itu tidak diketahui oleh seorang manusia pun: mereka akan dikalahkan di daerah terendah di muka bumi. Bahasa Arabnya adalah adna al-ard, banyak yang menterjemahkan sebagai daerah terdekat. Ini bukanlah makna tulisan, melainkan sebuah tafsiran.


Kata adna diturunkan dari kata dani (rendah), yang artinya daerah rendah. Sehingga adna al-ard berarti tempat terendah di muka bumi, yaitu di daerah Laut Mati. Maha Suci Allah.. daerah terendah itu baru diketahui setelah ditemukannya alat-alat pengukur di jaman modern ini.


Di antara delapan pintu ada satu pintu yang disebut Golden Gate (Pintu Emas). Pintu emas ini diyakini, baik Islam, Yahudi maupun Kristen, begitu Isa Almasih datang, pintu Golden Gate itu akan terbuka. Saat pintu itu terbuka, semua orang mati akan dibangkitkan.


Di depan Golden Gate terdapat kuburan Islam. Jadi, semua orang Islam yang meninggal dimakamkan di kuburan itu.


Yenny mendapat informasi dua versi. Pertama, semua orang mati akan sama-sama dibangkitkan. Saat dibangkitkan kelak, mereka akan berebutan masuk ke pintu emas. Versi kedua mengatakan, orang Islam sengaja menghalangi (dengan membangun kubur di dekat situ) orang Kristen agar tidak masuk melalui pintu emas tersebut.


Orang Yahudi malah beranggapan bahwa Tuhan tidak akan datang ke dekat pintu emas itu, tetapi di tempat lain. Nanti dari situlah baru sama-sama menuju pintu emas.


Laut Mati

Pengalaman Yenny yang juga menarik adalah ketika ke Laut Mati. Airnya asin. Dasarnya, bukan pasir, tetapi garam. Bahkan rombongan wanita kelahiran Makassar ini sempat berenang.


Begitu masuk ke air, tubuh akan terangkat ke atas. Kadar garamnya sangat tinggi. Dan, tidak bisa kena mata. Kalau terkena, akan teriritasi. Jadi mereka yang masuk ke laut ini, harus menggunakan kacamata air.


Di laut yang juga dalam itu, tidak ada ikan yang hidup. Lokasi Laut Mati ini kira-kira satu jam perjalanan darat dengan mobil dari Tel Aviv.


Menurut catatan dari berbagai dunia maya, Laut Mati ialah danau yang membujur di daerah antara Israel, Daerah Otoritas Palestina dan Yordania. Berada pada 417,5 m di bawah permukaan laut, merupakan titik terendah di permukaan bumi.


Laut Mati amat asin, yang membuatnya tak mungkin bagi makhluk hidup untuk hidup. Inilah alasan namanya. Bagaimana pun, ini tak benar-benar mati, karena beberapa jenis bakteri bisa hidup di sini.


Karena airnya begitu asin, orang bisa mengapung dengan mudah di Laut Mati tanpa kesulitan. Wisatawan datang dari seluruh dunia untuk mengapung di sini. Orang bisa membaca sambil tiduran karena berat jenis Laut Mati lebih besar dibanding berat jenis (BJ) manusia.


Kalau ke Israel, orang banyak membeli minyak zaitun. Katanya, cocok untuk konsumsi orang yang mengalami kolesterol tinggi. (de@r, habis)