27 September 2008

Catatan Perjalanan Menembus Jantung Sulawesi


Bermalam di Kampung Ular

SELAMA setengah bulan kami berada di Seko, berinteraksi dengan masyarakat setempat dan merekam aktivitas mereka। Kini, tiba saatnya melanjutkan perjalanan ke Rampi.

Dulu, orang Rampi kalau hendak ke kota (Sabbang) harus ke Seko dulu. Demikian pula jika dari kota hendak ke Rampi, harus melalui Seko. Sekarang, setelah ada jalan pintas yang lebih dekat, lewat Masamba, tak perlu lagi ke Seko dulu.

Karena tidak pernah dilewati lagi, maka jalanan ke Rampi – dulu juga bisa dengan ojek - kini sudah tidak ada lagi, karena sudah tertutup rumput yang tumbuh subur। Kembali jadi hutan. Jadi, perjalanan ke Rampi harus jalan kaki. Padahal, Seko-Rampi sama jauhnya dengan Sabbang-Seko.

Sebenarnya, kami sudah tidak bergairah melanjutkan perjalanan ke Rampi. Soalnya, naik ojek saja dari Sabbang ke Seko, capeknya luar biasa. Apalagi harus jalan kaki ke Rampi. Tapi karena tugas, mau tak mau harus berangkat. Lagi pula, tiga orang warga setempat yang kami sewa sebagai pemandu jalan, membesarkan hati kami dengan menyebutkan jalanannya tidak terlalu susah dan bisa cepat sampai di sana.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami berangkat ke Rampi। Tepatnya pada 9 Agustus 2006, sekitar pukul 10.00 Wita.Tidak ada lagi bekas-bekas jalan yang dulu sering dilalui orang, sehingga kami harus membuat jalan sendiri.

Dari 3 orang pemandu yang kami sewa – masing-masing Rp 300 ribu -, seorang di antaranya masih anak-anak, tapi dia kuat. Masyarakat setempat yang memberi rekomendasi tentang ke tiga pemandu tersebut. Katanya, mereka sering ke Rampi karena punya keluarga di sana. Bagi mereka, hutan sudah seperti rumahnya sendiri.

Sekitar pukul 5 sore, keadaan di dalam hutan sudah gelap। Kami memilih tempat yang agak lapang untuk mendirikan tenda dan beristirahat, tapi pemandu menyarankan agar jalan terus. Kedua rekan saya dari Telapak Bogor sudah kelelahan dan tidak mampu jalan lagi. Keduanya memaksa bermalam di situ. Akhirnya pemandu mengalah.

Ketika kami sedang menikmati teh dan kopi, sekitar pukul 7 malam, terdengar suara mendesis dan ranting patah. Saya pikir itu hal biasa karena di hutan. Di situ memang banyak pohon bambu. Di semak-semak juga ada yang bergerak. Saya pikir tupai atau binatang lain.

‘’Sepertinya banyak ular di sini,’’ cetus salah seorang di antara kami, tiba-tiba, setelah saling pandang karena bercampur aduk rasa takut dan penasaran।

‘’Ah, tidak ada, siapa bilang …,’’ kata pemandu.

‘’Terus, suara-suara apa itu yang terdengar,’’ tanya saya।

‘’Namanya juga hutan, biasalah kalau ada ular atau binatang lainnya,’’ jawab pemandu, enteng.

Tiba-tiba terdengar suara ranting yang agak besar patah dan jatuh di sekitar kami। Kami pun kaget dibuatnya dan saling berpandangan kembali. Sejurus kemudian, teman dari Telapak mengambil senter canggihnya dan mencoba mencari tahu apa gerangan yang jatuh tadi, namun tidak ada satu pun binatang yang kelihatan tersorot senter.

‘’Ada ular di sekitar sini, jangan sampai nanti masuk ke dalam tenda,’’ kata teman dari Telapak, mulai gelisah.

‘’Ah tidak apa-apa ji, tenang saja,’’ hibur pemandu।

‘’Kalau begitu, saya mau tidur,’’ kata teman dari Telapak.

Kedua teman dari Telapak kemudian mengeluarkan sleeping bag, perlengkapan standar untuk tidur di alam terbuka। Tak lama berselang, keduanya sudah terbungkus peralatan tersebut dan kelihatan seperti kepompong.

‘’An, kamu punya yang beginian?’’ tanya salah seorang teman dari Telapak sambil menunjukkan perlengkapan tidurnya.

‘’Tidak punya,’’ jawab saya।

‘’Masa’ sih orang JURnaL tidak punya yang beginian. Kamu Mapala dari mana, An?’’

‘’Saya bukan Mapala।’’

‘’Ah, jangan bercanda, An.’’

‘’Betul, saya bukan orang Mapala।’’

‘’Ah, tidak mungkin diutus ke sini kalau bukan orang Mapala.’’

‘’Kalau tidak percaya, nanti kamu tanya sendiri sama orang JURnaL kalau sudah sampai di Makassar।’’

‘’Trus, untuk apa itu karung?’’

‘’Tidak tahu, Pak Unsar yang suruh beli। Bikin berat-berat saja.’’

‘’Eii … ada gunanya itu. Kau lihat sebentar,’’ kata Pak Unsar.

Setelah pembicaraan terhenti cukup lama, Pak Unsar kembali teringat masalah ular।

‘’Sepertinya banyak sekali ular di sini, Pak,’’ kata Pak Unsar pada pemandu sembari menghangatkan badan di depan perapian.

‘’Di sini sebenarnya memang daerah ular। Ini namanya kampung ular,’’ aku pemandu.

Mendengar jawaban tersebut, Pak Unsar kaget. Terlebih-lebih saya.

‘’Wah, bahaya kalau begitu,’’ kata Pak Unsar।

‘’Betul, Pak?!’’ tanyaku, meminta ketegasan.

‘’Betul!’’

Saat menegaskan hal itu, raut muka sang pemandu tidak terlihat berbohong atau main-main। Itu berarti ia menyampaikan yang sebenarnya, apa adanya. Seketika saya berdiri dan langsung meloncat ke tengah-tengah dua teman dari Telapak. Saya pikir, saya dalam posisi relatif aman jika berada di tengah-tengah, diapit dua teman dari Telapak yang sekujur tubuhnya sudah terbungkus seperti kepompong.

‘’Eii …. minggir, jangan di sini, An. Saya juga takut,’’ protes teman dari Telapak, yang ternyata belum tidur dan menguping pembicaraan kami.

‘’Ah, tidak apa-apa। Saya jamin, tidak ada yang mengganggu. Tidak ada ular atau apa pun yang berani masuk,’’ kata pemandu.

Sang pemandu kemudian menceritakan pengalamannya. Ternyata, dia dan seorang temannya dulu juga pernah bermalam di situ. Ketika sedang mengambil air di sebuah tempat seperti kolam, tiba-tiba muncul ular raksasa sebesar pohon kelapa dari kolam tersebut.

Singkat cerita, terjadi pertarungan dengan ular raksasa tersebut। Awalnya, tebasan parang sang pemandu tak mampu melukai ular. Tapi setelah dibacakan doa, parangnya berhasil melukai bahkan membunuh ular tersebut.

‘’Makanya tadi saya sarankan agar jalan terus, tapi kalian tetap ngotot bermalam di sini,’’ jelas sang pemandu.

Karena ada jaminan keamanan dari pemandu, kami merasa agak tenang।

‘’Sana … kembali ke tempatmu semula,’’ lagi-lagi teman dari Telapak protes saya.

Saya kemudian beranjak mendekati Pak Unsar di depan perapian। Sementara, pemandu mengumpulkan bara arang dalam jumlah cukup banyak, lalu menaburkan bara tersebut mengelilingi tenda. Menurut pemandu, bara arang tersebut untuk melindungi kami. Katanya, ular tidak berani masuk karena sudah mencium bara arangnya.

‘’Tapi di sini kan angker, Pak, karena banyak bambu. Jadi, bagaimana kalau ada roh halus yang lewat atas?’’ tanya saya.

‘’Makhluk halus juga tidak berani masuk ke sini, karena bara ini dari atas akan terlihat seperti lingkaran api yang besar,’’ terangnya।

‘’Makanya tidak usah khawatir, saya jamin malam ini,’’ tegas pemandu.

Setelah merasa tenang karena kembali mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, Pak Unsar kemudian menyuruh saya mengambil karung। Saya masih belum tahu apa fungsinya karung tersebut. Saya hanya menduga-duga mungkin untuk alas tidur.

Setelah menyerahkan karung ukuran besar yang biasanya digunakan sebagai tempat beras, seketika saya terperanjat kaget karena Pak Unsar langsung masuk ke dalam karung tersebut dan bersiap-siap tidur. Rupanya, karung difungsikan sebagai pembungkus badan dari hawa dingin.

‘’Baru kau tahu tho, An। Inilah fungsinya karung,’’ kata Pak Unsar.

Karena sudah mengantuk, saya juga menyiapkan diri untuk ke peraduan. Setelah memperbaiki api unggun, saya kemudian mengenakan jaket tebal dan kaos kaki rangkap dua. Masih terasa dingin. Saya pun ikut-ikutan memanfaatkan dua karung yang tersisa untuk membungkus badan. Ternyata manfaatnya memang besar sekali. Tapi karena masih kepikiran soal ular, meskipun sudah dijamin aman oleh pemandu, menjelang pagi saya baru bisa tertidur.

Saat dua teman dari Telapak bangun dan melihat saya masih tidur terbungkus karung, keduanya tak bisa menahan tawa dan keheranannya।

‘’Betul-betul kau nekat sekali, An. Saya kira kau anak Mapala, ternyata …,’’ komentarnya setelah saya terbangun.

Gelak tawa semakin menggema setelah Pak Unsar melaporkan musibah yang dialaminya।

‘’Kakiku terbakar api unggun, An,’’ ungkap Pak Unsar.

Setelah ngopi dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan। Selain menghadapi medan yang ganas, kami juga harus tahan menghadapi serbuan lintah. Sekitar pukul 5 sore, teman dari Telapak menyerah karena sudah tidak mampu lagi berjalan. Tapi pemandu minta agar jalan terus karena sudah dekat dengan rumah-rumahan tempat untuk istirahat. Akhirnya dipaksakan jalan lagi.

Harus diakui, fisik pemandu kami memang luar biasa. Dan, tanpa disadari, saya dan teman-teman tertinggal jauh. Semuanya terkapar kelelahan. Masalahnya, kami tidak bisa mendirikan tenda di situ karena perlengkapan tersebut dibawa pemandu.

Kami berteriak-teriak di tengah hutan memanggil pemandu, namun tidak ada hasilnya। Akhirnya, kami saling menyalahkan kenapa menyerahkan tenda dan bekal makanan kepada pemandu. Seorang teman dari Telapak tampak stres. Ia terus-terusan mengomel.

Mungkin setelah jalan cukup jauh, pemandu baru menyadari kami tidak bersama rombongannya. Makanya, pemandu kemudian kembali menyusuri jalan yang dilewatinya. Saat itu sudah gelap. Kami pun sudah pasrah jika memang harus tersesat di hutan.

Tiba-tiba terdengar teriakan pemandu memanggil-manggil nama kami। Mendengar itu, tanpa dikomando pun kami secara bersamaan membalas teriakan tersebut sehingga terdengar saling sahut menyahut, sampai akhirnya ditemukan posisi kami dan melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, teman dari Telapak tak habis-habisnya mengomel karena lokasi yang dimaksud pemandu ternyata masih jauh.

Sekitar pukul 9 malam, kami menemukan pondok (rumah-rumahan) yang dibangun penduduk yang membuka hutan untuk berkebun. Saat itu kami sudah kehabisan beras, tapi persediaan mie instan masih cukup banyak. Terpaksa kami membongkar gudang persediaan makanan pemilik kebun. Ternyata masih ada berasnya.

Kami sebenarnya takut mencuri karena ancaman dendanya cukup berat, yaitu seekor kerbau। Tapi pemandu menyatakan siap bertanggung jawab. Katanya, besuk pagi kalau sudah sampai di perkampungan, langsung melapor kepada kepala sukunya, apa-apa yang diambil dan siap memberikan ganti rugi, daripada mati kelaparan. Selain beras, kami juga menemukan ubi, lombok dan tomat.

Keesokan paginya, kami melanjutkan perjalanan. Begitu tiba di Kampung Teleboe, pemandu langsung mencari rumah kepala suku dan melaporkan aksi penjarahan yang kami lakukan semalam.

Setelah mendengar cerita pemandu kami, kepala suku memanggil pemilik pondok। Ternyata pemilik pondok hanya minta ganti rugi sebesar Rp 20.000. Mereka memuji kami karena dinilai punya nyali dan bertanggung jawab.

Perjalanan dari Seko sampai di Kampung Teleboe ini kami tempuh selama 2 hari 2 malam. Kami tiba di kampung tersebut pada 11 Agustus 2006, dan bermalam selama 1 hari.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Bangko’। Di sana terdapat situs budaya dan tanah Rampi. Yakni tempat paling tua di Rampi dan masyarakatnya asli Rampi.

Pada 13 Agustus, kami ke Kampung Dedolo. Di sana terdapat situs budaya berupa patung manusia yang terbuat dari batu. Setelah mengabadikan patung tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Onondoa. Selain mewawancarai masyarakat dan tokoh adat setempat, kami juga merekam tentang cara pengambilan kayu manis. Kami menginap di kampung ini selama 2 hari.

Pada 15 Agustus, tugas kami di Rampi telah rampung, dan tiba saatnya untuk kembali ke Makassar। Kebetulan ada jadwal penerbangan dari Masamba ke Rampi PP. Kabar tersebut sangat menggembirakan kami, karena kami sudah tidak mampu lagi melakukan perjalanan pulang dengan berjalan kaki atau naik ojek.

Masalahnya, masyarakat setempat sudah mem-booking pesawat kecil berpenumpang 8 orang tersebut jauh-jauh hari. Hal ini memaksa kami berpikir keras mencari jalan keluarnya, karena kami sudah trauma jika harus pulang dengan berjalan kaki atau naik ojek.

Akhirnya, tokoh masyarakat setempat yang kami temui dan mintai bantuan, memberikan jalan keluarnya। Kami semua disuruh pura-pura sakit. Karena, katanya, orang sakit mendapat prioritas utama.

Begitulah, kami semua berpura-pura sakit supaya bisa pulang naik pesawat. Dua orang rekan kami yang mewakili Telapak Bogor, tak bisa menutupi kegirangannya. Keduanya berteriak-teriak histeris seperti orang gila, seakan tak percaya bisa keluar dari hutan dalam keadaan hidup.

‘’Saya kapok, An। Biar diiming-imingi uang jutaan, saya tidak mau ke sini lagi,’’ ucapnya setelah mendarat di Masamba. (Aan Kaharuddin, Tamat)


Data Penulis
Nama : Aan Kaharuddin
TTL : Sidrap, 11 Mei 1982
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Banta-bantaeng No. 44 Makassar

Pekerjaan
1. Kameramen JURnaL Celebes (2002-2007)
2. Editing Film Sulawesi Channel (2007-sekarang)

Pengalaman
Investigasi ilegal logging di Luwu, Tator dan Mamuju.


Mengagumi alam ciptaan Sang Maha Kuasa atau mau bunuh diri nih ..... 


Heran ... di tempat beginian koq masih inget utang ya .....


Perasaan tadi di sini uang koin-ku jatuh ....


Gunung kudaki, sungai kuseberangi


Dibutuhkan nyali dan keterampilan untuk melewati jembatan darurat ini

Catatan Perjalanan Menembus Jantung Sulawesi




Terhimpit Motor, Nyaris Diterjang Kerbau Liar


BILA membayangkan medannya yang sangat ganas, mungkin saya perlu berpikir dan menimbang berulang-ulang kali jika suatu hari nanti ditawari atau ditugaskan lagi untuk meliput ke Seko-Rampi। Tapi karena panorama alamnya sangat menakjubkan, rasanya saya masih ingin ke sana lagi। Saya masih tertarik ke sana. Lagian, kondisi jalannya saat ini mungkin sudah relatif lebih bagus dan mudah dilewati.


Perjalanan ke Seko-Rampi memang sangat mengesankan, dan sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Karena padang rumput yang luas seperti sering kita lihat di film-film India, dan suasana seram seperti di film-film horor, ternyata memang ada di alam nyata, tidak mengada-ada.


Seko-Rampi adalah dua komunitas adat yang mendiami dataran tinggi Tokalekaju, salah satu dataran tinggi yang melintas di beberapa provinsi, di antaranya Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.


Secara administrasi pemerintahan, dua kecamatan - Seko (terdiri atas 12 desa) dan Rampi (terdiri atas 6 desa) – di jantung Sulawesi itu berada dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, salah satu kabupaten pemekaran dari kabupaten induk Luwu di Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis, wilayah adat Seko berbatasan dengan Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah) di sebelah utara, Tana Toraja di sebelah selatan, Mamuju (Sulawesi Barat) di sebelah barat, dan Kecamatan Sabbang di sebelah timur.


Sedangkan wilayah adat Rampi secara geografis berbatasan dengan Bada, Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah) di sebelah utara, Kecamatan Masamba di sebelah selatan, Kecamatan Seko di sebelah barat, dan Kecamatan Mangkutana di sebelah timur.


Perjalanan ke Seko dapat dicapai dengan jalur darat dan jalur udara. Jalur darat dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menyewa ojek. Lama waktu tempuh dengan ojek sekitar 6-8 jam perjalanan, sedangkan kalau berjalan kaki bisa menghabiskan waktu 3-5 hari perjalanan.
Jalur darat terdiri atas jalur Mangkaluku dan jalur Mabusa. Jalur Mabusa jaraknya lebih pendek, hanya sekitar 67 kilometer, namun medannya sangat terjal dan berbatu serta harus melewati beberapa sungai besar dan titian kayu.


Sedangkan jalur Mangkaluku jaraknya lebih panjang, sekitar 130 kilometer, tapi medannya tidak terlalu sulit, kecuali pada musim hujan agak sulit dilewati karena tanahnya berlumpur. Jalur Mangkaluku disebut juga jalur KTT karena merupakan jalan yang dibangun oleh perusahaan Kendari Tunggal Timber (KTT).


Selain itu, perjalanan ke Seko juga bisa menggunakan transportasi udara, dengan pesawat terbang carter yang memuat 8 orang penumpang dan terjadwal dua kali seminggu, setiap hari Selasa dan Kamis. Tapi harus menunggu berhari-hari, bahkan ada dalam hitungan bulan, untuk mendapatkan giliran terbang.


Pada hari Selasa, 25 Juli 2006, kami berempat – Aan Kaharuddin (JURnaL Celebes), Pak Unsar (Yayasan Bumi Sawerigading, Palopo), serta Een dan Yudi (Telapak, Bogor) memulai petualangan. Kami start dari Kecamatan Sabbang sekitar pukul 10.00 Wita, dengan menyewa ojek Rp 300 ribu/ojek sekali jalan.


Tidak semua tukang ojek berani melakukan perjalanan ke Seko. Karena selain masuk dan ke luar hutan, juga harus melewati berbagai rintangan seperti jurang di kiri-kanan jalan, serta melewati jalanan yang sangat tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan roda dua.


Mengingat medannya yang sulit ditaklukkan, setiap tukang ojek wajib membawa semua perlengkapan vital seperti bensin, pompa, ban, kunci, tali tambang, parang, dan lain-lain, termasuk makanan, untuk berjaga-jaga jika motor rewel atau ada masalah di jalan, misalnya pohon tumbang merintangi jalanan. Karena itu, tukang ojek di sana terkesan seperti bengkel berjalan.


Bagi saya, perjalanan ke Seko-Rampi ini yang ke tiga kalinya. Pertama, dari Sabbang ke Seko, dan yang kedua dari Masamba ke Rampi. Kedua perjalanan tersebut menggunakan jasa ojek. Sedangkan yang ke tiga ini, dari Sabbang ke Seko, kemudian lanjut ke Rampi.


Ketika kami melewati jalan setapak yang hanya bisa dilalui manusia dan binatang, di mana sisi kanan merupakan jurang dan sisi kiri berupa lereng, saya nyaris diterjang kerbau liar. Saat itu, di kejauhan kami melihat ada kerbau berlari kencang ke arah kami karena diburu kerbau lainnya, mungkin kerbau jantan yang lagi birahi.


Saat jarak dengan kerbau sudah semakin dekat, tukang ojek tiba-tiba meminggirkan motornya dan langsung menjatuhkan ke sisi kiri yang merupakan lereng, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Karena takutnya pada kerbau liar tersebut, tukang ojek bergegas merangkak naik untuk mencapai tempat yang agak tinggi, meninggalkan saya yang tertimpa motor.


Karena saya juga merasa terancam bahaya, kekuatan saya rasanya bertambah berlipat-lipat untuk bisa membebaskan diri dari himpitan motor dan menyelamatkan diri dengan menaiki lereng. Setelah keadaan aman, saya baru menyadari bahwa kaki kanan saya terluka terkena knalpot, dan baru saya rasakan sakitnya.


Selama perjalanan, kami terpaksa harus bergantian mendorong, bahkan mengangkat motor, agar bisa jalan. Sebab, sepanjang jalan yang kami lalui dipenuhi karang gunung yang lumayan terjal, di samping tanah merah, pasir, dan lumpur serta menyeberangi 4-5 sungai.


Kondisi tersebut memaksa kami harus beristirahat beberapa kali di pos-pos (gubuk darurat) yang dibangun masyarakat yang kemalaman di perjalanan, baik dalam perjalanan dari Seko ke kota (Sabbang) maupun sebaliknya.


Perjalanan ini memang sangat sulit dan berbahaya, namun kami menikmatinya. Kami pun tak melewatkan kesempatan tersebut dengan merekam semua moment yang kami anggap cocok untuk pembuatan film kami.


Rasa capek dan penat setelah seharian berjibaku menghadapi medan berat, rasanya langsung hilang seketika begitu kami memasuki sebuah perkampungan bernama Kampung Loudang, saat Maghrib tiba. Kampung ini sangat indah, udaranya sejuk dan sangat menyegarkan. Kami masih bisa merasakan bau tanah yang sangat sulit didapatkan di kota-kota besar yang telah tercemar polusi.


Di sana kita juga bisa menjumpai hewan-hewan seperti rusa, kuda, kerbau dan babi hutan. Selain itu, di kampung ini juga terdapat sungai yang airnya sangat jernih. Sungai tersebut dijadikan tempat mandi dan mencuci oleh masyarakat setempat. Setiap pagi dan sore kita dapat melihat segerombolan orang turun ke sungai untuk mandi dan mencuci.


Di Kampung Loudang, kami menginap di rumah mertua Pak Unsar. Malam itu, setelah membersihkan badan, kami dijamu tuan rumah. Menunya sederhana, hanya nasi dan sayur. Tapi nikmat sekali. Nasinya enak, seperti dicampur santan. Masyarakat di sana mungkin tidak ada yang tidak kenal beras ‘tarone’.


Keesokan harinya, kami mulai melakukan kegiatan pendokumentasian. Pertama-tama, merekam kebiasaan masyarakat setempat menangkap ikan. Untuk mencapai tempat tersebut, kami menyewa ojek karena lokasinya sekitar 60 km dari Kampung Loudang.


Cara menangkap ikan di sana cukup unik. Cara ini dikenal dengan istilah Sammuloku, yang berarti menangkap ikan dengan menyelam. Hal tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dilakukan dua-tiga orang. Caranya, satu orang membuat panah kecil yang dijadikan alat menangkap, sementara yang satunya lagi memasang pukat. Setelah pukat dipasang, orang yang membuat panah kecil tersebut menyelam di sekeliling pukat untuk membidk mangsanya. Hasilnya lumayan banyak.


Setelah merekam cara menangkap ikan, kami melanjutkan kegiatan pendokumentasian di tempat lain. Kali ini merekam tentang cara beternak kerbau. Masyarakat di sana menyebutnya Murrung.


Pada hari ke tiga di Seko, tepatnya 28 Juli 2006, kami melakukan wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat To Badak, Pak Gani. Kami mencoba menggali informasi mengenai hasil bumi dan tambang emas di daerahnya.


Usai wawancara, kami pergi berburu rusa. Untuk mencapai lokasi perburuan, kita harus melakukan perjalanan selama 2 jam. Setelah mempersiapkan segala perlengkapan, termasuk anjing pemburu, kami dan para pemburu bersembunyi dan melakukan pengintaian.


Lama menunggu, belum ada seekor rusa pun yang keluar dari sarangnya. Di saat semangat mulai mengendor karena capek memanggul kamera dalam posisi stand by, tiba-tiba muncul seekor babi hutan dan langsung masuk perangkap. Walaupun bukan yang diharapkan, namun kami tak melewatkan kesempatan tersebut untuk merekamnya. Yah … daripada tidak ada sama sekali. Ibarat pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi.


Dalam perjalanan pulang, kami sempat merekam kebiasaan masyarakat setempat saat memanen kopi, yang dikenal dengan istilah Musange.


Esok harinya, kami mengunjungi tempat pembuatan tikar dari kulit kayu. Cara pembuatan tikar dari kulit kayu, pertama-tama mengupas kulit pohon. Setelah terkupas, kulit dicelupkan ke dalam air, lalu diangkat, kemudian dipukul-pukul secara perlahan –lahan, terus dicelupkan lagi ke dalam air dan dipukul-pukul lagi. Setelah kulit pohon tersebut melebar, selanjutnya dikeringkan, dan jadilah tikar.


Pada 30 Juli 2006, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Eno, sekitar 60 km dari Kampung Loudang. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam. Di sini kami merekam tarian adat masyarakat Seko. Tari-tarian tersebut biasanya diperagakan pada hari-hari tertentu saja, misalnya untuk menyambut tamu kehormatan, pada saat upacara perkawinan, dan hari-hari istimewa lainnya.


Keesokan harinya, kami mengunjungi tempat situs budaya. Di sana terdapat tungku raksasa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, dahulu kala pernah hidup seorang raksasa, dan tungku tersebut adalah alat memasaknya.


Agenda berikutnya ke Kampung Tanete, yang dikenal sebagai tempat pembuatan madu, gula merah, dan alat musik yang terbuat dari bambu. Setelah itu ke Kampung Parahaleang. Perjalanan ditempuh selama setengah hari. Kami melewati hutan belantara, dan terpaksa harus menginap selama 2 hari di dalam hutan.


Setelah selesai mengabadikan kegiatan masyarakat yang mencari ikan dengan cara memancing, pasang jerat dan mengambil rotan di hutan, kami kembali ke kampung Eno untuk merekam kembali tari-tarian adat di sana dan mengambil gambar pandai besi membuat pisau. Selain itu, kami juga merekam cara pembuatan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari rotan seperti keranjang.


Pada 8 Agustus 2006, kami menuju Kampung Singkalong. Di kampung ini terdapat tambang emas yang sempat merisaukan masyarakat karena ada perusahaan asing yang ingin mengelola tambang tersebut. Kami merekam tentang cara mendulang emas.


Selama perjalanan menuju kampung ini, kami merekam pemandangan alam berupa hamparan padang rumput yang sangat luas. Panorama alam Seko yang sangat indah dan masih perawan tersebut mengingatkan saya pada film-film India yang sering diputar di stasiun televisi swasta.
Seketika benak saya dipenuhi bayangan adegan Shah Rukh Khan berdendang di padang luas penuh taman bunga, bersama Kajol dan Ranee Mukherjee, di film Kuch Kuch Hota Hai.


Tum Paas Aaye
Youn Muskuraye
Tumne Najaane Kya
Sapne Dikhae

Abto Meradil
Jaagena Sota Hai
Kya Karoon Ha Eh
Kuch Kuch Hota Hai


Karena begitu takjubnya melihat dan merasakan langsung keindahan alam Seko yang masih alamiah, saya merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Rupanya, dua rekan dari Telapak juga terkagum-kagum.


‘’Bisanya ada padang begitu luas di sini,’’ pujinya. (Bersambung)


26 September 2008

Enjoy dan Pantang Menyerah


Profil Safaruddin KDI

INDUSTRI rekaman dangdut yang beberapa tahun terakhir tengah mati suri dan adanya sikap diskrimasi produser album terhadap penyanyi pria pendatang baru, tak sedikit pun mematahkan semangat dan geliat tarik suara Safaruddin (29 tahun). Kampiun ketiga Kontes Dangdut TPI (KDI) – 1 tahun 2004 ini, tetap enjoy dan pantang menyerah dalam menjalani karir pedangdut profesional di Jakarta.
  ‘’Memang tak mudah untuk menjadi pedangdut profesional secara sempurna, yakni eksis di jalur industri rekaman dan di pentas hiburan live. Kendati belum punya solo album, saya tetap enjoy menjalani babakan karir profesional di panggung hiburan dangdut ibukota maupun nasional,’’ papar Safaruddin.
  Semenjak dinobatkan sebagai juara ke-3 akhir September 2004 silam - kalah bersaing dengan dua kontestan asal Bandung, Siti Rahmawati dan Nassar Fahad Sungkar, yang akhirnya tampil sebagai juara dan runner-up KDI-1 -, jadwal manggung Safaruddin yang diatur manajemen TPI dan Indika Entertainment begitu padat. Bahkan, suami dari Fatmawati - kelahiran Toli-Toli, 8 Januari 1979 - ini sempat dua kali singgah di panggung Negeri Beton, Hongkong, dan sekali di Tawao, Malaysia.
  ‘’Dari honor manggung di dalam dan luar negeri itulah, saya mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bahkan, dalam tempo setahun pasca merebut satu tempat di tiga besar KDI-1, saya sudah mampu membeli rumah di Villa Nusa Indah Cibubur - kawasan Timur Jakarta - seharga Rp 185 juta secara tunai. Terus-terang, honor manggung tersebut sangat besar, di luar perkiraan saya ketika memastikan diri manjadi duta dangdut Makassar di Jakarta,’’ terang Safaruddin, yang pada 4–6 Februari lalu menghibur ribuan TKW Hongkong di Gedung Hou Tung Secondary School Hongkong.
  ‘’Alhamdulillah, sambutan masyarakat Hongkong, khususnya para TKW Indonesia, sangat meriah. Tak kalah meriah dan semarak ketika saya tampil di Victoria Park Hongkong pada Okotober 2006 silam. Bahkan, ketika mau pulang ke tanah air, saya kebanjiran kado atau hadiah dari mereka,’’ tambah pelantun tembang “100 Kali” karya komposer Toto Aryo yang menjadi salah satu andalan album Kompilasi KDI-1 itu.

Persiapkan Album Perdana
  Makmur dan eksis di panggung hiburan dangdut, geliat Safaruddin di jalur rekaman masih jalan di tempat. Industri dangdut yang beberapa tahun belakangan kurang kondusif - kalau tak mau dibilang mati suri serta kecenderungan produser rekaman lebih tergiur melansir album para biduanita -, menjadi penghalang utama penggemar berat H. Rhoma Irama, Mansyur S dan Iman S. Arifin ini untuk menelorkan album solo perdana.
  ‘’Kendati sudah tiga tahunan sulit mendapatkan peluang masuk dapur rekaman, saya pantang menyerah untuk melansir album perdana. Bahkan, saat ini saya tengah memilih dan memilah lagu-lagu yang bakal diusung bila kelak saya berkesempatan rekaman solo album. Termasuk tiga lagu karya saya sendiri dan satu lagu karya Pak Mansyur S,’’ tekad ayah Siti Faysah - bocah putri berusia 5 tahun - ini.
  ‘’Dengan berat badan 80 kilo saat berjuang dalam serangkaian konser penjemputan KDI-1, saya merasa sulit bergerak dan kerap sesak nafas dalam menggapai nada-nada tinggi. Nah, berkat rajin berolahraga, khususnya fitnes dan rutin main bulutangkis, dalam tempo dua tahunan saya mampu menurunkan berat badan 15 kg. Ditambah ketekunan berlatih koreografi, saya kini cukup piawai melakukan goyang se-dinamis apa pun. Pokoknya, di atas panggung saya siap unjuk goyang ngebor atau pun ngecor,’’ jamin putra bungsu dari sembilan bersaudara pasangan H. Siradju dan Hj. Zaenab ini.
  Selain serius mempersiapkan materi lagu album lengkap dengan musisi dan komposer pendukung, Safaruddin belakangan juga tengah giat mengumpulkan dana untuk biaya rekaman. Di antaranya lewat usaha rumah kos-kosan di Makassar maupun turut menyertakan modal pada usaha Hama Tikus sistim pengasapan PT. Tiran, milik kerabatnya Ir Amran.
  ‘’Saya punya target, apa pun yang terjadi album solo perdana saya akan rampung dan beredar paling lambat akhir tahun 2008. Kalau belum ada produser yang tertarik, dari keuntungan usaha kos-kosan dan penyertaan modal Hama Tikus, saya akan gunakan untuk biaya proses rekaman hingga master album. Pasalnya, geliat profesional saya di ibukota sebagai penyanyi dangdut, terasa belum sempurna tanpa solo album,’’ tandas lulusan SMAN 1 Toli-Toli yang langsung hijrah ke Makassar dan memulai karir sebagai keyboardis Orkes Melayu Fitrah, milik kakaknya, itu. (agust)

Objek Wisata Sejarah Makam Raja-Raja Tallo



LETAKNYA hampir di pusat kota Makassar. Lokasi makam ini masih banyak tak dikenal orang. Lokasinya di RK IV Lingkungan Tallo, Kelurahan Tallo Lama Kecamatan
Tallo, Kota Makassar. Jika kita dari pertigaan Jl.Mesjid Raya-Jl.Sunu, jarak makam ini berkisar 7 km.
  Di situlah, salah satu pusat dua kerajaan kembar ini pernah ada ratusan tahun silam. Tallo dan Gowa. Sinergitas dua kerajaan ini akrab dikenal ’’dua raja satu rakyat’’. Bekas-bekas salah satu kerajaan itu, Tallo, kini masih bisa kita lihat dalam bentuk kompleks pemakaman para raja. 
  Sekadar memandu pembaca, dari pertigaan Jl.Mesjid Raya-Jl.Sunu, bergerak sekitar 100 m, kita belok kiri ke Jl. Sunu. Terus ke utara, hingga di lampu pengatur
lalu lintas di pertigaan Jl.Sunu-Jl.Tinumbu. Kita belok kiri langsung, membelok ke kanan pada pertigaan ke arah PT IKI hingga terus melintasi jembatan di atas
ruas jalan tol Reformasi. 
  Selepas dari jembatan kita membelok ke kiri. Jangan salah pilih jalan ke kanan, sebab berlawanan dengan arah ke objek yang hendak kita tuju. Bergeraklah terus
di sebelah kiri hingga ada papan nama penunjuk ke arah gerbang tol yang lurus. Kita belok kiri sebelum penanda arah ke jalan tol.
  Jalan yang dilalui itu, namanya Jl. Sultan Abdullah. Kondisi jalannya tidak mulus. Batu muncul di mana-mana. Lubang di mana-mana selalu menghambat kecepatan kendaraan. Kita menyusuri jalan ini dengan kondisinya yang kurang mulus sekitar 1 km.
  Di sebelah kanan, setelah melewati sebuah masjid di sebelah kiri, ada tanah lapang. Dari jauh tampak sebuah papan nama besar bertuliskan ’’Kompleks Makam Raja-Raja Tallo’’.
  Di depan kompleks terdapat lokasi parkir yang bisa menampung puluhan mobil.
Satu pintu dorong menghadang setiap orang yang hendak langsung masuk ke bagian dalam kompleks. Meski penjaga makam tak menarik tarif masuk, tetapi setiap
pengunjung harus mengisi daftar buku tamu di pos monyet. 
  Kompleks ini dikelilingi tembok tidak terlalu tinggi. Mungkin satu setengah meter. Di dalamnya ada bangunan rumah kayu, tentu saja sebagai tempat pertemuan.
  Di bawah pohon korek api (kayu colo) yang rindang, terdapat sebuah gubuk. Atapnya sudah bolong. Kalau hujan turun, jelas orang tidak bisa bernaung di sini. Lantainya terbuat dari papan.
  Untuk diskusi kecil dengan jumlah sekitar 10 orang, pondok ini bisa dijadikan tempat alternatif. Namun, jika jumlahnya lebih banyak, tentu rumah panggung akan jadi pilihan. Tentu saja, setiap orang yang ke makam ini, semata-mata untuk meninjau atau berziarah.

Macan Keboka
  Di kompleks makam yang dibangun sekitar abad XVIII ini terkubur 778 jasad manusia. Tetapi makam yang tampak hanya 96. Dari 96 makam itu, hanya 22 saja yang punya
nama.
  Makam yang nisannya bernama adalah :
• Abdullah bin Abdul Gaffar (Duta Bima di Tallo)
• Abdullah Daeng Riboko
• Arif Karaeng Labakkang Tumenanga ri Balang
• Sultan Mudaffar I Manginyarrang Dg Makkiyo Kareng Kanjilo Ammaliang ri Timoro (1598-1641) Raja Tallo VII
• Sawerannu (Putri Tana Toraja yang diperistrikan Raja Tallo VII Tummalianga ri Timoro)
• Yandulu Karaeng Sinrijala, I Mallawakkang Daeng Sisila Karaeng Popo Abdul Kadir Anrong Guru Tumakkajannanga
• Karaeng Mangngara Bombang Karaeng Bainea ri Tallo Tumenanga ri Butta Malabbirina
• Raja Tallo Mangati Dg Kenna Karaeng Bonto Masuci Sultana Sitti Aisyah Tumenanga ri Ballakacana
• Raja Tallo XII I Makkusumang Daeng Mangurangi Karaeng Lempangang Sultan Syaifuddin Tumenanga riButta Malabirina (1770-1778)
• Raja Tallo XIII Maddulung Karaeng Bonto Masuci Karaeng Karuwisi Sultana Sitti Suleha Tumenanga rikana Tojenna
• Karaengta Yabang Dg Tolomo Karaeng Campagaya Karaeng Bainea ri Tallo
• Raja Gowa XXX/Raja Tallo XV Laodangriu Dg Mangeppe Karaeng Tallo
• Karaeng Kaballokang Karaeng Katangka Sultan Muhammad Zainal Abidin Abdul Rachman Amiril Mukminin Tumenanga ri Suangga (lahir tahun 1783, memerintah di Gowa 1825-1826 dan wafat 1845)
• Mang Towayya
• Saribulang Daeng-Karaeng Campagana-Tallo
• I Makkaraeng Daeng Makkiyo Karaeng Lembayya
• Sinta Karaeng Semanggi
• Pakanna Karaeng Gunung Sari Raja Sanrobone XI
• Raja Tallo IX Ia Mallawakkang Daeng Matinri Karaeng Kanjilo Tumenanga ri Passiringanna Sultan Abdul Kadir
• Karaeng Parang-Parang Karaeng Bainea ri Tallo, Linta Dg Tasangnging Karaeng Bontosunggu Tuma’bicara-Butta Gowa
• I Manuntungi Dg Mattola Karaeng Bangkala Arung Pone.
  
  Bangunan makam ini aneh. Konstruksinya berbentuk candi, tetapi pada sebagian dindingnya terdapat kalimat tauhid dalam seni kaligrafi Islam. Ini membuktikan pengaruh agama Hindu dan Islam dalam kehidupan raja-raja Tallo pada masa silam. Data sejarah menunjukkan, sebelum Islam datang, penduduk memeluk kepercayaan yang mengandung unsur agama Hindu.
  Tidak kurang dari 25 pohon tumbuh di lingkungan kompleks makam. Selain pohon mangga, juga ada pohon kamboja, pohon jambu, dan pohon bila.  
  Salah seorang di antara Raja Tallo VII yang terbaring di makam ini adalah Raja Tallo VII, I Malingkaan Daeng Manyonri. Ia merupakan raja Tallo pertama yang memeluk
agama Islam. Raja ini dikenal berjuluk Macan Keboka ri Tallo (Macan Putih dari Tallo).
  Dia tidak saja sebagai raja Tallo pemeluk agama Islam pertama, tetapi juga dikenal sebagai penyebar agama Islam ke wilayah Timur Indonesia, seperti ke Buton, Ternate, dan Palu. Oleh sebab itu, dia juga dikenal dengan gelar Karaeng Tuammalianga ri Timoro (Raja yang yang berpulang ke timur).  
  I Malingkaan Daeng Manyonri Karaeng Katangka yang lahir tahun 1573 juga merangkap Tuma’bicara Butta ri Gowa. Ia pernah bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau terpancar ke seluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
  Darwas Rasyid MS dalam bukunya Peristiwa Tahun-Tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad XIV s.d. XIX, menulis, pada malam Jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M, di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Ternyata salah seorang penumpangnya lelaki. Dia tampak sedang salat. Dari tubuhnya terpancar cahaya.
  Pemandangan ini menggemparkan penduduk Tallo. Peristiwa tersebut menjadi buah bibir rakyat Tallo hingga sampai ke telinga Baginda Karaeng Katangka. Sang Baginda pun bergegas ke pantai.
  Lelaki yang berjubah putih dan bersorban hijau itu muncul dan ’menghadang’ di gerbang istana. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya bagaikan intan yang memancarkan cahaya. Dia menjabat tangan Baginda yang kaku lantaran takjub. Pria berjubah putih itu pun menulis kalimat di telapak tangan Baginda. 
  ‘’Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,’’ pesan tulisan di telapak tangan Baginda.
  Lelaki yang mendarat di pantai Tallo diketahui bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal, yang kemudian dikenal dengan nama Dato’ ri Bandang. Dia berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat).
  Baginda ini setelah memeluk agama Islam lalu bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awalul Islam Karaeng Tallo Tumenanga ri Agammana. Beliaulah pemeluk agama Islam pertama di Sulawesi Selatan.
  Kisah terbagi duanya kerajaan (Tallo dan Gowa) berawal ketika kerajaan diserahkan kepada Batara Gowa. Beliau pun menyerahkan kekuasaannya kepada daerah-daerah
Gallarang Kerajaan Gowa yang mencakup; Gallarang Pacellekang, Pattallasang, Bontomanai (sebelah timur), Bontomanai (sebelah barat), Tombolo, dan Gallarang
Mangasa. Daerah Gallarang disebut Kerajaan Tallo di bawah Raja Tallo I Karaeng Loe ri Sero.
  Walaupun pernah terjadi perang antara keduanya pada masa Raja Gowa IX Tumaparrisi Kalonna dengan Raja Tallo I Mangngayoang, dan Tallo kalah, namun setelah berdamai, kedua kerajaan itu tetap berdiri.
  Tradisi kerajaan kembar ini menempatkan Raja Tallo sebagai Mangkubumi dua kerajaan ganda itu. Gowa dan Tallo sekaligus.  
  Kompleks Makam Raja-Raja Tallo ini termasuk objek wisata sejarah yang dapat menambah objek yang sudah ada di Makassar. Selain promosi yang kurang
kencang, juga jalan untuk akses ke lokasi makam perlu mendapat perhatian.
  Di kompleks sendiri, bangunan-bangunan kecil yang sudah ada perlu diperbaiki. Yang tak kalah pentingnya, di bangunan fisik yang ada sekarang perlu ada data mengenai
silsilah para raja yang bersemayam di makam tersebut. (h.m.dahlan abubakar)

Lega dan Plong


Profil Nurdin KDI

KENDATI sudah hidup mandiri di ibukota dan membantu kehidupan ekonomi keluarga di Pamboang, Majene, Sulbar, Nurdin KDI - kampiun Kontes Dangdut TPI (KDI) 4 - beberapa bulan belakangan tetap merasa ada hal mengganjal dalam upaya kerasnya menjadi penyanyi profesional.
  Pasalnya, setiap habis tampil di pentas hiburan dangdut live di berbagai daerah - pasca memenangkan persaingan dengan Frida Amartin asal Yogyakarta di babak grandfinal di Istora Senayan Jakarta, 18 Agustus 2007 silam -, khalayak penggemarnya selalu menanyakan kapan lagu rekaman usungan Nurdin atau album kompilasi terbaru KDI rampung dan beredar luas.
  Nah, mulai awal Februari 2008, putra bungsu dari enam bersaudara pasangan petani dan nelayan Yaseng serta almarhumah Dahari ini sudah punya jawaban pasti.
  ‘’Rasanya lega dan plong begitu album kompilasi KDI-4 benar-benar diluncurkan secara luas ke bursa kaset nasional. Maklumlah, peredaran kaset dan berikutnya CD yang sempat tertunda berkali-kali, menjadi ganjalan tersendiri bagi debutan profesional saya di blantika dangdut nasional,’’ papar Nurdin.  
  Album bertitel “KDI-4 Paling Yahud” ini berformat kaset, diproduksi MNC & TPI serta diedarkan Musica Studios, berisi 12 lagu (menyusul format CD, 15 lagu) karya pemenang Lomba Cipta Lagu Dangdut (LCLDut) 2007. Nurdin sebagai kampiun, diberi kesempatan mengusung sendiri lagu “Silpia” karya komposer Hamdan Anugerah M.
  ‘’Lagu Silpia berkisah tentang seorang pria yang ditinggal pergi kekasihnya. Berkat penghayatan total plus lirik lagu dan musik pengiring yang cocok dengan karakter vokal saya, saya berharap lagu karya Hamdan Anugerah tersebut bisa diterima khalayak penggemar dangdut di segala pelosok tanah air. Hingga bisa menjadi semacam batu loncatan luar biasa bagi saya untuk menembus dan menggebrak blantika musik dangdut nasional yang dua tahun belakangan lagi lesu darah,’’ harap Nurdin.
  Memang tak mudah bagi jebolan SMK 2 Majene jurusan Manajemen Bisnis enam-lima tahun silam ini. Pasalnya, insan dan pelaku industri musik dangdut masih bersikap diskriminatif terhadap penyanyi pria. Hal itu terjadi pula dalam album kompilasi terbaru bintang KDI. Indikasinya, Frida sebagai juara kedua malah dipercaya mengusung dua lagu secara tunggal yakni “Salam Dangdut” karya Boy Yudhistira serta tembang “Bajakan” ciptaan komposer Mbah Jago.
  Sementara Nurdin yang lewat ajang KDI-4 meruntuhkan dominasi penyanyi wanita, di mana tiga pemenang sebelumnya – Siti Rahmawati, Gita dan Lola (asal Jawa Barat) -hanya satu lagu, seperti halnya Rahman, pengusung lagu “Ada Kamu’’, Lita (Penyesalan), F2F (Dasar Boneng), Risqi (Kembang Zaman), Dien (Lelaki Penakluk), Monica (Dangdut Calypso), Gita KDI-2 (Beda Arah), Lola KDI-3 (Ungkapan Hati), Eny KDI-3 (Hanya Mimpi).
  Tentang alasan Frida mengusung dua lagu, Nana Putra - Direktur Operasional TPI - berkilah hal tersebut semata-mata karena kecocokan karakter vokal.
  ‘’Kebetulan karakter vokal Frida sangat cocok untuk mengusung dua lagu,’’ tutur Nana. (agust)

Terus Berjuang Menjadi Penyanyi Dangdut Profesional


Profil Nurdin KDI

KETIKA kecil dan beranjak remaja, Nurdin KDI tak pernah membayangkan sedikit pun bakal menjadi penyanyi atau idola baru di blantika musik dangdut nasional. Apalagi berkat sukses menjadi Juara Kontes Dangdut TPI (KDI-4), bujang ganteng kelahiran Majene, Sulawesi Barat, 8 Juni 1983 ini kini mulai bisa hidup mandiri di ibukota - walau masih tinggal di kos-kosan di kawasan Jl. Manunggal XVII, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur - lengkap dengan mobil sedan Suzuki Aerio warna hitam buatan tahun 2003. Padahal, dalam benaknya sebelumnya – pasca lulus SMK 2 Majene jurusan Manajemen Bisnis lima tahun silam -, dirinya hanya ingin cepat-cepat bekerja guna membantu ekonomi keluarganya.
  ‘’Alhamdulillah, setelah empat bulanan dinobatkan sebagai Juara KDI-4, saya kini sudah punya mobil sedan idaman dan mengendarainya sendiri karena sudah punya SIM-A. Sedangkan untuk membahagiakan keluarga di daerah, saya sudah membangun rumah tinggal baru di Pamboang, Majene, seharga Rp 150 juta,’’ papar Nurdin ketika ditemui di ruang Humas TPI di Pintu II TMII, Jakarta Timur, baru-baru ini.
  Begitu dinobatkan sebagai juara KDI-4 pasca memenangkan persaingan dengan Frida Amartin - kontestan asal Yogyakarta - pada babak Grandfinal di Istora Senayan Jakarta, 18 Agustus 2007 silam, kehidupan sehari-hari Nurdin kontan berbalik 180 derajat.
  Putra bungsu dari enam bersaudara pasangan petani dan nelayan Yaseng dan almarhumah Dahari ini berhak atas hadiah utama rumah mewah seharga Rp 250 juta persembahan PT Sido Muncul. Sementara jadwal manggung Nurdin yang diatur manajemen Media Nusantara Citra (MNC) begitu padat.
  Dari honor tampil di televisi maupun berbagai pentas hiburan dangdut di berbagai penjuru nusantara, ia sanggup mengumpulkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai penyanyi.
  Alhasil, bintang baru dangdut yang terpaksa meminjam uang kepada kakak iparnya di Majene untuk mengikuti audisi KDI-4 di Makassar, maupun kepada teman-temannya di Makassar untuk kembali ke kampung halaman setelah masuk lima besar dan meraih tiket ke Jakarta ini, kini bisa memulai hidup mandiri di ibukota.
  ‘’Begitu hadiah rumah bisa dicairkan dengan dana cash, saya langsung mencoba membahagiakan ayah dan keluarga di Majene dengan membangun rumah baru yang tak jauh dari rumah kelahiran saya. Nah, sisanya saya tabung dan beli sedan Aerio. Toh, dari penghasilan sebagai penyanyi dangdut, saya bisa membayar rumah kos setiap bulan sekaligus membiayai perawatan mobil,’’ terang Nurdin sambil menyunggingkan senyum bangga namun penuh haru bila mengenang masa lalunya.

Serba Minim
  Nurdin memang pantas bangga dan haru bila mengenang masa perjuangan panjang dan berlikunya sebelum menjadi orang Makassar pertama menjadi kampiun KDI-4. Betapa tidak. Seniornya - Safaruddin - hanya juara ketiga.
  Dibandingkan tiga juara ajang kontes penyanyi dangdut masa depan gelaran TPI itu – mulai dari Siti Rahmawati, Gita, hingga Lola -, hanya Nurdin lah yang paling minim. Ia praktis hanya memiliki pengalaman tampil di panggung 17 Agustusan di kampung Pamboang Majene.
  ‘’Tampil di pangggung 17-san kampung pun, saya hanya dua kali. Itu pun karena dorongan teman-teman yang sehari-hari melihat saya kerap bernyanyi sambil memainkan gitar,’’ ungkap Nurdin yang blak-blakan mengaku belum sekali pun ikut lomba nyanyi di tingkat kecamatan, kabupaten Majene, apalagi tingkat provinsi Sulawesi Selatan (saat ini Majene sudah masuk provinsi baru Sulbar). 
  ‘’Sejak beranjak remaja, saya hanya belajar menyanyi dan bermusik secara otodidak,’’ tandasnya.
  Sedangkan dalam hal dukungan dana mengikuti tahapan audisi KDI, Nurdin pun serba minim. Untuk ongkos perjalanan ke Makassar dan merealisasikan keinginan hati kecilnya mencoba turut memperbaiki ekonomi keluarga dengan menjadi penyanyi sungguhan lewat ajang KDI, ia pun rela menjadi pekerja kasar atau kuli pembuatan tanggul air proyek kecamatan.
  ‘’Walau harus bekerja di terik matahari dan menguras tenaga maupun keringat, saya hanya mendapat upah Rp 120 ribu. Untungnya, untuk biaya akomodasi dan transportasi ke Makassar, saya dipinjami kakak ipar saya sebanyak Rp 200 ribu. Nah, hanya dengan modal tiga ratus ribu lebih, saya nekad ikut audisi KDI-4 dan terpilih menjadi salah satu dari lima besar wakil kota Makassar ke gerbang KDI di Jakarta. Sementara untuk pulang ke Majene, saya pun dipinjami Vai dan Ica (duo Vaica) sebesar Rp 300 ribu,’’ kenang Nurdin, yang juga pernah menjadi sales promosi produk susu dan makanan terkenal di Makassar.
  Meski berbekal pengalaman dan modal serba minim, ditopang rasa percaya diri niat mulia plus keinginan turut memperbaiki ekonomi keluarga, Nurdin kerap tampil memukau dalam setiap konser penjemputan di Teater Tanah Airku TMII..
  Alhasil, banyak pemirsa TPI memberi dukungan SMS untuknya hingga sebelum masuk grandfinal dan menjadi kampiun KDI-4, Nurdin mampu menjadi Bintang Episode konser sebanyak enam kali serta sekali menjadi Bintang Kampus.
  ‘’Saya kira kunci sukses saya menjuarai KDI-4 adalah rasa percaya diri yang tinggi yang dipadukan dengan kerja keras, selain tentunya bakat dan talenta musikalitas alami dari Tuhan YME,’’ tuturnya.
  Kemenangan di ajang pencarian bintang dan wajah baru gelaran TPI itu ternyata tiket bagi Nurdin masuk ke kancah blantika musik dangdut. Berkat jadwal manggungnya padat yang diatur manajeman artis MNC, Nurdin pun mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah dalam rekening tabungannya. Dan setelah memberikan rumah untuk keluarga di Majene, Nurdin pun menunjukkan bukti kesuksesan awal karirnya secara finansial dengan membeli mobil sedan Aerio seharga Rp 90 jutaan.
  ‘’Selama ini saya kerap menghadapi kendala transportasi bila pulang malam setelah tampil di panggung hiburan live maupun acara dangdut televisi di seputar Jabotabek. Karena itu, dengan mobil yang saya kemudikan sendiri, mobilitas saya dalam berjuang menjadi penyanyi profesional bisa lebih lincah. Apalagi di sela-sela kesibukan nyanyi, saya pun mencoba mengikuti casting untuk menjadi presenter beragam kuis di RCTI,’’ ujar Nurdin, pelantun tembang ‘Silpia’ karya Hamdan Anugerah - lagu andalan album Kompilasi Bintang KDI.
  Agar diakui sebagai penyanyi dangdut profesional, Nurdin memang harus terus berjuang ekstra keras. Pasalnya, industri rekaman dangdut masih lesu darah. Hingga kalangan produser enggan memproduksi solo album dangdut.
  ‘’Agar geliat dan langkah menjadi penyanyi dangdut profesional lebih ringan, idealnya saya melansir solo album. Sayangnya situasi dan kondisi industri rekaman dangdut saat ini sangat tidak mendukung. Semoga lewat satu lagu ‘Silpia’ yang saya usung, album Kompilasi Bintang KDI bisa terima khalayak penggemar dangdut dan popularitas saya sebagai penyanyi di masa datang kian membumbung di segala penjuru tanah air,’’ harap Nurdin yang demi menggapai sukses masa depan berniat melanjutkan kuliah di Jakarta. (agust)

Impikan Putra Maluku Miliki Posisi Tawar


Profil Ir M.A.S Latuconsina 

SOSOK Ir. M.A. S. Latuconsina yang dikenal cukup lantang menyuarakan peran pemuda di Maluku melalui wadah KNPI Provinsi Maluku dua tahun silam ini punya andil mengetuk hati pemerintah pusat, lewat terobosannya melalui KNPI sebagai salah satu wadah kepemudaan di Maluku. Dia bahkan sangat mengimpikan putra Maluku memiliki posisi tawar di tingkat nasional. 
  Setidaknya, lewat sokongan Pemerintah Provinsi Maluku, KNPI di bawah kepemimpinannya sejak tahun 2006 lalu, telah mampu mendorong isu pembentukan Provinsi Kepulauan dengan melibatkan enam daerah lainnya menjadi sebuah isu nasional. 
  "Ini merupakan sebuah prestasi pemuda yang cukup menjanjikan, meski belum dapat diwujudkan, namun kemampuan pemuda Maluku dalam hal ini telah terbukti," ungkap mantan Ketua KNPI Maluku ini. 
  Selain ikut mendorong terbentuknya provinsi kepulauan, lewat tangan Latuconsina yang kini menapak karier di bidang birokrasi, KNPI Maluku telah melakukan sebuah terobosan dengan menyampaikan keluhan masyarakat Maluku, terkait posisi tawar putra Maluku dalam perpolitikan nasional. Misalnya soal porsi jabatan politik yang harusnya juga dipercayakan kepada orang Maluku untuk duduk di kabinet SBY-JK.  
  Kedua program tersebut, kata lelaki yang biasa disapa Sam ini, diusung dengan melihat adanya keresahan masyarakat Maluku. Karena realita yang terjadi, Maluku seakan dianaktirikan pemerintah pusat.  
  "Selama ini ada ketidakadilan yang diterima daerah Maluku dalam hal pembagian porsi anggaran dari pemerintah pusat. Itu semua terjadi, karena Jakarta hanya melihat wilayah Maluku dari luas daratannya saja, sehingga alokasi anggaran yang diberikan hanya berdasarkan luas wilayah darat. Padahal, wilayah Maluku harusnya dihitung sebagai wilayah continental yang terdiri dari sebagian kecil wilayah darat dan 90 persennya wilayah laut," bebernya. 
  Untuk itu, perhitungan alokasi anggaran pembangunan di daerah ini, harusnya juga dihitung mulai dari wilayah laut sebagai wilayah terluas di daerah ini.  
  Dengan melihat persoalan ini, KNPI kemudian mencoba mengemas sebuah isu nasional bersama enam provinsi lainnya dengan meminta pemerintah pusat memberikan status sekaligus pengakuan secara hukum terhadap keberadaan provinsi kepulauan kepada tujuh daerah ini.  
  Tentang upayanya agar putra Maluku memiliki posisi tawar di tingkat nasional, pria yang kini menjabat Kasubdin Bina Marga di Dinas Pekerjaan Umum (PU) kota Ambon ini mengatakan, tuntutan itu merupakan sebuah realitas yang harus diterima orang Maluku. 
  Dia mengingatkan, di masa orde lama, putra-putra Maluku sangat diperhitungkan. Mereka ibarat "bintang" yang bersinar di kancah perpolitikan nasional. Saat itu dikenal ada beberapa tokoh nasional yang berasal dari Maluku, diberikan porsi yang cukup terhormat untuk duduk di kursi kabinet. Setelah masa itu berlalu, orang-orang Maluku seakan dilupakan. Dan di setiap pergantian kabinet, sama sekali kita tidak temukan lagi putra-putra Maluku. Padahal, Maluku termasuk satu di antara delapan provinsi yang kala itu ikut memperjuangkan kemerdekaan negara ini.  
  Dua alasan ini yang kemudian membuat KNPI Maluku di bawah komandonya terpanggil melakukan sebuah presure ke pemerintah pusat dengan dukungan Pemprov Maluku. 
  ‘’Kita harapkan Maluku juga mendapatkan tempat yang sama seperti Provinsi Papua dan Aceh yang diberikan otonomi khusus oleh pemerintah pusat,’’ cetusnya. 
  Kini, boleh dikata, buah karya pemuda Maluku, secara tidak langsung telah direspon oleh pemerintah pusat. Misalnya, di tahun 2007 lalu, Maluku telah dijatahkan anggaran yang cukup besar yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU). 
  ‘’Peningkatan itu bagi kami merupakan respon atas apa yang telah dilakukan. Namun, itu bukan jawaban dari apa yang telah disampaikan. Karena tuntutan dari tujuh KNPI provinsi kepulauan itu, adalah pemerintah pusat harus memberikan pengakuan itu secara hukum, artinya harus diatur dalam Undang-Undang,’’ tandasnya.  
  Dia mengakui, peluang untuk mendapatkan semua itu sangat terbuka. Namun harus pula didukung dengan political will dari pemerintah daerah. Hal yang sama juga akan terjadi terhadap posisi putra daerah di peta perpolitikan nasional. 
  ‘’Saya kira budaya kita yang kurang mendukung. Kita masih menganut budaya kepiting (saling menjatuhkan). Ini fakta, ketika ada orang kita yang berjuang untuk merebut salah satu jabatan yang strategis, pasti ada di antara kita yang tidak setuju. Padahal, bila hal ini kita terus wacanakan, suatu saat akan ada respek dari pemerintah pusat,’’ yakinnya. 
  ‘’Mungkin saja orang Maluku tidak didudukkan pada kursi kabinet, tapi hanya di jabatan-jabatan dirjen atau sejenisnya. Nah kalau ada lima dirjen yang berasal dari daerah ini, apa orang Maluku tidak senang,’’ sambungnya. 
  Pasti mereka tidak akan diam untuk melihat daerah ini ke depan. Kenyataan saat ini, banyak SDM Maluku yang tidak terpakai, sehingga selalu terfokus ke daerah, sehingga bila ada Pilkada semuanya mau bertarung. Padahal kursi gubernur dan wakil gubernur itu hanya untuk dua orang.  
  Meski apa yang disuarakan itu belum maksimal terjawab, namun dirinya berjanji sebagai tokoh muda Maluku, akan tetap mewacanakan tuntutan ini di setiap kesempatan, baik itu pada skala daerah maupun nasional. Dan di tahun 2009 bertepatan dengan pemilihan presiden (Pilpres), KNPI juga akan wacanakan konsep, dengan mengkampayekan kepada masyarakat Maluku, agar mau memilih calon presiden dan wakil presiden yang bersedia menempatkan putra daerah Maluku di kursi kabinetnya, sekaligus memberikan pengakuan secara hukum akan pembentukan provinsi kepulauan. 
  ‘’Konsep ini akan kami tawarkan kesetiap pasangan calon yang akan bertarung di Pilpres 2009 nanti,’’ kuncinya. (syarafudin pattisahusiwa)

25 September 2008

Seperti Artis

Profil Penyiar Gamasi

WALAUPUN hanya cuap-cuap menjual suara dan program acara, seorang penyiar juga bisa terkenal seperti halnya artis sinetron, bintang film, dan penyanyi. Hal itu dirasakan Adi Gamajaya, salah seorang penyiar Radio Gamasi FM.
  ‘’Berkat menyiar, saya jadi seperti artis, dikenal banyak orang dan punya banyak teman,’’ aku Adi Gamajaya saat ditemui di studio Gamasi.
  Pria kelahiran Makassar, 25 Januari 1960, ini merupakan salah satu penyiar favorit sambalu Gamasi. Program acara yang dibawakannya dan selalu dinantikan pendengar adalah Pacarita (Panggung Canda, Cerita dan Tawa).
  Acara mingguan ini diudarakan setiap hari Rabu dan Minggu pukul 19.00-21.00 Wita, berisi humor dan cerita-cerita atau teka teki lucu, yang tidak menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), cacat orang, dan tidak porno.
  ‘’Dalam acara ini, sambalu sendiri yang bercerita atau berteka-teki. Kami hanya sebagai mediator dan pemberi semangat,’’ jelas Adi Gamajaya. 
  ‘’Acara ini banyak ditunggu-tunggu karena bisa menghilangkan stres. Mungkin karena unsur humornya tinggi,’’ beber suami Kurnilawati A.Ma itu.
  Selain Pacarita, Adi Gamajaya juga membawakan acara Tambara dan Barugaya. Pria yang bergabung di Gamasi sejak 1991 ini juga diminta membantu TVRI, membawakan acara Deng Mampo. 
  Bapak 3 putra dan 2 putri yang bernama asli MS Dg Lewang ini tak memungkiri bahwa masalah di luar kantor, misalnya persoalan rumah tangga, juga mempengaruhi seorang penyiar dalam menjalankan tugasnya. Tapi, baginya, itu merupakan tantangan.
  ‘’Sebelum masuk ke ruang siar, kita buang dulu seluruh persoalan, kita bersihkan dulu hati kita. Kita di bilik siar kan cuma 1-2 jam, masa’ tidak bisa mengatasi hal itu,’’ kilahnya.
  ‘’Tapi kalau memang berat persoalannya, lebih baik minta izin,’’ lanjut pria yang juga berprofesi sebagai MC di panggung-panggung hiburan di kota Makassar itu.
  Bagi Adi Gamajaya, menyiar itu seni, dan menyiar itu harus ditunjang dengan wawasan. Menurut dia, seorang penyiar harus punya bekal pengetahuan dan perbendaharaan kata yang banyak, di samping harus komunikatif, sopan, santun, dan sabar.
  ‘’Sebagai seorang penyiar, kita merasa puas kalau yang kita lakukan saat bertugas itu dirasakan dan diterima masyarakat,’’ ungkap pria yang mengawali karier kepenyiarannya di Radio Gandaria pada 1981 itu.
  Adi Gamajaya sangat merespon upaya-upaya yang dilakukan sambalu Gamasi untuk lebih mempererat tali persahabatan dan persaudaraan di antara mereka, dengan membentuk Persaudaraan Sambalu Gamasi (PSG). 
  Anggota PSG saat ini tercatat kurang lebih 300 orang. Fans Gamasi itu awalnya hanya kirim-kirim salam dari satu pendengar ke pendengar lain. Kini, mereka meningkatkan hubungan silaturahmi dengan saling mengunjungi dan mengadakan acara kumpul-kumpul secara rutin setiap minggu atau setiap bulan.
  ‘’Untuk ke depannya nanti, mungkin ada yang bisa dikembangkan dari PSG ini, misalnya membuka usaha-usaha jasa atau usaha lain,’’ papar Adi Gamajaya, yang merasa betah berkarya di Gamasi karena di radio ini terjalin harmonisasi antar penyiar, sehingga ia dan rekan-rekannya seolah-olah satu rumpun keluarga. (wahyudin)

No. 1 Selama 6 Tahun


Profil Radio Gamasi FM

DARI sekedar hobi, akhirnya bisa menghidupi. Itulah kisah sukses Radio Gamasi FM, yang awalnya hanya sebuah radam – radio amatir -, kini telah menjelma menjadi radio komersil No. 1 di Sulawesi Selatan selama 6 tahun berturut-turut berdasarkan hasil survey AC Nielson.
  Wajar saja jika radio yang siarannya bisa dijangkau sampai di Sulbar dan Selayar ini dinobatkan sebagai No. 1, karena boleh dikata tidak ada warga Sulsel yang tidak mengenal Gamasi. Dengan gaya siaran dan sapaan khasnya, Gamasi melekat di hati masyarakat.
  ‘’Kekuatan Gamasi adalah content local-nya. Satu-satunya radio yang mudah didengarkan, mudah dimengerti, dan lebih memasyarakat karena gaya siarannya,’’ ujar Asisten Manager Siaran Gamasi, Dhana Gamajaya.
  Gamasi memang tampil beda, dan lebih membumi dibanding radio lain. Kalau radio lain bangga memutar lagu-lagu pop dan barat, serta dibawakan dengan logat ibukota, Gamasi lebih mengkonsentrasikan diri pada lagu-lagu dangdut, lagu-lagu daerah Bugis/Makassar, serta lagu-lagu India dan Melayu, yang menjadi ciri khasnya, di samping sapaan dan gaya siarannya.
  Radio yang dirintis H Abdul Hamid alias Mas Nok ini pertama kali mengudara pada 1981, dan bermain di frekuensi AM. Studionya saat itu berlokasi di Jalan Gunung Nona. Sepuluh tahun berselang, tepatnya pada 1991, boyongan ke Jalan Veteran Selatan 71, Kompleks Marindah Blok B 12, Makassar. Dan setelah menghuni studio barunya selama kurang lebih 5-6 tahun, Gamasi hijrah frekuensi dari AM ke FM, sampai sekarang.
  Gamasi merupakan singkatan dari Gaya Makassar Ada di Sini. Maksudnya, gaya kota Makassar, bukan gaya suku Makassar. Gaya dan logat Jakarta yang banyak diadopsi penyiar radio lain, tidak berlaku di radio ini.
  ‘’Bagaimana orang kota Makassar bicara, itulah gaya menyiarnya penyiar Gamasi. Misalnya membuka siaran dengan sapaan ‘apa khabar ta, baik-baik ja ki’. Seperti itulah . Dan, Gamasi adalah radio pertama di Makassar dengan gaya begitu,’’ terang Adi Gamajaya dengan nada bangga.
  ‘’Kalau radio lain menyapa pendengarnya dengan sebutan mitra, atau sebutan lainnya, kami di sini menyapa pendengar Gamasi dengan sapaan sambalu. Gamasi-lah yang pertama kali mempopulerkan kata sapaan sambalu,’’ sambung tukang cuap-cuap yang membawakan acara Pacarita, Tambara, dan Barugaya ini.
  Radio yang mengudara sejak pukul 05.00 Wita dan berakhir siaran pada pukul 23.00 Wita ini didukung 14 tenaga penyiar andal dan 5 orang narasumber untuk konsultasi masalah agama, bincang-bincang kota dan sosial, serta masalah hukum dan kesehatan, termasuk acara Tambara.
  Ada 13 program acara yang diudarakan setiap harinya, yaitu Damai (Dialog Agama Islam), Dg Mugi (Dendang Musik Pagi), Salamakki (Salam dan Selamat), Tambara (Tambahan Obat Tradisional), Laugi (Lagu-Lagu Bugis), Gade-gade (Jual Beli Barang), Kelong Melayu, Barugaya, Tenda (Terminal Dangdut), Serambi Muslim, Ladafi (Lagu dari Film India), Keladi (Kenangan Lagu Dangdut Abadi), dan Pasara (Titipan Salam dan Persahabatan).
  Selain itu, ada juga 6 program mingguan. Yaitu Konsultasi Kesehatan Gigi (Minggu pukul 09.00-10.00 Wita), Konsultasi Hukum (Selasa pukul 13.00-14.00 Wita), Pakacaping (Sabtu pukul 15.00-16.00 Wita), Pakelongna Baruga (Minggu pukul 15.00-16.00 Wita), Biskal (Kamis pukul 21.00-23.00 Wita), dan Pacarita (Rabu dan Minggu pukul 19.00-21.00 Wita). 
  Menurut Dhana Gamajaya, program acara yang kini selalu dinantikan sambalu Gamasi adalah Pacarita (Panggung Canda, Cerita dan Tawa) dan Damai (Dialog Masalah Agama Islam). 
  Pacarita adalah acara interaktif yang dikemas dengan nuansa humor, yang tidak menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), cacat orang, dan tidak porno.
Sedangkan program acara Damai membahas masalah seputar agama Islam yang berasal dari pendengar melalui surat bersama seorang ustad yang kompeten. 
  Meskipun membidik pendengar dari kalangan menengah ke bawah, tapi Gamasi juga dimonitor kalangan atas. Hal itu tidak terlepas dari informasi-informasi yang disajikan dalam kemasan acara Makassar Hari Ini, berupa laporan kegiatan atau kejadian-kejadian aktual di masyarakat, yang dilaporkan dua orang reporternya di lapangan sejak pagi hingga malam hari, dalam bentuk live report dan paket.
  ‘’Gamasi kemarin menjadi satu-satunya radio yang dimonitor masyarakat karena meliput menjelang Pilgub sampai pada proses perhitungan suara,’’ ungkap Dhana Gamajaya.
  Menghadapi persaingan di dunia broadcasting yang kian ketat, Gamasi tak pernah merasa khawatir posisinya sebagai number one didongkel pesaingnya, karena mereka memiliki kiat jitu dalam menyusun program acara yang bisa memikat hati pendengarnya.
  Untuk tahun 2008 ini, Gamasi menyiapkan program acara konsultasi seks di udara, dan akan menyebar 10 reporternya dari 10 titik lokasi setiap hari. Berbagai terobosan ini dilakukan untuk menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat.
  ‘’Kenapa kita berinovasi terus, karena radio hanya bisa hidup dan eksis ketika dia punya inovasi, bukan semata-mata hiburan, tetapi ada nilai tambah yang mereka dapatkan dari Gamasi,’’ papar Dhana Gamajaya.
  Sekaitan dengan itu, ia berharap pendengar Gamasi langsung menyampaikan komplain jika ada sesuatu yang mengganjal perasaannya atau mungkin tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Sebab, dengan komunikasi bisa dicarikan solusinya.
  Mariki … dii ….. (wahyudin)


Data Radio
Nama : PT Radio Gamasi Jaya
Frekuensi : FM 105.9 Mhz
Call Sign : PM 8 DCH
No. Anggota PRSSNI : 232-VIII/1980
Alamat : Jl. Veteran Selatan 71, Kompleks Marindah Blok B 12, Makassar 90131
Telepon : (0411) 874786-874785, Fax : (0411) 874786
E-mail : gamasiradio@yahoo.com

Pengelola
Direktur : H Abdul Hamid BA
Manager Pemasaran : Aloka Nurhasan
Manager Keuangan dan Administrasi : Harfiyanti Hamid
Manager Siaran : Dra Tanty Irwanti
Pengarah Musik : Amran Syahrani
Kepala Produksi : Randy Rezkiyanto
Programer : Habdan Damis
Teknisi : Abdul Karim Yafi 

Sekolah Favorit untuk Cepat Kerja


Profil SMAK Makassar

CUKUP banyak sekolah favorit di Makassar, tapi hanya sedikit yang bisa memberikan garansi masa depan bagi alumninya untuk cepat terserap kebutuhan dunia kerja. Di antara yang sedikit itu, sebutlah Sekolah Menengah Analis Kimia (SMAK) Makassar.  
  Sekolah kejuruan yang dibina Departemen Perindustrian RI ini berdiri sejak 12 September 1964, dan awal mulanya dikenal dengan nama SAKMA. Kampusnya terletak di Jl. Urip Sumoharjo Km. 4 Pampang.
  Menjadi unit pendidikan yang mampu bersaing dan berstandar nasional, merupakan visi SMAK Makassar. Adapun misinya yaitu menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) industri dalam bidang kimia analisis tingkat menengah yang produktif, terampil, mandiri serta berwawasan wirausaha, untuk mengisi lapangan kerja sesuai dengan bidangnya guna mempercepat dan memperkokoh pertumbuhan industri dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
  ‘’Keberadaan SMAK Makassar adalah untuk mencetak dan menghasilkan lulusan tingkat menengah yang berkompeten di bidang analisis kimia. Saat ini kami telah terakreditasi ‘A’ (Amat Baik),’’ terang Kepala Sekolah SMAK Makassar, Muhammad Arief Ishaq ST.  
  Berbeda dengan sekolah lainnya yang sederajat, untuk bisa diterima di SMAK Makassar, calon siswa harus jago mata pelajaran IPA dan Matematika. Calon siswa juga dipersyaratkan tidak cacat phisik, tidak buta warna, dan sehat paru-paru. 
  Demikian pula dengan lamanya pendidikan, kalau di sekolah lainnya hanya 3 tahun, di SMAK Makassar berlangsung selama 4 tahun (8 semester). Sedangkan dalam hal pemelajaran, materinya bersifat spesifik dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan SDM analis kimia.
  Sejak 2004, SMAK Makassar menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Proses pemelajaran ditekankan pada keterampilan mandiri, agar diperoleh tingkat kompetensi yang memadai di bidang analisis kimia.
  Kegiatan proses pemelajaran selain berlangsung di lingkungan sekolah, berupa teori dan praktek, juga dilaksanakan di luar lingkungan sekolah, yakni melakukan kegiatan kunjungan pabrik pada semester IV.
  Kemudian pada semester VI, para siswa melakukan kegiatan pemagangan di lembaga-lembaga pengujian/pengawasan mutu atau pada industri. Dan pada semester terakhir, para siswa melakukan PKL di instansi pemerintah dan swasta yang tersebar di seluruh wilayah RI.  
  ‘’Walaupun belum selesai studinya, tapi biasanya para siswa sudah menerima tawaran kerja, terutama dari perusahaan tempatnya melakukan PKL,’’ ungkap Muhammad Arief Ishaq.
  Guna menghasilkan lulusan dengan spesifikasi khusus tenaga analis kimia, SMAK Makassar didukung 60 tenaga pengajar berkualifikasi S1 dan S2 dengan keahlian khusus pula, serta dilengkapi fasilitas laboratorium, perpustakaan, akses internet, dll.
  Siswa SMAK Makassar juga dibekali dengan berbagai kemampuan, khususnya dalam pembinaan karakter (mental, sikap dan perilaku), melalui pelatihan dan berbagai kegiatan ekstra kurikuler.
  Jebolan SMAK Makassar memang tidak diragukan lagi kualitasnya, karena untuk masuk sekolah ini tidak gampang. Begitu pula dalam penyelesaian studinya selama 4 tahun. Terbukti pada tahun ajaran 2007/2008, dari 379 pendaftar hanya 165 orang yang diterima. Sedangkan alumninya sampai saat ini baru 2507 orang. 
  Makanya, tak mengherankan bila keahlian khusus luaran SMAK banyak dibutuhkan dunia usaha (industri farmasi, perminyakan, pertambangan, dll), lembaga survey dan kalibrasi (Sucofindo, SGS, dsb), laboratorium-laboratorium pada perguruan tinggi, serta pusat/balai penelitian, pengujian, penyelidikan sertifikasi (pemerintah, Polri, swasta, LSM).
  ‘’Pesatnya pertumbuhan industri secara langsung berdampak pada banyaknya peluang kerja untuk analis kimia yang bertugas sebagai tenaga quality control, baik untuk kontrol bahan baku industri maupun selama proses dan produk dihasilkan oleh industri,’’ jelas Muhammad Arief Ishaq.
  Jika belum ingin berkarier/bekerja, lanjut pria yang hobi olahraga dan membaca itu, lulusan SMAK bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, di PTN yang dibina Departemen Perindustrian, seperti Akademi Kimia Analisis (AKA) Bogor, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung, Pendidikan Tinggi Kimia Industri D IV Medan, serta Akademi Teknologi Industri (ATI) Padang dan Makassar. Bisa pula melanjutkan ke PTN dan PTS (universitas, akademi, politeknik).
  Muhammad Arief Ishaq yang mendapat amanah memimpin SMAK Makassar sejak April 2004, bertekad membawa sekolahnya meraih sertifikat ISO 17025, tentang manajemen laboratorium yang bertaraf internasional.
  Pria kelahiran Makassar 18 April 1956 itu belum merasa puas meski sekolah yang dipimpinnya telah berhasil meraih ISO 9001-2000, tentang sistem manajemen mutu yang bertaraf nasional, pada 30 Oktober 2007, serta status akreditasi ‘A’ pada Maret 2006.
  Menurut dia, SMAK Makassar memiliki potensi untuk menjadi Tempat Uji Kompetensi (TUK), sehingga tidak ada kata tidak untuk mewujudkan itu semua.
  Ketua Ikatan Alumni SMAK 1996-1999 itu juga berobsesi memperbanyak jumlah tenaga pengajar berkualifikasi Magister (S2), serta mewujudkan program kemitraan dengan sejumlah daerah di Sulsel, bahkan di luar pulau Jawa sedang digagasnya.
  ‘’Yang jelas, tekad kami sudah bulat dan tidak main-main. Juga bukan tanpa dasar bahwa ke depan kita ingin menjadikan SMAK sebagai sekolah yang berstandar internasional. Untuk itu, kami butuh support dan kerjasama dari teman-teman, sebab tanpa dukungan mereka (tenaga pengajar), semuanya tak bisa berjalan dengan mulus hingga menggapai tujuan yang diinginkan,’’ kunci alumni STITEK Darmayadi Teknik Industri Makassar itu, yang dikaruniai seorang putri dan seorang putra dari perkawinannya dengan Meike. (wahyudin)

Data Sekolah
Nama   : SMAK Makassar
Berdiri : 12 September 1964
Alamat : Jalan Urip Sumoharjo Km. 4 Pampang, Makassar
Telepon (0411) 452927, Fax (0411) 456353.
E-mail : smak_ma@telkom.net.
Kepala Sekolah : Muhammad Arief Ishaq ST
Tenaga Pengajar : 60 orang
Jumlah Siswa : 600 orang
Jumlah Alumni : 2507 orang
Prestasi :
1. Juara I Lomba Pidato Bahasa Inggris yang diadakan oleh ATIM, 2005
2. Juara I Putri Lomba Gerak Jalan Indah (LGJI) Tingkat Sulsel di Polda, 2005
3. Juara I Putri LGJI Sekota Makassar yang diadakan oleh Kwacab, 2005
4. Juara I Parade Senja di Rumah Jabatan Gubernur Sulsel, 2005
5. Juara I Lomba Kreativitas Kimia di UNM, 2006
6. Juara III Gebyar ATOM di UNM, 2007
7. Juara I Lomba Cepat Tepat Kimia Tingkat Sulsel di Poltek Unhas, 2007

Dulu Jualan Suara, Kini Jualan Pakaian


Profil Nurdin Taqwa

Empo Bunting Nipassa
Riangrongku Rimanggeku
Eroka Tea Andi
Jari Ngaseng Ri Ero’na
Punna Nia Bunting Beru
Empo Buntingi Nipasang
Inakke Mintu Andi
Empoan Tari Erokku



PENGGEMAR lagu-lagu daerah Makassar tentunya masih ingat dengan penggalan lagu di atas. Meski sudah cukup lama direkam, namun lagu berjudul Kuburu Tanibungai yang ngetop pada 1980-an itu masih sering terdengar hingga kini.
  Penyanyi yang membawakan lagu tersebut adalah Nurdin Taqwa. Pria kelahiran Bantaeng 5 Maret 1949 itu belum meninggalkan dunia tarik suara yang membesarkan namanya. Sesekali ia masih menerima order manggung di berbagai panggung hiburan di Makassar dan sekitarnya.
  ‘’Sebenarnya saya sudah ingin istirahat dari dunia tarik suara, tetapi masih sering ditawari manggung. Sehingga, bagaimanapun juga, tawaran tersebut saya terima sebagai sebuah kepercayaan,’’ tuturnya.
  Di luar kegiatan menyanyinya, Nurdin lebih banyak menghabiskan waktunya membantu istrinya, Sumiati Dg Sunggu, berjualan di emperan ruko di Pasar Sentral (Makassar Mal). Pasangan suami-istri ini menjual pakaian jadi untuk konsumsi anak-anak hingga orang dewasa.
  Bagi Nurdin, berjualan di kaki lima bukanlah pekerjaan hina. Sebab, menurutnya, pekerjaan tersebut harus dijalankan dengan penuh kesabaran, kejujuran, ketabahan, serta mengedepankan rasa syukur kepada Allah SWT.
  ‘’Saya dan istri berjualan pakaian jadi, terutama pakaian dalam untuk laki-laki dan perempuan. Saya sangat senang walaupun hasilnya tidak begitu besar,’’ aku Nurdin saat ditemui di tempat jualannya.
  Menurut Nurdin, berjualan pakaian jadi sangat menyenangkan dan membahagiakan. Tapi, di sisi lain, ia dituntut harus sabar dan tabah menghadapi karakter pembeli yang bermacam-macam seleranya.
  ‘’Saya sangat mensyukuri pekerjaan ini, dan Alhamdulillah kami pun bisa menutupi kebutuhan keluarga. Sebab, rezeki itu datangnya dari Allah SWT, dan yang terpenting adalah pandai mensyukurinya,’’ jelasnya.
  Nurdin mengasah bakat menyanyinya sejak usia 15 tahun, bermodalkan kemauan serta motivasi dari dalam dirinya sendiri. Ia mengaku tetap enjoy dalam menghadapi segala tantangan saat itu.
  ‘’Terjun ke dunia tarik suara merupakan kemauan saya sendiri, sama sekali bukan karena dorongan orang tua. Menyanyi memang hobi saya,’’ cetusnya.
  Untuk meningkatkan kemampuannya di dunia tarik suara, Nurdin bergabung dengan Orkes Melayu Candra Lela. Setiap kali grup musik tersebut diundang manggung, Nurdin selalu didaulat untuk menyumbangkan satu-dua hingga beberapa buah lagu dangdut, baik oleh pimpinan orkes maupun masyarakat. Hal itu tak disia-siakannya. Karena sering manggung, bapak dua anak ini akhirnya merasa terbiasa, sekaligus menumbuhkan rasa percaya dirinya.
  ‘’Setelah Muchsin Alatas hijrah ke Jakarta, saya masuk menggantikannya di Orkes Melayu Candra Lela. Grup musik ini memberikan andil yang sangat besar sekali bagi saya dalam menapaki karier di dunia tarik suara,’’ aku Nurdin sembari tersenyum. 
  Setelah bertahun-tahun malang melintang dari satu panggung ke panggung hiburan lainnya, nama Nurdin Taqwa pun mulai dikenal. Seiring dengan itu, ia mendapat kesempatan masuk dapur rekaman membawakan lagu-lagu daerah Makassar.
  Pada awalnya, rekaman dilakukan secara bergantian di studio-studio mini yang ada di kota Makassar, di antaranya Libel Record dan Special Record. Tapi pada 1981, ia mengambil keputusan untuk pindah rekaman ke Irama Baru Record, sampai sekarang.
  ‘’Kalau dihitung-hitung, jumlah lagu saya secara keseluruhan sejak 1981 ada sekitar 40 lebih. Dari jumlah sebanyak itu, sebagian dianggap kurang ngetop oleh masyarakat. Itu merupakan hak orang untuk mengapresiasi. Namun, saya tetap bangga dengan itu semua, dan tentu saja sangat berharga sebagai hasil karya seni putra daerah Makassar pada masa itu,’’ paparnya.
  Menurut Nurdin, tidak sedikit pula masyarakat pencinta lagu-lagu daerah Makassar yang mengakui bahwa tembang-tembang yang dibawakannya memiliki kualitas yang tiada duanya.
  ‘’Lagu saya yang pertama dan saat itu cukup populer di Sulsel adalah Kuburu Tanibungai, serta lagu yang terakhir rekaman di Libel Record berjudul Teako Palla ciptaan Iwan Tompo, dan saat ini di Irama Baru Record masih ada lagu lama yang kembali kita angkat, termasuk lagu ciptaan Dg Manjia dan Basse Nandong,’’ bebernya.
  ‘’Saya dan keluarga sampai sekarang masih tetap memfavoritkan lagu itu,’’ tambahnya.
  Nurdin mengaku tidak ingat berapa banyak kaset yang terjual ketika lagu Kuburu Tanibungai meledak di pasaran karena digandrungi masyarakat Sulsel pada umumnya dan Makassar khususnya. Tapi, yang pasti, saat itu ia merasa bangga lantaran bisa terkenal dan dikenal di mana-mana.
  ‘’Yang paling saya ingat, nama saya terorbit pertama kali pada 1981. Andaikata saya gagal pada saat itu, maka tidak akan dikenal sampai sekarang,’’ ungkap Nurdin.
  ‘’Meskipun sekarang tidak sepopuler pada masa lalu, namun ada sebagian orang yang masih menyebut sekaligus mengagungkan nama saya,’’ sambungnya.
  Pria murah senyum ini ternyata sampai sekarang masih rekaman di Irama Baru Record, tetapi waktunya terjadwal, misalnya dalam tiga bulan satu kali rekaman, atau dalam tiga bulan dua kali.
  Hal itu dilakukannya karena ia masih tetap ingin mengorbitkan lagu-lagu daerah Makassar. Tapi, ia berharap anak-anak muda sekarang memiliki motivasi untuk memajukan dan melestarikan aset tersebut. 
  Nurdin merasa senang karena sekarang telah bermunculan penyanyi-penyanyi muda berbakat, di antaranya adalah kemenakannya sendiri, Ridwan Sau. Penyanyi berusia 21 tahun hasil polesan Anci Laricci itu pernah ikut audisi KDI di Makassar dan masuk 5 besar sekaligus mewakili Makassar. Tetapi pada saat tampil di Jakarta gagal menorehkan prestasi terbaik dan hanya sampai dua besar, sehingga ia sekarang memfokuskan diri rekaman di Irama Baru Record.
  ‘’Kita harus memberikan support kepada penyanyi muda. Mudah-mudahan mereka mampu menjadi penentu dan penerus pada masa-masa mendatang supaya jangan terputus regenerasi penyanyi-penyanyi daerah. Menjadi harapan kita agar mereka tetap melestarikan lagu-lagu daerah sebaik mungkin,’’ harapnya.
  Sebagai penyanyi senior yang telah berpengalaman di dunia nyanyi dan rekaman, Nurdin merasa tertantang dan siap memberikan bimbingan kepada kawula muda Makassar yang membutuhkan pandangan serta bimbingan dalam mengembangkan bakat menyanyinya.
  Saat ini, papar Nurdin, dunia hiburan adalah segala-galanya dan sangat menyenangkan, apalagi jika dihayati dengan baik. Karena tanpa hiburan, hidup ini rasanya hampa. Selain itu, jika mampu berbuat secara profesional di dunia hiburan, maka tidak hanya sebagai hiburan semata, namun bisa menjadi ladang untuk mencukupi kebutuhan hidup alias mata pencaharian.
  ‘’Tidak sedikit perasaan bahagia nan puas jika menjiwai seni dengan baik, tetapi tidak sedikit pula kendala yang dihadapi, terutama jika tidak ada kesiapan mental, apalagi tidak belajar dengan sungguh-sunggguh. Makanya, segala yang menjadi kendala dalam bernyanyi, saya pikir tergantung person yang bersangkutan, apakah mau banyak belajar atau malas dan cepat putus asa,’’ tuturnya. 
  Soal belajar menyanyi ini, Nurdin tak melupakan jasa Rahmansyah dan Hamzah M (amarhum), dua sosok yang memberikan pelajaran pertama tentang menyanyi kepadanya. Karena berkat jasa kedua orang tersebut, dirinya bisa menjadi penyanyi tenar dan populer.
  Selama menjadi penyanyi rekaman, Nurdin belum pernah memperoleh royalti. Tapi, hal itu tak dianggapnya sebagai problem dalam kehidupannya.
  ‘’Sampai sekarang saya belum pernah menerima royalti. Mungkin karena kondisi kota Makassar yang tidak sama dengan Jakarta, yang tentu saja sangat menghargai hasil karya orang lain, atau mungkin karena peredarannya yang masih terbatas. Tetapi jika diberikan royalti, ya tentu kami sangat bersyukur, sebab itu merupakan bagian dari penghargaan yang sangat berarti,’’ tuturnya.
  Bisa dipahami jika Nurdin tak terlalu memusingkan soal royalti, karena ia memiliki keluarga yang penuh pengertian dan mendukung penuh aktivitasnya. Sang istri, Sumiati Dg Sunggu, selalu setia mendampinginya dan tak menuntut macam-macam.
  ‘’Sejak awal mengenal dia, saya memang bertekad untuk tetap setia mendampinginya, sebagai bentuk dukungan sekaligus memberikan peluang dan kesempatan untuk berkarier sebagai penyanyi terkenal, dan Alhamdulillah kami berdua bisa tetap bahagia dengan membangun keluarga ini secara harmonis,’’ ujar Sumiati, yang mendampingi suaminya saat wawancara.
  ‘’Bahkan ketika saya masih punya anak satu, sedapat mungkin meluangkan waktu untuk mendampinginya keluar daerah seperti Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Jeneponto, hingga ke pulau-pulau, termasuk pulau Samalona,’’ tambahnya.
  Pasangan Nurdin Taqwa-Sumiati Dg Sunggu dikaruniai dua anak, Fadhil Taqwa dan Fadiah Ramadhani Taqwa. Meskipun di antara keduanya ada yang suka menyanyi, namun tak ada yang mengikuti jejak ayahnya.
  ‘’Saya tidak tahu kenapa tidak ada yang mengikuti jejak saya. Mungkin karena tidak ada bakatnya,’’ tutup Nurdin. (wahyudin)


Biodata
Nama : Nurdin Taqwa
TTL    : Bantaeng, 5 Maret 1949
Istri    : Sumiati Dg Sunggu
Anak  : Fadhil Taqwa (Kelas III SMA)
             Fadiah Ramadhani Taqwa (Kelas IV SD)
Alamat : Jl Laiya Lorong 124 B/23 (Depan SD Gaddong)
Telp: (0411) 334 525
 HP. 085299076837.

Dekan Petambak


Profil Drs Hasanuddin M.Kes

DIAM-DIAM, Drs Hasanuddin M.Kes punya kegiatan sampingan di luar tugas-tugas akademiknya. Kegiatannya ini terhitung aneh. Betapa tidak. Jika sebagian pejabat lebih senang berburu jabatan strategis di lingkungan kerjanya, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Makassar (UNM) ini malah menggeluti dunia kerja lain yang justru jauh dari basisnya sebagai akademisi.
  Kegiatan sampingan yang ditekuni suami Dra Marlina ini, untuk mengisi waktu luangnya, tak lain adalah bertambak. Dia mengaku jatuh cinta dengan dunia pertambakan. 
  ‘’Jujur saya katakan, awalnya hanya sekedar hobi, karena sejak kecil saya memang sangat suka dunia bahari atau yang berkaitan dengan laut. Selain itu, saya juga melihat bahwa dengan menjalani usaha ini, jika kita sabar dan tekun tentu akan memberikan sesuatu yang bermanfaat. Bukan tidak mungkin akan membuka peluang bisnis yang menjanjikan,’’ tuturnya.
  Pria kelahiran Selayar 4 Oktober 1961 yang dikenal sangat familiar di lingkungan civitas akademika UNM ini mengakui, kegiatan bertambak yang digelutinya sejak 2004 telah menjadi bagian dari rutinitas hidupnya sehari-hari. Tidak hanya sebagai lahan bisnis, tetapi juga sebagai sarana untuk refreshing keluarga serta seluruh kerabat serta rekan kerja.
  Keseriusannya mengelola tambak, ungkap pria yang sudah dua periode menjabat Dekan FIK ini, muncul pada tahun 2005 setelah banyak belajar dari relasi serta orang-orang dekatnya yang mengerti betul seluk beluk tambak.
  ‘’Sejak itu, saya berpikir, mengelola tambak itu sebenarnya mengasyikkan. Dan, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi lahan bisnis yang sangat menjanjikan,’’ tutur Dekan FIK yang dikenal vokal ini.
  Tentang pengetahuannya bertambak, beber Hasanuddin, didapatnya dari sharing dengan orang yang memang ahli di bidang pertambakan serta teman-teman dekatnya yang kebetulan memiliki kemampuan bertambak yang baik.
  ‘’Saya banyak berdiskusi dengan teman-teman, terutama saudara saya, Bakti Baramuli. Selain itu, saya juga membaca banyak buku tentang tambak, termasuk membaca biografi tokoh penambak sukses,’’ jelas pria yang menyelesaikan pendidikan Magister Kesehatan di Universitas Padjajaran Bandung itu.
  Bapak 5 putra dan 1 putri yang juga intens mengikuti perkembangan dunia politik ini mengakui, kecintaannya pada dunia tambak kini semakin tidak terbendung lagi. Hal itu dapat dibuktikan dari areal tambak yang digarapnya, seluas 14 hektar.
  ‘’Saya bersyukur kepada Allah Swt karena diberi kemudahan mengelola 14 hektar areal tambak. Sepuluh hektar statusnya masih kita kontrak dari orang lain, dan selebihnya - 4 hektar - sudah berstatus milik pribadi keluarga kami,’’ akunya.
  Dekan yang menggantikan Prof Dr HM Anwar Pasau MA (sekarang Pembantu Rektor I Bidang Akademik UNM) sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) pada periode pertama ini menyebutkan bahwa dengan banyak belajar, proses pengelolaan tambak akan berbeda dengan petambak tradisional.
  ‘’Jika petambak tradisional belum memiliki kemampuan yang terukur dalam mengelola, maka kami sudah mampu menerapkan hal itu secara intensif dan terukur, termasuk menjalankan proses kontrol terhadap keseluruhan komponen dalam tambak, seperti tingkat keasaman tanah, air, maupun dalam memilih bibit benur unggul,’’ terangnya.
  Meski sudah jatuh cinta pada tambak dan merasakan hasilnya, Hasanuddin mengakui bahwa aktivitas sampingan di luar bidang tugasnya sebagai seorang dekan itu bukanlah segalanya.
  ‘’Saya ini seorang akademisi dan juga PNS, tentu akan selalu mengedepankan tugas utama saya, ketimbang mengurusi yang lain. Namun jika suatu saat saya pensiun, maka tambak tentu menjadi pilihan hidup saya selanjutnya,’’ ujarnya.
  Bagi pengurus Panahan dan Squash Sulsel ini, bertambak itu adalah kesenangan, dan ia mendapatkan kebahagiaan tersendiri dalam menjalani aktivitas tersebut meskipun terkadang juga menghadapi kendala. 
  ‘’Bertambak itu memberikan kepuasan tersendiri bagi saya dan keluarga. Kepuasan tersebut bukan karena banyaknya hasil yang diperoleh, tetapi lebih dari itu. Kami puas lantaran bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain di sekitar kita,’’ paparnya.
  Ketika ProFiles meminta pandangannya terkait prestasi olahraga Indonesia secara umum dan Sulsel pada khususnya, yang kini dalam kondisi terpuruk, pengurus Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia (FOMI) Sulsel ini menegaskan, untuk membenahi prestasi, dibutuhkan kemauan serta dukungan yang mendasar dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah. Sebab, menurutnya, Indonesia menghadapi masalah yang kompleks sehingga harus dibenahi secara profesional.
  ‘’Kalau prestasi kita mau meningkat agar bisa bersaing dengan sejumlah negara lainnya yang kini maju dalam bidang olahraga, maka tidak ada kata tidak dan tidak ada kata terlambat selain membenahi berbagai hal. Salah satu di antaranya adalah membenahi struktur organisasi, butuh dukungan masyarakat, pemerintah serta dilakukan pembinaan berjenjang sejak usia dini,’’ cetusnya.
  Dia menyebutkan, UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Pembinaan Olahraga Nasional merupakan payung hukum yang mesti dijalankan secara menyeluruh dan mengikat supaya bisa meraih prestasi yang diharapkan.
  ‘’Kuncinya, payung hukum ini harus dijalankan secara profesional. Makanya, perlu tersosialisasikan dengan baik,’’ tegasnya. (wahyudin)

Biodata

Nama : Drs Hasanuddin M Kes

TTL    : Selayar, 4 Oktober 1961

Isteri  : Dra Marlina

Anak  : 6 Orang, 5 Laki-Laki dan 1 Perempuan

Hobi : Olahraga dan Memancing

Jabatan: Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan UNM

Pendidikan :

SI IKIP Ujung Pandang

S2 Universitas Padjajaran Bandung

Organisasi :

1. Pengurus Persatuan Squash Indonesia (PSI) Pengprov Sulsel  

2. Pengurus Panahan Sulsel